🍰 21. Menyangkal 🍰

875 245 63
                                    

Sore, temans. Ciee ... yang dikasih dobel update. Sueneng, dong bisa ngamuk in LavaCandra lagi😁😁

Aku berusaha menikmati piknik yang kuikuti atas ajakan Rosa. Saat naik perahu dan menyeberang ke Pulau Sempu pun, aku tidak banyak bicara. Beberapa pertanyaan hanya kutanggapi seperlunya. Mas Candra duduk di sebelahku dan tidak ada percakapan di antara kami. Bagiku, Mas Candra memang seperti itu. Dia bukan tipe pria yang menjelaskan apa pun yang dilakukannya, kecuali dia punya inisiatif untuk bercerita. Selalu itu yang terus kutekankan dalam pikiranku supaya pertengkaran dengan Mas Candra bisa kuhindari.

Perahu yang kutumpangi ternyata memutar ke pantai tiga warna terlebih dulu. Menyuguhkan pemandangan yang semuanya terlihat begitu indah. Namun, semua keindahan itu memburam di mataku. Tak terasa mataku membasah dan tanpa kentara aku menghapusnya. Segera kupakai kacamata hitamku supaya tak seorang pun memperhatikan mataku.

Semakin menepi ke Pulau sempu, gradasi warna airnya semakin kelihatan. Yang semula berwarna biru pun perlahan menghijau, lalu putih tepat di tepi pantainya. Kami turun dan perahu meninggalkan kami di pesisir Pulau Sempu. Teman yang sudah tiba terlebih dulu sudah berenang sambil tertawa-tawa. Beberapa di antaranya naik ke pohon dan melompat ke air, Benar-benar seperti anak kecil yang baru dilepas untuk berenang sendiri.

Ketika teman-teman yang datang bersamaku sudah mulai bersuka ria dengan air, aku memilih untuk duduk di ranting rendah sebuah pohon. Tak seberapa panas karena angin bertiup cukup kencang meski sinar matahari bersinar cerah.

Aku melihat Mas Candra juga bermain. Dia berenang dengan teman-teman lain dan tertawa kecil mendengar beberapa candaan. Melihat Mas Candra yang ini, aku seperti menemukan sisi lain dari dirinya. Meskipun tawanya tidak lebar dan berlangsung hanya beberapa detik, tetap saja itu adalah hal baru bagiku. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu sebelumnya.

Selang beberapa saat, perempuan yang katanya pacar Mas Candra mendekat. Dia memberikan minuman kotak untuk Mas Candra dan diterima setelah anggukan. Apakah aku cemburu? Tentu saja aku cemburu. Aku tidak pernah melakukan itu untuknya.

Aku jelas tidak bisa melakukan apa pun untuk mengatasi rasa cemburu yang mencengkeram hati ini. Mau mendatangi perempuan itu dan mengatakan "jangan sok perhatian" pun juga tidak mungkin. Lagi pula, apa yang akan dipikirkan Mas Candra jika aku melakukan itu? Kupikir dia bukan orang yang menyukai tingkah bodoh.

Saat-saat seperti ini, detak jantungku tak lagi menyanyikan lagu indah. Debarannya justru mengirim sesuatu yang terasa begitu menyakitkan. Keterdiaman ini memang tepat dan pilihanku adalah mengalihkan pandangan ke tempat lain. Ketika hal ini tak banyak menolong, aku memilih bangkit dan berjalan menyusuri pesisir pantai. Kukeluarkan ponselku dan mulai mengambil gambar. Hanya beberapa video dan gambar-gambar yang kuanggap menarik.

Aku melihat Mas Fahmi yang baru saja keluar dari air. Punya keinginan lain dari sekadar duduk dan melihat orang berenang, aku pun mendekatinya. "Mas, bisa nggak, sih, kalau aku diajak ke Danau Segara Anak?" langsung saja kutodong Mas Fahmi dengan pertanyaan yang dia pasti tak akan bisa menolaknya.

"Bisa," sahut Mas Fahmi. "Memangnya kamu mau?"

"Ya mau, lah. Kalau cuma berenang ngapain jauh-jauh ke sini. Hayuklah jalan!"

Bersyukur Mas Fahmi langsung menuju tasnya dan mengatakan pada beberapa teman kalau dia mau mengajakku ke danau yang kuminta. Dia juga akan menunjukkan pemandangan lepas Samudera Hindia dari sisi lain pulai ini. Menurutku masih cukup banyak waktu hingga sore nanti.

"Eh, Sob ... yang mau ikut tolong yang biasa jalan jauh aja, ya. Sekitar dua jam untuk sekali jalan. Ketahui kondisi masing-masing karena nggak mungkin kita piknik, tapi merepotkan teman, 'kan?"

Bijaksana juga ucapan Mas Fahmi. Aku membenarkan hal itu diam-diam. Kalau hanya jalan segitu aku jelas sanggup. Aku pernah berjalan lebih dari itu. Jadi, tidak masalah kalau mau minta ke sisi lain pulai ini.

"Duh, Fahmi. Tumben ada warning-nya." Rosa menimpali dan muncul begitu saja di dekatku.

"Bukan apa-apa, Ros. Jujur, ayas (saya) juga mau bersenang-senang. Nggak harus dijelasin lagi, lah. Ayo, Va!"

Mas Fahmi langsung melangkah melangkah menyusuri pantai hingga tebing-tebing yang makin jauh makin terasa menyenangkan perjalanannya. Dua jam perjalanan yang dia katakan pun bukan isapan jempol. Kami sampai di tempat yang dimaksud benar-benar setelah hampir dua jam.

Kami berdelapan dan semuanya langsung masuk ke air begitu tiba. Aku juga tak bisa menahan keinginan untuk itu. Agak jauh di depan sana, aku melihat lubang tempat masuknya air ke Segara Anak ini. Tempat ini lebih dari sekadar indah. Perjalanan tadi jelas sebanding dengan apa yang sekarang sedang kami nikmati.

Puas berenang, aku naik ke gugusan karang. Dari atas sini aku bisa melihat ke dua sisi. Segara Anak dengan beberapa teman yang masih berenang sedangkan di sisi lain aku sudah melihat lautan lepas. Samudera Hindia terlihat biru dan bersih dengan gelombang-gelomang yang terus bergerak.

"Candra, ndi (mana), Candra?" Salah seorang detailer yang kutahu bernama Vena mendekat pada Mas Fahmi yang sedang membakar ikan, tak jauh dariku.

"Gak usah nokat (tanya) Candra. Lek onok wedokan iku (kalau ada perempuan itu), jelas dek e (dia) terpasung." Rosa menjawab pertanyaan Vena dan bagiku kalimat yang diucapkannya itu terkesan ... kasar.

"Embal e (mulutnya) Rosa, los dol," ujar Mas Fahmi seraya membalik ikan di tangannya.

"Pacaran?" Vena menautkan alis. "Doyan ternyata."

"Bete sama dia?" Rosa bergeser ke arah Vena.

"Jelas, lah, Ros. Cewek suka caper begitu di ...."

"Mateng ikannya, Mas Fahmi?" Aku memilih untuk mendekati Mas Fahmi dan diberi setusuk ikan. Aku mencubit ikan yang masih panas tersebut dan meniupnya sebelum memasukkan ke mulut. Pedas dan enak. "Mantep, Mas. Buka resto ikan bakar aja, gimana?"

"Males. Enakan jadi detailer. Dolan terus. Makan ikanmu sana, nggak usah ngerecokin aku!"

Makan ikan bakar sambil menatap laut lepas disertai suara ombak yang kali ini terdengar begitu indah di telinga adalah caraku menjauh dari Rosa dan Vena. Satu-satunya cara yang terpikir olehku supaya tidak bisa mendengar obrolan tentang Mas Candra lagi. Bagiku sudah cukup apa yang kutahu hari ini dan tetap ... semoga semuanya baik-baik saja.

Aku menolak ungkapan yang sudah dikatakan oleh teman-teman seprofesiku meski kenyataan telah mencolok mataku. Biarkan saja. Meskipun hatiku perih ... selama Mas Candra tidak mengatakan apa-apa padaku maka semua pasti masih tetap milikku.

Dari dulu begitulah cinta. Deritanya gak uwes². Diselingi bahasa Malang tipis-tipis. Nggak masalah, yaa. Sudah di-translate.

H-2 Close PO 👇

H-2 Close PO 👇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Love, Rain❤

Kisah Yang (tak) Pernah DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang