Tujuh Belas

3.5K 225 11
                                    

Setelah infusnya habis, barulah Dira bisa pulang ke rumah. Sepulang Abi dari kantor, Abi langsung ke rumah sakit berada. Dan di sinilah Abi berada, membantu Dira yang akan pulang ke rumah. Dira harus istirahat dengan baik meski kandungannya baik-baik saja. Itu kata dokter yang memeriksanya.

"Kenapa kursi roda? Aku bisa jalan kok, Mas." Dira menatap kursi roda yang dibawa Abi ke ruang rawatnya.

"Mas tau kamu bisa jalan, cuma aku ingin kamu jangan terlalu bergerak berlebihan."

"Tapi, Mas–"

"Sshh, ini cuma sampai di depan kok."

Dira mengangguk mengerti dan pasrah saat sang suami tercinta membantunya duduk di kursi roda. Abi pun mendorongnya sampai ke depan dan memindahkan Dira di mobil. Seperti apa dikatakan Abi, Abi hanya memakai kursi roda sampai depan saja.

Setelah mengembalikan kursi roda tersebut, Abi mengitari mobilnya dan masuk ke bangku kemudi lalu menjalankan menuju ke rumah.

"Mas, kata dokter usia kehamilanku berapa minggu?" tanya Dira sekian lama ia lupa menanyakan pada sang suami. Bahkan saat bersama ibu mertuanya, Dira juga lupa bertanya.

"Dokter bilang usianya 7 minggu, Sayang," sahut Abi.

Dira terdiam seraya mengamati jalanan di balik kaca jendela mobil. Dira tak menyangka kalau selama itu ia tak sadar sudah hamil. Manalagi ia olahrahanya lari-lari dan senam terlalu bersemangat. Dira berterima kasih pada Allah dan juga calon anaknya yang telah membuat ia masih bisa merasakan akan menjadi ibu. Dira tak sabar perutnya membesar dan anaknya lahir ke dunia.

Tak lama kemudian mereka telah sampai, di rumah ada ibu mertua Abi di sana. Abi turun dari mobil dan berlari menuju ke arah Dira yang sudah membuka pintu mobil. Abi ingin membantu Dira dengan cara menggendong. Ia masih ingat kalau Dira harus dijaga akibat dari hampir keguguran itu. Maka dari itu, Abi harus menjadi suami ekstra siap siaga.

"Ya Allah, Mas, aku bisa jalan loh. Gak perlu di gendong." Wajah Dira memerah. Ia tak menyangka kalau suaminya begitu perhatian, sampai-sampai mau masuk rumah saja harus digendong.

"Nanti kalau mendingan kamu bisa jalan sesukamu."

Lagi-lagi Dira hanya pasrah. Mungkin suaminya khawatir padanya sehingga hal sekecil ini ia sangat protektif. Entahlah, bagaimanapun, Dira juga menyukai sikap Abi seperti ini padanya.

Sweet menurut Dira.

"Makasih, Mas," ujar Dira ketika Abi menurunkannya di atas ranjang.

"Sama-sama. Mas mandi dulu ya," pamitnya.

Dira mengangguk sambil mengamati punggung lebar Abi yang menghilang dari pandangannya dikarenakan masuk ke kamar mandi. Dira buru ngeh kalau suaminya belum mandi sama sekali.

"Gitu aja masih wangi," bisik Dira dan terkikik geli dengan perkataannya sendiri. Namun juga tak bisa dipungkiri kalau apa yang ia ucapkan tadi adalah benar adanya. Abi sangat wangi meski habis bekerja dan Dira suka itu.

****

Kabar kehamilan Dira terdengar di telinga ibunya. Tentu saja ibu Dira turut bahagia dan senang saat beliau akan mendapatkan cucu.

Pagi-pagi Dira dikejutkan dengan kehadiran ibunya di rumah. Berbagai masakan di hidangkan di meja makan. Dira melihatnya terperangah dan ngiler saat melihat makanan itu terlihat lezat sekali.

"Tumben Ibu baik," ujar Dira dihadiahi dengusan oleh sang ibu.

"Kamu pikir Ibu sama sekali gak baik sama kamu? Begitu?" ketusnya.

"Kok Ibu yang malah sensitif?" tukas Dira.

"Makanya pertanyaanmu diganti biar Ibu gak sensitif. Masakin anak sama menantu makanan 'kan masih wajar. Apalagi kamu hamil."

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang