Malam, temans. Gas, gas. Kang ghosting nge-gas tampilnya😁
Sejak kejadian Mas Candra tak membalas pesanku padahal dia online, aku memilih menjalani hariku seperti biasa. Tidak ada niat sedikit pun untuk mengkonfrontasinya. Aku hanya ingin diam dalam kesendirianku. Nanti juga dia akan mengirim pesan dengan sendirinya ketika sudah mengingatku kembali.
Kalau kupikirkan kembali, jangankan mengkonfrontasi, untuk mengirim pesan pun aku tidak ingin. Entahlah, aku merasa tidak nyaman. Ganjalan tentang Sandra saja masih terasa begitu tidak enak dalam hatiku, kini ditambah masalah baru.
Aku sengaja tidak memegang ponsel untuk waktu yang lama. Rasa ingin tahu kegiatan Mas Candra memang mendesak dada, tetapi aku masih berusaha untuk berpikir hal yang baik-baik. Daripada aku kecewa, maka sekalian saja aku tidak tahu kegiatan Mas Candra.
Sore ini aku sedang duduk di kamar dengan laptop menyala ada di depanku. Seperti biasa, akhir bulan adalah waktu untuk mengerjakan laporan. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Itu pesan dari Mas Candra, aku sudah tahu meski belum membukanya. Aku memberikan nada pesan berbeda jika itu datang darinya. Jadi, sudah pasti aku tahu kapan mesti memegang ponsel untuk urusan pribadi.
Kubuka pesan dari Mas Candra. Dia mengirimkan pesan suara. Seperti biasa, aku selalu suka pada caranya berbicara. Menurutku suara Mas Candra itu lembut dan membuai. Sangat pantas untuk menjadi seorang penyanyi, tetapi entahlah ... mengapa dia memilih bekerja sebagai detailer.
"Bagus."
Kukirimkan pesan itu untuk Mas Candra. Memang singkat seperti itu karena Mas Candra memberitahukan sedikit rencana kerjanya. Saat-saat seperti ini, aku merasa begitu penting untuknya. Namun, mengingat masalah yang masih belum ada jalan keluarnya, aku kembali berpikir bahwa aku hanya pelarian. Beberapa saat kemudian balasan darinya masuk lagi ke ponselku.
Aku malas membaca pesan Mas Candra. Berbagai perasaan berebut memasuki pikiranku. Rasa tidak dicintai, dihubungi saat dibutuhkan, dan selingan di waktu senggang. Semuanya campur aduk menjadi satu dan memburamkan semua hal baik yang pernah dia lakukan untukku. Perasaan tidak terima diperlakukan seperti itu kembali muncul.Jadi, kubiarkan saja pesan itu tanpa terbuka. Kuletakkan ponsel di meja sebelum meraih satu novel yang baru kubeli dan mulai membaca.
"Va, Nduk ... ini loh, Iqbal sudah datang."
Mendengar nama Iqbal disebut-sebut, aku segera menuju pintu dan membukanya. "Mana bocah cilik itu, Nek?" Tak menunggu jawaban Nenek, aku segera melewati pintu menuju dapur. Anak itu tak bisa jauh-jauh dari yang namanya makanan. Aku ingat betul hal itu.
"Mbak Lava!" Iqbal berdiri dan meraih tanganku. Dia menciumnya sekilas lalu mengajakku duduk. "Nanti antar aku melihat-lihat kampusnya, ya, Mbak."
"Moh. Anak SMA kok minta lihat kampus. Belajar yang bener, sana!" Sengaja aku mencampur bahasaku untuk menggoda sepupu lucuku ini.
"Aku sudah lulus SMA, Mbak. Makanya mulai hari ini sudah resmi pindah kemari."
Aku tersenyum geli. Lucu sekali ekspresinya ketika mengatakan kalau dia sudah lulus sekolah menengah. Keberadaannya di rumah ini pasti akan membuatku punya teman ngobrol saat Kakek dan Nenek sudah masuk ke kamar mereka.
"Habiskan sarapanmu!" tukasku. "Lagian datang-datang langsung makan. Kerja dulu sana, baru boleh makan. Kasian Nenek sama Kakek kalau ngasih makan kamu terus." Aku masih tak ingin berhenti menggoda Iqbal.
"Aku sudah sarapan burger tadi, Mbak. Sekarang ini cemilan."
Mataku membola. "Nasi sepiring kamu bilang cemilan? Dasar gudang!"
Iqbal tak memedulikan olokanku. Tangannya kembali menyendok nasi dan menyuap. Melihatnya makan begitu aku jadi berpikir bahwa mungkin sangat bahagia menjadi dia. Sehari-hari hanya berpikir tentang sekolah dan makan. Aku tersenyum sendiri dengan pikiran bodohku. Tentu saja Iqbal hanya berpikir tentang sekolah dan makan karena memang begitu tahap perkembangannya.
"Mbak, nanti traktir aku es boba, ya?"
Belum juga makanan di piringnya habis, Iqbal sudah meminta makanan lain. "Nah, begitu dibilang gudang nggak mau. Padahal banyak makanan yang kamu masukin perut. Belum habis yang ini, sudah minta yang lain lagi."
Siang itu aku menghabiskan waktu dengan sepupuku. Dia membawakanku oleh-oleh yang katanya titipan dari ibunya yang merupakan tanteku. Lumayan, kalau biasanya aku hanya menghabiskan waktu di kamar atau rebahan di hari libur, kini ada Iqbal yang membuatku tidak berhenti bercerita. Anak itu juga berencana untuk pergi ke car free day setiap hari Minggu. Kalau untuk yang satu itu, aku tidak janji. Selain malas, tempat dengan banyak jajanan bukanlah favoritku. Bukan karena yang jual, tetapi lebih karena aku selalu menginginkan banyak makanan hanya karena bentuknya. Hanya membeli dan jarang memakannya. Aku lepas kendali dan terlalu banyak membeli. Makanan-makanan itu menjadi penghuni meja makan dan berakhir dengan omelan nenek.
Menjelang sore, aku kembali ke kamar setelah menemani Iqbal bermain game. Aku juga sempat tertidur di ruang tengah selama satu jam. Kunyalakan laptop dan lanjut membuat laporan yang sempat tertunda. Lumayan daripada kubiarkan terus menumpuk. Setelah merasa pegal, aku menyandarkan tubuh di kursi. Mataku menatap ponsel yang sudah beberapa jam ini tak kusentuh.
Aku mengambil ponselku dan membawanya ke tempat tidur. Setelah nyaman dengan posisiku, aku mulai melihat pesan-pesan yang masuk. Perhatianku tertuju pada pesan Mas Candra dan mengabaikan semua pesan yang lain. Tanpa menunggu dan berpikir lagi, aku membuka pesan dari orang tersayang itu.
"Kenapa kamu nggak baca pesanku? Aku salah apa sama kamu?"
Nah, kan ... siapa yang mengatakan kalau Mas Candra itu salah? Aku bahkan belum pernah berpikir tentang benar dan salah selama berdekatan dengannya. Aku hanya kecewa, hal sesepele itu pun tidak pernah melintas di benak Mas Candra. Kutarik napas panjang, hanya sekadar membuatku merasa sedikit lebih tenang.
"Aku bukannya nggak baca pesanmu, Mas. Hanya lagi nggak pegang ponsel aja."
Setelah mengirim pesan itu pada Mas Candra, aku terdiam dan memikirkan jawabanku untuknya. Aku tidak bohong, 'kan? Aku benar-benar baru memegang ponsel setelah sibuk seharian ... meskipun sibuk yang kupaksakan. Tidak ada yang salah menurutku, karena aku masih jujur padanya.
"Kamu pikir aku anak kecil? Kamu pikir aku nggak kenal kamu sampai nggak tahu perubahanmu?"
Sejujurnya aku tidak tahu harus menjawab apa. Ketika Mas Candra muncul dengan seluruh kepekaannya akan perasaanku, kenapa dia juga tidak menganalisis penyebab tak enaknya rasa hatiku.
"Nggak ada yang salah, Mas. Aku hanya sedikit nggak enak hati aja. Nanti juga baik, kok."
Hanya itu yang mampu kukatakan pada Mas Candra. Kuharap dia tidak mengejar jawaban lagi padaku. Bagaimanapun, aku pasti merasa lebih tidak enak jika harus protes padanya. Sama seperti aku menyikapi kasus Sandra, kali ini pun aku bermaksud mendiamkannya saja dan berharap masalah ini akan menghilang dengan sendirinya.
"Ya sudah kalau cuma nggak enak hati, kuharap itu bukan kemarahan yang bikin suasana makin nggak enak. Atau kamu bosen sama aku?"
Kulempar ponselku ke belakang tubuh. Bingung harus mengatakan apa pada Mas Candra. Aku tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Rasanya kesal setengah mati.
Eaa. Sukanya ghosting. Giliran di-ghosting balik, ngamuk dia. Bingung, 'kan, jadi Lava?
Promo lagi, sapa tau hilal-nya pengin melukin sudah muncul😁
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
RomansaCover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya. Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi...