𝟏 𝐚𝐦

2K 192 1
                                    

"Hey, rubah kecilku akhirnya datang!"

Sambutan itu berasal dari Helio, sahabat sehidup sematinya. Pekerjaannya yang melelahkan sebagai CEO perusahaan tambang ternama membuat Helio menjadikan night club ini menjadi spot favorit mingguannya untuk melepaskan hasratnya. Dan tidak salah lagi, pria dan wanita sewaan dengan pakaian minim serta stiletto membalut kaki jenjang itu kini gencar menggoda tuannya. Helio sudah mabuk, rupanya.

Dalam pandangnya yang kini berhadapan dengan Helio, Ravael menenggak sauza blue tequila favoritnya karena pikirannya sedang kacau. Berkat kecelakaan kecil tidak terduga beberapa saat lalu, debaran jantung itu semakin menjadi kala senyum itu tergambar dengan jelas di benaknya. Pria tadi benar-benar memikat.

Sebelum salah satu wanita sewaan itu mendekat, Ravael menenggak kembali gelas tequila nya dan beranjak pergi melangkah keluar ruangan. Helio yang setengah sadar menangkap hal itu,

"Kau ingin pergi kemana? Ayolah temani aku dulu seperti biasa,"

Ravael menggeleng melihat kelakuan sahabat karibnya, "Aku akan turun ke dance-floor, hawa ruangan ini semakin panas."

Helio tertawa, sebelum cumbuan itu menenggelamkan suaranya, Ravael telah menghilang menuju dance-floor.

Manusia dengan berbagai rupa menghentak-hentakan tubuhnya seirama alunan musik disc-jockey yang berada tepat di tengah ruangan, beberapa diantara mereka meliuk-liuk memamerkan kemolekan tubuhnya di tiang-tiang yang berjejer rapi di sisi kanan ruangan.

Ravael memperhatikan sekeliling, dibawah temaram lampu ia berharap akan kehadiran makhluk yang mengisi pikirannya selama 30 menit ia menginjakkan kakinya di club ini.

Ah, gotcha.

Pria itu berada di pojok kiri ruangan, berjarak lumayan jauh dari dance floor. Entah berkat dewi fortuna atau ketajaman mata Ravael, ia hanya membutuhkan waktu 1 menit untuk menyusuri ruangan dan menemukan sang pujaannya.

Waktu kini telah mencumbu pukul 1.30 pagi kala kaki berbalut celana ber merk senada dengan atasannya itu berjalan menuju ke arah Pria tersebut. Hingga akhirnya netra itu kembali bertubrukan, Pria di depannya menaikkan sebelah alisnya. Dengan perlahan, tangan bertanda lahir itu membuka maskernya dan duduk disamping Pria yang masih menimbulkan tanya diwajahnya.

Ravael tersenyum, "Ah, ini aku yang tadi menyenggolmu di lantai 2. Apa kamu keberatan bila aku bergabung?"

Lengkungan itu muncul lagi, "Tidak, silahkan saja, kebetulan aku disini juga hanya seorang diri."

Tak terasa waktu kian berlalu, tegukan terakhir dari gelas berisi tequila favoritnya itu telah tandas. Keduanya masih tertawa perihal lelucon yang dilemparkan satu sama lain, pipi keduanya juga sudah bersemu merah.

Kali ini, Pria bernama Alexander itu menatap Ravael lekat, tangan bebasnya bergerak menyentuh untaian rambut yang menutupi raut rupawan sang model ternama. Rupanya yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah,

"Ada apa, Alex? Ada yang salah denganku?"

Alex tersenyum, tangan itu kini sudah turun melewati pelipisnya dan bertengger di pipi Ravael yang terasa halus, perlahan ia mengusap kulit pipi yang semakin mengeluarkan semburat kemerahan dan mengundang tawanya.

"Kamu benar-benar cantik, Ravael."

Yang diberi pujian hanya bisa mengulum bibir dan menundukkan wajahnya malu. Ini pertama kalinya ia merasakan sensasi aneh saat dipuji oleh lawan bicaranya. Pekerjaannya sebagai model tentu tidak luput dari layangan pujian tiada akhir. Namun baru kali ini ia merasakan efek mual yang membuncah dari pujiannya, berkat Alexander.

𝐋𝐨𝐰𝐤𝐞𝐲; NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang