Tujuh

4.1K 351 18
                                    

Tak terasa sudah 40 hari kepergian Sintia. Pengajian diadakan di rumah ibu Dira yang nantinya akan mengundang para tetangga. Saat ini Dira berada di rumah ibunya dan membantu memasak. Ada beberapa tetangga yang membantu, ada juga ibu Abi yang juga sekarang menjadi mertuanya.

Hari ini Dira benar sibuk, membantu ini itu tanpa rasa lelah.

"Gimana, Dir? Udah isi belum?" tanya Fanti, tetangga yang berumur 30 tahun.

"Isi apa sih, Mbak?" tanya Dira tak mengerti.

"Maksudnya hamil. Masa kamu gak ngerti."

"Oalah, belum Mbak."

"Suamimu dulu sama Mbakmu, Mbakmu juga gak hamil-hamil. Kamu juga gitu. Apa jangan-jangan loyo ya suamimu itu? Masa sih ganteng-ganteng loyo."

Dira memutar bola matanya bosan mendengar Fanti yang nantinya akan berujung ghibah.

"Mungkin belum rezeki, Mbak." Dira saja belum melakukan hal itu sama Abi, bagaimana bisa hamil, coba? Tapi tidak mungkin ia menjawab gitu.

Namun, ia juga merenungkan ucapan Fanti yang lain. Benar, Abi dan kakaknya menikah sudah 3 tahun. Namun tak ada anak di antara mereka. Masa iya sih Abi loyo? Apa jangan-jangan karena itu, dia tak meminta haknya?

Dira memukul keningnya. Apa-apaan ini isi pikirannya, kok nyeleneh. Gara-gara Fanti nih, jadinya ikut konslet.

"Iya juga ya." Fanti mengangguk-angguk. Saat akan membuka mulutnya, Dira segera berucap karena tak ingin diajak ghibah, karena Dira tahu, itu akan merembet ke mana-mana.

"Mbak, aku ke kamar mandi dulu ya." Tanpa menunggu jawaban, Dira ngacir meninggalkan Fanti.

Malam harinya pengajiannya berjalan lancar. Dan Dira bagian mencuci piring yang bertumpuk. Setelah selesai, barulah Dira makan sendiri karena para ibu sudah makan duluan.

"Dir," panggil ibunya saat Dira akan menuju ke kamarnya. Dira ingin mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

"Kenapa, Bu?" Ibu memberinya amplop pada Dira.

"Ya Allah, Ibu, gak usah repot-repot kasih Dira duit," tolak Dira namun mengambil amplop itu.

"Duitmu itu. Jadi anak kok mata duitan sih, Dir." Ibu geleng-geleng kepala.

"Dira realitis, Ibu. 'Kan sekarang apa-apa pakai duit," sahut Dira enteng dan dihadiahi pukulan ringan di lengannya.

"Sayangnya Ibu gak kasih kamu uang. Itu surat dari mbak kamu. Ibu lupa kasih ke kamu," beritahu Ibu.

"Surat? Surat apa, Bu?" heran Dira.

"Ibu gak tau, Dir. Ibu aja gak berani buka karena itu keinginan mbak kamu. Ya sudah, Ibu juga mau istirahat."

Dira masuk ke kamar seraya mengamati surat pemberian dari mendiang kakaknya. Ia menghela napas, membukanya dan saat ingin membaca, pintu kamarnya terbuka. Sosok Abi masuk dengan baju kokonya. Dira tak jadi membaca surat itu dan menyembunyikan dari Abi. Entahlah, kenapa Dira melakukan itu.

"Udah selesai, Mas?" tanyanya. Pasalnya, beberapa lelaki akan berbincang-bincang saat selesai pengajian.

"Ada beberapa di sana. Cuma Mas mau istirahat," jawab Abi.

Dira mengangguk mengerti. Ia menolehkan kepala ke samping saat Abi membuka pakaian atasnya dan berganti pakaian. Dira tak berani melihat tubuh Abi.

"Dir," panggil Abi.

"Ya, Mas?"

"Gak jadi." Abi tersenyum tipis. Abi pun naik ke ranjang dan merebahkan diri.

Dira mengerjepkan matanya, lalu mengangguk. Dira juga melakukan hal seperti Abi. Merebahkan diri di ranjang dengan posisi miring. Terjadi keheningan karena keduanya sama-sama diam. Lambat laun, Dira pun memejamkan matanya, jatuh ke alam mimpi.

Abi menoleh ke samping, ia belum merasa mengantuk. Abi tersenyum tipis melihat betapa terlelapnya Dira saat tidur. Tanpa sadar, tangannya terulur merapikan rambut Dira dan mengelus pipinya.

"Dira, terima kasih," ujarnya lirih tanpa didengar oleh siapapun.

****

"Mas berangkat kerja ya."

"Iya, Mas, hati-hati di jalan."

Dira mencium tangan Abi seperti biasanya. Setelah melihat mobil Abi berlalu, Dira masuk ke rumah. Dira ingat, kemarin ibunya memberikan surat dari kakaknya. Buru-buru Dira masuk ke kamar, mencari tasnya yang terdapat surat tersebut.

Perlahan Dira membuka, entah kenapa jantungnya berdetak tak normal. Dira mengambil napas dalam sebelum membaca.

Untuk Dira, Adikku tersayang.

Dira tersenyum membaca kalimat pertama. Dira juga menyayangi kakaknya lebih dari apa pun.

Kalau kamu baca surat ini, itu artinya kamu udah jadi istri Mas abi dan Mbak udah pergi selama-lamanya.
Dira, kamu tau 'kan, kalau Mbak sayang sekali sama kamu. Sayang banget.
Kamu adalah adik paling berharga buat Mbak.

Dira mengusap air matanya. "Dira juga, Mbak. Sayang banget."

Tapi, Mbak bukan kakak terbaik untuk kamu. Mbak adalah kakak yang egois. Maafkan Mbak, Dira, Mbak juga ingin bahagia. Walau Mbak tau, usia Mbak gak akan bertahan lama. Dira, apa kamu akan memaafkan Mbak?

Kening Dira mengerut membaca kalimat kakaknya yang tak ia mengerti. Namun, ia terus melanjutkan sampai habis.

Dir, apa kamu tau alasan kenapa Mbak ingin kamu menikah dengan Mas Abi? Mbak ingin menebus semuanya. Karena Mbak tau, kamu menyukai Mas Abi sebelum kami menikah. Mbak tau perasaan kamu. Tapi, Mbak yang juga menyukai Mas Abi, memintanya untuk menikahi Mbak. Terdengar egois memang, padahal Mbak tau kalau Mas Abi sama sekali gak mencintai Mbak. Dia menganggap Mbak hanya sebagai teman.

Mas Abi sangat baik, walau dia menikahi dan tak mencintaiku, dia memperlakukan aku dengan baik. Memperlakukanku sebagai istri pada umumnya. Memberiku perhatian sehingga aku ingin serakah dan tetap ingin bersamanya. Sayangnya, waktuku gak lama. Aku gak bisa bersamanya walau aku ingin.

Dira, terima kasih kamu sudah memenuhi permintaan terakhirku yang pasti sulit kamu lakukan. Mbak sayang sama kamu. Jangan ragu kamu akan sakit saat menikah dengan Mas Abi. Dia pria yang akan menyayangimu dan mencintaimu.

Satu hal yang harus kamu tau. Cintamu, sama sekali gak bertepuk sebelah tangan.

Dari kakakmu yang paling egois dan menyayangimu. Sintia.

"Huaa, Mbak Sintia hiks." Dira menghapus air matanya dan juga ingusnya. Dira malu bercampur sedih saat mengetahui kakaknya tahu perasaannya dan juga telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Ia pikir tak ada orang menyadari perasaannya.

Dira kembali mengulang kalimat,
Cintamu, sama sekali gak bertepuk sebelah tangan. Awalnya Dira belum paham maksud dari kalimat itu. Setelah berpikir dan mencerna dalam beberapa menit, mata Dira membelalak tak percaya.

Mas Abi?

Seriusan?

"Mas Abi juga punya rasa sama aku?" gumamnya. Dira terdiam sejenak, merasa ini pasti ia salah baca. Sayangnya tidak sama sekali. Ia tak salah baca.

Apa karena inilah Mas Abi menolak untuk menalaknya? Perhatian kecil darinya itu, apakah bentuk rasa sukanya pada Dira? Apakah ini bukan mimpi?

Cintanya tak bertepuk sebelah tangan, tapi disambut dengan baik?

"Aku pikir, melupakan Mas Abi adalah cara yang terbaik. Tapi siapa sangka, pada akhirnya aku dan dia menjadi suami istri."

****
05/02/22

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang