Siang, temans. Kang Ghosting siap bikin emosi😅
Merencanakan liburan dengan Mas Candra terasa begitu menyenangkan. Aku membayangkan untuk mengunjungi beberapa tempat. Mas Candra mengatakan terserah aku saja mau ke mana. Dia hanya berpesan disesuaikan waktunya, mengingat kami hanya akan di sana selama akhir pekan.
Aku mengambil ponsel dan mulai membaca catatanku lagi. Kami berangkat pada hari Sabtu setelah pulang kerja. Dengan kereta api eksekutif, perjalanan akan menjadi relatif singkat sehingga kami bisa bermalam minggu di Malioboro.
Membayangkan betapa ramainya tempat itu di malam minggu saja sudah membuatku merasa bahagia. Kami akan melihat beberapa pengamen yang unjuk keterampilan di sepanjang jalan itu. Lalu makan malam bersama di angkringan ... tak perlu restoran karena aku dan Mas Candra sama-sama orang yang simpel dan lebih mengutamakan kenyamanan.
Melanjutkan menikmati suasana setelah makan malam pun terasa bagus. Setelah itu, mungkin kami akan menikmati segelas kopi di kafe dekat Stasiun Tugu. Untuk yang ini ... bisa dilakukan, bisa juga tidak. Lihat suasana hati Mas Candra saja. Dia ingin duduk di situ atau justru ngopi lesehan di alun-alun sambil menikmati keramaian.
Aku mengulum senyum ketika membaca rencana berikutnya. Pagi pertama di Jogjakarta. Kami akan sarapan di hotel, kupikir ini pilihan bagus daripada mencari sarapan di luar. Jelas ribet dan bisa jadi memakan banyak waktu karena kami tidak tahu ke mana harus mencari menu yang cocok di luasnya Jogjakarta.
Menjelang siang, kami akan jalan-jalan saja. Mungkin membeli Lumpia Samijaya ... bagiku belum ke Jogja kalau tak mencicipi jajanan yang satu itu. Meskipun bukan oleh-oleh, tetapi keberadaannya di Malioboro seperti sudah menjadi ciri khas dan memang wajib mampir.
"Nggak usah mulai gila, deh, Va! Senyum-senyum nggak jelas."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal setelah menutup aplikasi yang baru saja kugunakan untuk mencatat rencana perjalananku dengan Mas Candra. Aku tak ingin mengatakan apa-apa pada Rosa. Gila saja, dia pasti akan menertawakan aku atau mewawancarai aku seperti wartawan.
"Belajar gila. Anggap aja gitu," jawabku dengan senyum ramah yang kubuat-buat.
"Eh, Va ... kemarin kamu ke mana, sih? Mestinya jadwalmu bukan keluar kota, 'kan, ya? Tapi kenapa nggak nongki sama aku, sih?"
Aku melirik Rosa yang sedang memulas kuteks di kuku jari telunjuknya. "Nggak keluar kota, tapi terjebak macet." Aku memang tidak datang saat Rosa mengajak untuk makan siang bersama. Selain panas, kemarin adalah hari yang berat. Aku harus bolak-balik ke dua lokasi hanya karena tidak bertemu dengan bagian pengadaan dua rumah sakit.
"Oh, kukira kenapa. Ada Candra kemarin itu."
"Terus ...."
"Ya nggak ada terusannya, Va. Kangen nongki bertiga sama kamu dan Candra."
Mendengar nama Mas Candra disebut-sebut, tidak ada rasa penyesalan karena kemarin tidak bisa makan siang bersama. Aku cukup puas dengan ajakan Mas Candra untuk melewatkan liburan bersama. Memang hanya akhir pekan, tetapi bagiku cukup untuk menawarkan rasa sakit hati karena semua hal yang sudah terjadi kemarin. Kalau aku beruntung, mungkin aku bisa sedikit bertanya tentang banyak hal.
"Ya nanti pasti ada waktunya, Sa. Kita tahulah jadwal sedang padat-padatnya." Bukan hanya Rosa, sebenarnya aku pun juga kangen menghabiskan waktu bertiga. Berdua dengan Mas Candra terasa lebih menyenangkan untukku, tetapi tak mungkin mengatakannya pada Rosa untuk saat ini.
"Candra sama Sandra kemarin."
Aku sempat berhenti meneguk minuman yang saat ini tengah kupegang. Untung saja aku tidak tersedak. Kehilangan minat pada minuman yang biasanya kusuka, aku meletakkan gelas yang kupegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
RomanceCover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya. Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi...