🍰 14. Melting 🍰

808 247 51
                                    

Malam, temans. Dicari Kang Ghosting niyy😁😁

"Sini, Va. Aku di bakso bakar sama Rosa."

Aku membaca pesan itu ketika sudah duduk nyaman di mobil. Dari Mas Candra yang lagi-lagi berbuat semaunya. Sebenarnya bukan semaunya, tetapi aku telanjur menganggap semua sudah tidak lagi sama. Perasaan tidak penting yang terus merajai hatiku. Sebab itulah aku tetap berusaha untuk biasa meski perhatian Mas Candra begitu menggoda.

Memangnya kenapa kalau dia sedang di bakso bakar? Aku tidak lapar dan cukup punya uang untuk membayar makananku sendiri. Tidak perlu pergi ke sana untuk bergabung hanya untuk mengisi perut. Ngobrol saja dengan Rosa, mereka 'kan teman lama? Tidak ada yang istimewa bagiku.

Benar kalau aku mengharapkan pesan dari Mas Candra. Meskipun begitu, aku juga harus realistis karena tidak bisa berharap banyak padanya. Jadi biarkan saja hubungan ini tetap begini. Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Nanti saja aku merespons, sekarang aku hanya ingin melakukan apa saja yang kusuka.

Astaga. Aku melipat tangan di kemudi lalu meletakkan kepala di atasnya. Aku tak sekebal itu dari Mas Candra. Sesungguhnya aku merasa kalau dia itu tulus dan perhatian. Kemudian apa? Kenyataan berbicara tidak seperti apa yang kurasa. Mestinya rasa dan realitas itu bisa sinkron supaya tidak ada masalah-masalah yang membuat hati nelangsa.

Tidak usah diminta pun sebenarnya aku tahu dan sadar kalau Mas Candra tidak selalu bisa mengirim pesan. Profesi yang sama membuatku mengerti bahwa berbalas pesan harus benar-benar sesuai dengan prioritas. Meskipun begitu, aku tetap tidak ingin mengerti. Hatiku tetap menuntut bahwa kalau aku memang penting, setidaknya Mas Candra bisa meluangkan sedikit waktu. Selalu itu yang berputar dalam kepala ketika aku mengingatnya.

Tidak. Saat ini Mas Candra pasti tidak sengaja mengirim pesan. Dia pasti sedang khilaf hingga mengirimkan pesan untukku. Ketika sadar besok, Mas Candra pasti akan kembali mengabaikanku. Jadi sebelum aku kembali kecewa, lebih baik berjaga-jaga demi ketentraman hatiku sendiri.

"Wah, aku baru saja duduk di bakso presiden. Pesananku malah belum diantarkan."

Sialan. Aku membual tentang bakso Presiden dan tiba-tiba ingin makan olahan daging itu. Tak banyak berpikir, aku mengemudi menuju bakso Presiden. Jalanan yang relatif sepi membuatku sampai di tujuan dengan cepat. Mas tukang parkir pun tidak protes saat aku memarkir mobil di pinggir jalan.

Setelah memesan dan menunggunya di meja luar kedai, akhirnya aku menikmati porsiku dengan santai. Bakso yang kenyal dipadu dengan kuah yang kaya rasa benar-benar memanjakan lidahku. Di kejauhan aku mendengar alarm peringatan milik KAI. Kedai bakso ini memang terletak di pinggir rel kereta, jadi saat makan sesekali kereta api lewat. Seru dan aku menyukainya, karena itulah aku memilih meja di luar.

"Terusin aja makan bakso sampe bulat. Nggak ngajak-ngajak." Rosa duduk di depanku dengan bibir mengerucut. Bersamaan dengan itu, kereta api muncul dari utara dan melewati kedai bakso dengan kencang. Kecepatan kereta api membuat tempat dudukku sedikit bergetar seperti ada gempa bumi.

Kutatap wajah Rosa yang datang-datang langsung cemberut. Tak lama kemudian, Mas Candra menyusul dan duduk di sampingku. Ada apa dengan mereka berdua? Bukankah tadi mengatakan kalau sedang ada di bakso bakar? Mengapa muncul di sini? Mungkin mereka memang niat menyusulku. Jarak kedua kedai bakso ini memang tidak jauh, hanya sekitar satu kilo meter.

"Susah banget ngajakin kamu nongki sekarang."

Aku memilih tak menjawab kalimat Rosa. Tetap saja aku menikmati baksoku yang jelas lebih enak daripada mendengar keluhan temanku yang jika ditanggapi bisa sepanjang jalan kenangan. Pada Mas Candra aku hanya melirik sebentar. Berharap dia menyapa? Jangan mimpi. Dia akan menyapa kalau datang benar-benar belakangan. Seperti biasanya, irit bicara atau memang diet ngomong.

Kisah Yang (tak) Pernah DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang