Empat Belas

3.3K 254 11
                                    

Sepulang dari rumah ibunya, Dira sering melamun. Masak pun melamun juga sehingga ikan yang harusnya segera di angkat malah dibiarkan gosong. Lalu tersadar saat bau gosong menguar.

"Astaga, bisa-bisanya."

Dira menatap nanar tiga ikan gosong itu. Mana ikannya tinggal ini doang. Apalagi sebentar lagi suaminya pasti pulang. Pada akhirnya Dira memberikan ikan itu pada kucing tetangga yang kebetulan di rumahnya. Sayangnya, kucing yang awalnya senang mendapat ikan menjadi mendengus dan berlalu tanpa memakan ikan tersebut.

"Kucing aja gak doyan. Memang lebih baik dibuang aja." Merelakan ikan dibuang, Dira kembali melanjutkan masaknya. Beberapa makanan terhidang di meja. Tinggal menunggu suami pulang.

Lagi-lagi Dira melamun dengan tangan menompang dagunya. Sampai-sampai Abi pulang pun, Dira tak sadar.

Kening Abi mengerut saat sampai di rumah tak mendapati istrinya menyambutnya di depan. Biasanya Dira akan langsung ke depan mendengar deru mobilnya. Berjalan ke kamar, Abi tak melihat istrinya. Abi menghela napas, ia memilih mandi terlebih dahulu sebelum mencari Dira.

Beberapa menit kemudian Abi selesai mandi, mencari keberadaan istrinya. Dan di meja makanlah ia melihat Dira tampak melamun. Mendekatinya, Abi menepuk pundak Dira pelan sehingga sang empu terperanjat.

"Loh, Mas? Kapan pulang?" Dira mendongak, menatap suaminya berdiri menjulang di sampingnya.

"Udah dari tadi. Nih, Mas juga udah mandi. Kamu kenapa kok melamun? Sampai Mas pulang biasanya di depan malah gak ke depan," sahut dan tanya Abi.

"Maaf Mas," sesal Dira.

"Gak papa, kamu kayaknya banyak pikiran ya?" Dira tersenyum masam. Pas sekali Abi menebaknya.

Abi mengelus pundak Dira. "Mikir apa sih? Gak usah mikir berat-berat biar gak stres."

"Iya, Mas."

****

"Mas, gimana kalau kita cek ke dokter?" Tiba-tiba Dira mengatakan hal yang ada dipikirannya.

"Ke dokter?"

"Iya, untuk tes kesuburan kita. Aku takutnya di sini yang bermasalah adalah aku," lirih Dira namun masih dapat didengar Abi.

"Astaga, Dira," desah Abi tak habis pikir.

"Kenapa, Mas?" Melihat Abi mengusap wajahnya, ia berpikir apa ada salah dengan ucapannya.

"Jadi kamu melamun gara-gara ini? Begitu?" Mau tak mau Dira mengangguk.

"Apa ada yang salah, Mas?"

Abi diam sejenak. Perkara anak saja Dira sampai seperti ini. Tak lama, Abi mengeluarkan suara, "Gak ada yang salah saat kamu memikirkan anak, tapi saat kita belum diberi kepercayaan itu, kita juga gak bisa maksa, Dira."

"Kenapa gak bisa? Kita 'kan harus usaha, Mas."

"Sekarang aku tanya sama kamu, apa pernah aku menututmu supaya segera hamil?"

"Enggak pernah." Dira menggeleng.

"Terus kenapa kamu sampai mikir sejauh itu. Kalau kita belum punya anak, berarti kita harus menikmati masa-masa pernikahan ini. Gak usah mikir aneh-aneh sampai punya pemikiran kamu yang bermasalah."

"Kalau gak dicek, mana kita tau, Mas?"

"Lalu, saat kita cek, dan kamu subur lalu ternyata akulah yang bermasalah gimana? Kamu mau menyalahkan siapa? Aku?"

Dira terdiam mendengar kata-kata Abi. Apa iya, Dira terkesan terburu-buru? Pernikahan mereka saja belum ada satu tahun.

"Dira, aku tau kamu ingin punya anak, dan kita udah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Allah belum memberi. Anak memang pelengkap bagi pernikahan tapi jika masalah ini buat kamu melamun, terus lama-lama bisa jadi stres. Percaya sama aku, kalau sudah waktunya kamu pasti hamil, gak usah terlalu dipikir, aku tak mau kamu terbebani masalah hal kayak gini," nasehat Abi berharap Dira mengerti.

Kadang, Abi tak paham, kenapa bisa-bisanya Dira berpikir terlalu jauh. Harusnya nikmatilah kebersamaan mereka dulu, anak adalah bonus dalam pernikahan. Bahkan, di luar sana, yang menikah selama bertahun-tahun saja belum dikasih. Apalagi mereka masih seumur jagung.

"Maafin aku, Mas," lirih Dira meminta maaf pada suaminya. Mungkin, memang Dira saja terlalu khawatir. Harusnya ia tak berpikir macam-macam.

"Kalau kamu tetep mikir kayak gini, lama-lama kamu stres. Lain kali gak usah terlalu dipikir. Kita juga usaha 'kan."

Dira mengangguk, memberanikan diri memeluk suaminya. Melihat Abi marah, Dira juga takut.

"Mas gak marah 'kan?" Dira mendongak, menatap penuh harap pada Abi.

Dan Abi, mana mungkin marah pada Dira. Ia bukan tipe pria yang suka marah-marah kalau tidak keterlaluan.
"Mas gak marah," sahutnya.

"Beneran?"

"Iya, sayang."

Wajah Dira memerah, dengan berani mengecup bibir Abi.
"Malam ini gimana, Mas?"

Abi tersenyum dan tahu maksud dari Dira. Langsung saja Abi menggendong Dira dan membawanya ke kamar. Apa lagi kalau bukan melakukan hal menyenangkan dilakukan oleh pasangan suami istri.

****

Satu bulan berlalu, bersyukurnya Dira tak lagi memusingkan tentang anak. Dira pasrah kepada Yang Di Atas, sebagaimana yang dikatakan Abi. Akan ada masanya mereka menimang anak.

"Dir, nanti malam kamu siap-siap ya, sepulang kantor nanti, Mas mau ajak kamu ke acara nikahan teman," beritahu Abi saat pria itu akan berangkat kerja.

"Jam berapa, Mas?"

"Mas nanti 'kan jam 5 pulang, nah kita berangkat jam 7. Kamu beli pakaian yang bagus buat kondangan ya. Uangnya nanti Mas transfer."

"Oke."

"Kalah gitu, Mas kerja dulu," pamitnya dan berlalu saat Dira sudah mencium tangan Abi.

"Hati-hati, Mas." Abi tersenyum sebagai balasan. Mobil Abi melaju meninggalkan halaman rumah.

"Kalau ke kondangan, harus bawa kado dong."

Dira menyelesaikan pekerjaan rumahnya, baru setelah itu ia akan ke toko baju untuk membeli gamis. Bagaimanapun, Dira ingin pergi ke acara memakai hijab.

Ponselnya begetar membuatnya mengambil ponsel tersebut dan membuka pesan dari sang suami. Dira tersenyum tipis membaca pesan kalau Abi baru saja mentransfer uang.

Mas Abi : Baru aja Mas transfer, kamu cek ya.

Dira pun mengecek M-bankingnya dan tersenyum mendapati uang lumayan banyak dari Abi.

Dira : Makasih, Mas.

Mendapat uang dari suami itu memang menyenangkan, tak peduli berapa yang dikasih. Sungguh, Abi adalah tipe pria sama sekali tak pelit. Sangat beruntung mempunyai suami seperti Abi.

"Waktunya belanjaaaa."

Dira bersiap-siap keluar rumah. Mengendarai motor, Dira sampai ke toko baju. Di sana ia melihat-lihat gamis berbagai macam gaya. Sangat indah membuat Dira ingin membeli semuanya. Sayangnya ia harus membeli satu. Dira mencoba beberapa gamis dengan warna berbeda, dan akhirnya pilihannya pada gamis warna peach.

Tatapan Dira beralih pada kemeja warna navy. Kemeja itu pasti cocok dengan suaminya, pikir Dira.

"Mbak, ukurannya ada yang L?"

"Sebentar Mbak, saya carikan."

Dira mengangguk, seraya menunggu, ia kembali melihat ke sekeliling. Dan sepertinya Dira akan kalap saat melihat pakaian bagus menurutnya.

"Ini Mbak kemejanya."

"Sama gamis ini ya Mbak." Dira memberikan gamis yang ada di tangannya pada mbak-mbak tadi.

****
15/02/22

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang