Delapan

4.2K 362 23
                                    

Senyuman Dira sedari tadi tak pernah luntur. Hatinya terus berbunga-bunga tatkala ia membayangkan apa yang ditulis mendiang kakaknya benar adanya.

Siapa yang tak bahagia, saat pria yang dicintainya balik mencintainya? Namun, Dira tak ingin terburu-buru menyimpulkan kalau Abi memang mencintainya. Dira harus mencari tahu terlebih dahulu. Benarkah cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan? Atau itu taktik kakaknya agar ia menerima Abi sebagai suaminya tanpa rasa sungkan?

"Aku gak boleh bahagia dulu, nanti yang adalah malah sakit sendiri saat semua cuma semu," gumam Dira.

Dira beranjak dari duduknya saat mendengar suara mobil Abi. Rasa bahagia kembali membuncah, ia pun berlari kecil menuju ke depan.
Dira sangat semangat menyambut suami tercinta. Tercinta? Uhuk Dira malah jadi malu sendiri. Dira membuka pintu rumah sebelum Abi membukanya. Melihat wajah lelah Abi, ia maju selangkah. Biasanya ia akan mencium tangan Abi dan mengambil tas kerja suaminya. Tapi kali ini Dira memeluk Abi tak peduli kalau Abi baru saja pulang kerja.

"Mas kayaknya capek ya. Katanya, pelukan juga mengurangi rasa lelah loh," ujar Dira, sepenuhnya adalah modus.

Tentu saja apa yang dilakukan Dira membuat Abi membeku dan terkejut. Tak menduga jikalau Dira akan memeluknya seperti ini.

Namun tak lama Abi rileks. "Apakah begitu?" tanyanya. Abi tak melepas pelukan dari Dira. Ia tersenyum tipis, dan kini membalas pelukan itu dengan dagu berada di kepala Dira.

"Katanya sih begitu," kikik Dira mulai berani. Gara-gara kata-kata cintamu gak bertepuk sebelah tangan.

Abi hanya tersenyum, ia memeluk Dira dan mengendus aroma Dira yang wangi. Satu menit kemudian, mereka menguraikan pelukannya.

"Kayaknya benar, karena pelukanmu rasa lelahku perlahan menghilang," ujarnya diakhiri dengan senyuman. Abi sepertinya mudah sekali tersenyum.

Dira merona karena kelancangannya memeluk Abi. Dan semakin merona mendengar ucapan Abi. Padahal bukan ngegombal, tapi membuat Dira salting sekarang.

"Mas mandi dulu ya. Pasti bau banget, mana kamu peluk tadi."

"Iya, Mas." Bau apanya, coba? Malah Dira merasakan aroma maskulin dari Abi. Sama sekali tak bau asem. Bahkan Dira masih mau memeluk Abi meski Abi tak mandi. Sayangnya suaminya sudah berlalu di kamar dan membersihkan diri. Masa iya Dira kudu nyusul ke kamar mandi.

"Nyaman banget meluk pak suami," gemesnya. "Cinta oh cinta, bisa-bisanya begini," kikiknya lalu mengikuti Abi.

****

Dira menatap Abi tanpa malu lagi. Terang-terangan mengagumi sosok suami yang sebelumnya hanya Dira amati. Patah hati saat menjadi iparnya, lalu jatuh cinta lagi saat mereka menikah.

Abi yang merasa mendapatkan sikap Dira yang tak seperti biasanya mengernyit heran. Sejujurnya Abi sedikit malu melihat sikap Dira terang-terangan melihatnya. Tapi Abi pura-pura tak tahu dan bersikap seperti biasa.

"Dira, are you okay?"

"Ah, apa, kenapa Mas?" Dira gelagapan, ekspresinya terlihat menggemaskan di mata Abi. Padahal Dira enak-enaknya melamun.

"Gak apa-apa, cuma kamu dari tadi natap Mas. Mas takutnya kamu kesambet, mana kayak ngelamun gitu," jelas Abi.

Dira tersenyum kecut mendengar ucapan suaminya. Emang salah ya memandang sang suami yang tak pernah Dira bosan pandang. Dan tak mungkin ia kesambet, karena yang dilamunkan 'kan wajah tampan Abi.

"Kalau gitu, kita bisa makan 'kan? Mas lapar soalnya."

"Bisa dong." Tanpa malu Dira menggandeng tangan Abi. Setelah di ruang makan, ia pun mengambil beberapa menu untuk Abi.

"Dihabisin ya, Mas. Selamat makan," ujar Dira riang tak melihat tatapan horor Abi saat melihat piringnya penuh lauk pauk.

Ada apa gerangan, kenapa Dira bersikap tak malu-malu lagi. Apakah ini sikap asli Dira. Abi belum menyentuh makanannya, namun ia melihat wajah cantik Dira yang tersenyum sedari tadi. Saat Dira mendongak dan menyadari ia belum makan sedikit pun, Abi gantian gelagapan.

"Kenapa gak di makan, Mas? Mau Dira suapin?" tanya Dira menatap Abi dengan wajah polosnya.

Abi menghela napas pelan, memijat keningnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada senyuman samar di bibirnya yang tak dilihat oleh Dira.
"Gak usah, Mas bisa makan sendiri kok."

Akhirnya Abi memakan makanannya setelah beberapa menu ia kembalikan. Abi takut kalau ia tak bisa menghabiskan semuanya. Tak mau mubazir. Lebih baik mengambil dikit demi sedikit.

"Gimana Mas? Enak 'kan?" tanya Dira setelah selesai makan. Ia menatap suaminya penuh keingintahuan.

"Enak kok."

Dira cemberut mendengar jawaban singkat Abi. Namun tak lama kemudian ia tersenyum, setidaknya Abi masih memuji masakannya.

****

Abi menatap Dira yang tidur terlelap. Sebelum Dira tidur, mereka mengobrol tentang pekerjaan Abi di kantor. Abi menghela napas kasar seraya mengamati langit-langit kamarnya. Sebagai pria normal, bohong jika ia tak ingin meminta haknya pada Dira. Namun, ia terlalu takut jika menakuti Dira saat ia memintanya.

Apalagi mereka menikah bukan atas dasar nama cinta. Abi tak ingin Dira merasa tidak nyaman dengannya. Padahal, Abi juga tersiksa. Mempunyai istri namun diam-diam bermain solo itu sangat tak mengenakan.

"Memilih diam, tapi tersiksa. Mau bilang, takut ditolak." Abi dilema namun ia menyadari bahwa ia harus menahannya. Jangan sampai ia menerjang Dira. Bukan mendapatkan yang diinginkan, malah mendapatkan tendangan.

Abi menghela napas pelan. Ia memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Dira. Tiap malam ia pasti akan mengamati wajah ayu Dira. Menyentuh pipinya dan mengelus rambutnya. Satu hal yang Abi sukai dari Dira adalah, istrinya sama sekali tak terganggu. Mungkin saat ada gempa bumi pun pasti Dira tak akan merasakannya.

"Tadi, kamu agak berbeda. Kenapa hm? Tau gak? Aku gak mau semakin serakah saat melihat senyumanmu." Abi berbisik seraya mengelus pipi Dira.

Dira bergeliyat kecil, namun matanya tak terbuka, dia terus melanjutkan tidurnya. Abi terkekeh melihatnya. Dengan gemas Abi mengecup bibir Dira yang sedikit berbuka.

Abi menutup bibirnya, wajahnya memerah saat sadar apa yang barusan ia lakukan. Bagaimana bisa ia mengecup bibir Dira diam-diam begini? Ia seperti orang mesum meski ini sah-sah saja. Toh, Dira juga istrinya, ia punya hak juga.

Tapi—

"Aku takut khilaf," desisnya, menghela napas berat. Melirik Dira yang terlelap, Abi berusaha memejamkan matanya.
Sayangnya bukan tertidur, ia malah gelisah. Ya gimana tak gelisah saat dedek gemesnya mengganggu.

"Sial," umpatnya. Abi memejamkan matanya, mulai berpikir tentang pekerjaannya supaya tidak berpikir hal yang tak dimasuk akal.

Beberapa menit kemudian ia sudah lega. Abi membuka matanya dan menatap Dira teduh. Kini ia menarik pelan Dira dalam dekapannya. Menghirup aroma rambut Dira lalu memejamkan mata kembali.

"Hal yang aku takutkan saat menikah denganmu, aku menginginkanmu kembali."

****
10/02/22

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang