Malam, temans. Bab 1 meluncur sesuai janji. Hahay💃
Definisi puas itu adalah ketika keluar dari ruang kerja Dokter Prasojo setelah order obat disetujui tanpa negosiasi panjang. Tak apa meski harus menunggu hingga dua jam asalkan hasilnya selalu sebagus ini. Bukankah itu harga yang pantas? Rasanya aku ingin berteriak begitu kencang untuk menyalurkan bahagia mengingat beliau adalah orang yang tidak gampang setuju dengan pembelian obat meski secantik apa pun detailernya.
"Kamu itu bego atau sok kecakepan, sih, Va? Cowok baik dengan karir bagus macam Pak Bagas kamu tolak. Ngerasa paling the most wanted, ya?"
Aku heran, baru saja aku masuk kantin dan duduk dengan beberapa teman seperti biasanya, tetapi langsung dapat semprotan kalimat tak mengenakkan dari Rania. Bagaimana aku bisa betah berteman dengan Rania padahal mulutnya benar-benar susah dikondisikan. Bikin malu jelas, masa dia bertanya seperti itu padahal kami sedang ada di tempat umum. Mana sedang ramai dan hampir nggak ada meja kosong tersisa. Malah di depan beberapa stand makanan, beberapa dokter muda sedang mengantre makanan.
"Nggak kurang kenceng suaramu itu, Ran?" kutegur Rania supaya menyadari di mana kami berada.
"Udah biasa, sih, ngomong dengan suara kenceng kek begini," balas Rania tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Lagian yang ditolak Lava, 'kan, Pak Bagas," sahut Ryan sambil menatap Rania. "Kenapa kamu yang ribut?"
Dalam hati, aku membenarkan ucapan Ryan. Kenapa juga Rania peduli kalau aku menolak Pak Bagas. Lagipula apa urusan dia di sini? Meskipun begitu, aku tetap tidak ingin marah. Mungkin Rania hanya merasa aku sudah mengambil keputusan bodoh mengingat masa depan Pak Bagas yang sudah pasti cemerlang jika dilihat dari posisinya sekarang.
"Belain aja terus." Rania tetap tidak mau mengendalikan mulutnya. "Palingan juga dia goal tuh orderannya sama Dokter Prasojo."
"Ya wajar, sih, oderan goal. Itu namanya sales pinter." Ryan masih menanggapi omongan Rania.
Pesanan makanku datang sementara Rania dan Ryan masih berdebat tentangku. Aku tak peduli, tadi pagi aku belum sempat sarapan gara-gara harus mengejar jadwal praktik pagi dokter terkenal. Semuanya sebanding dengan hasil yang kudapat, jadi suasana hatiku benar-benar baik walaupun temanku yang satu ini masih juga tidak terima, entah dengan alasan apa.
"Bagi tips, Va. Gimana biar dapet orderan gede?" tanya Ryan yang telah menyelesaikan makannya.
"Ngapain nanya? Wajah yang sok kecakepan itu jelas jawabannya."
Jawaban Rania membuatku kaget bukan main. "Sok kecakepan?" tanyaku untuk meyakinkan apa yang kudengar.
"Emang kamu yang sok kecakepan, Lava." Bukannya merendahkan suara, Rania justru semakin meninggikan volume suaranya hingga aku merasa jengah karena beberapa pasang mata yang tertuju ke meja kami.
"Sekalian pakai toa," dengkusku jengkel. Kutunjuk keranda yang sedang didorong menuju kamar jenazah. "Biar orang itu dan seluruh yang tertidur di sana ...," tunjukku pada sebuah ruangan, "pada bangun semua dan keluarganya nggak susah."
"Gelay banget, sih, Va, pake ngomongin orang yang nggak bisa bangun lagi."
"Lagian protes nggak lihat tempat. Kalau kamu suka sama Pak Bagas, pendekatanlah sana! Jangan nyalah-nyalahin aku yang memang beneran nggak bisa."
"Masalah?"
Aku terdiam. Rasanya sangat sulit dipercaya kalau aku punya teman seperti Rania. Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan mulutnya yang memang sering tak tahu tempat ketika berbicara. Aku tak harus menegur apa pun yang semua temanku lakukan karena itu memang bukan urusanku. Aku berprinsip bahwa meski teman baik, bukan ranahku untuk mencampuri kehidupannya.
Orang melakukan sesuatu karena hal itu dianggap benar, ditambah mereka sudah dewasa. Jadi, pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Begitu pun dengan perilaku Rania. Toleransi yang kuberikan selama ini ternyata tidak membuatnya menjadi sedikit peka. Dia bertindak sesuatu yang bagiku sudah di luar batas. Kali ini aku merasa seperti kehilangan toleransiku. Bukan teman namanya jika tidak bisa menghargai teman yang lainnya.
"Jelas masalah," sahutku. Kutatap tajam mata Rania, kali ini tak akan kubiarkan mulut berbisanya itu mengeluarkan racun lagi. "Kalau posisinya dibalik, gimana? Sakit hati nggak kalau aku berbuat hal yang sama ke kamu?"
Aku berdiri, menjinjing tas dan meletakkannya di pundak. Kuhabiskan es teh ku sebelum aku memundurkan kursi. Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di meja dan berpamitan.
"Aku mau lanjut. Sampai ketemu, ya."
"Va," panggil Rania. "Lava ...."
Aku mendengar panggilan Rania, tetapi aku tak ingin menoleh. Cukup sudah yang kudengar hari ini. Pertemanan kami lebih berarti daripada omongan tak penting yang sudah dia ucapkan.
Ketika hampir sampai di tempat parkir, aku justru bertemu orang yang sebenarnya tak ingin kutemui. Sudah terlambat kalau mau menghindar, dia telah melihatku dan menyunggingkan senyum. Mau tak mau aku jadi menghentikan langkah dan menunggunya.
"Apa kabar gadis favorit?" Pak Bagas langsung menyapa begitu langkahnya terhenti di depanku.
"Sudah pasti baik."
"Mendengar jawabanmu, pasti sukses tuh order ditandatangani oleh doktermu."
"Begitulah. Rejeki anak Sastro,"
"Rejeki anak saleha, Begitu yang bener, Va."
"Sampai kapan pun, papaku ya tetap Sastro. Bukan saleha."
Pak Bagas tergelak. Sejujurnya aku tidak tahu bagian mana yang lucu sampai tertawanya begitu lebar. Melihat Pak Bagas yang seperti itu, orang pasti tak akan menyangka kalau dia adalah seorang manajer. Bukan di perusahaanku, tapi di perusahaan kompetitor di mana deretan detailernya pun juga handal.
"Jadi, berapa ampul yang berhasil kamu dapatkan?"
"Waaah, itu rahasia perusahaan, Pak. Yang jelas setengah target bulan ini sudah dapat."
"Kamu cocok jadi detailer, ya, Va."
Aku memang detailer. Sebuah pekerjaan impian yang aku cita-citakan sejak duduk di sekolah menengah. Orang mungkin ingin menjadi dokter, direktur, polisi, atau apa pun itu. Namun, aku hanya ingin menjadi detailer. Bagiku pekerjaan ini sangat keren, mengingat orang yang akan aku pintari adalah dokter-dokter yang jelas menentukan kelangsungan karirku.
Pikiranku berubah ketika aku berhasil meraih cita-citaku. Bukan dokter yang aku pintari untuk selembar persetujuan order, tetapi bagaimana harus menekan ego ketika mereka yang begitu pintar justru menyanggah fungsi obat berdasarkan efek samping dari kandungan-kandungan tertentu. Pada akhirnya bekerja bukanlah mengenai kepuasan karena berhasil mewujudkan impian. Bekerja sama dan kemampuan mengendalikan diri pun termasuk di dalamnya.
"Saya memang detailer, Pak. Masa Bapak lupa."
"Saya bukan atasanmu, panggil Mas saja kenapa."
Memang bukan atasanku, tetapi tetap saja susah untuk memanggil "mas" seperti keinginannya. Aku mengenalnya karena kebetulan sedang sama-sama menunggu di antrean dokter praktik. Saat itu dia bersama Rania yang memang detailernya.
"Kalau begitu, saya pulang du-"
"Katanya mau lanjut, Va, kenapa masih di sini?" Rania tiba-tiba muncul dan berdiri di dekatku. "Begini yang katanya nggak suka sama Pak Bagas? Kok aku berpikir sebaliknya, ya?" lanjut Rania dalam bisikan tepat di samping telingaku. "Selamat siang, Pak Bagas."
Heran, bagaimana Rania bisa menyapaku, protes, lalu menyapa Pak Bagas dalam waktu bersamaan. Masa bodoh, lama-lama beneran malas memikirkan tingkah orang yang cintanya terpendam. "Saya pamit, Pak," pamitku sambil melanjutkan langkah menuju tempat parkir.
Saat hendak membuka pintu mobil, seseorang menarik ranselku dan membuatku menoleh. Ternyata Rania, kali ini ada kemarahan yang terpancar di wajahnya. Aku tak tahu kenapa, yang jelas dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Di dunia farmasi ini, kamu masih anak baru. Jangan coba-coba bergaya dengan tebar pesona sana-sini. Satu tahun itu belum lama, jadi mudah saja kalau mau membuat reputasimu buruk."
Emang gitu, ya, nasib anak baru.
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
RomanceCover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya. Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi...