🍰 8. Berbunga-bunga 🍰

751 224 51
                                    

Malem, temans. Lava Candra hadir lagi duong. Nggak bosen, 'kan ketemu mereka tiap hari?

Hari ini aku pulang jam tujuh. Setelah membersihkan tubuh, aku menikmati makan malam bersama kakek dan nenek. Menu kali ini terasa benar-benar enak di lidahku, lebih dari sebelumnya. Nenek memang juara dalam menyiapkan makanan enak. Pantas saja kalau kakek tidak pernah mau makan di luar. Kalau nenek sedang tidak enak badan, beliau lebih memilih membuat makanannya sendiri. Bukan jenis yang rumit, mungkin hanya tempe goreng atau telur ceplok ditambah sambal bawang.

Selesai dengan urusan perut, aku duduk di depan televisi. Hanya menemani dua orang lanjut usia ini menonton sinetron. Lebih tepatnya hanya nenek yang nonton, sedangkan kakek mengomentarinya. Pria tua bijak itu mengatakan, tontonan sekarang itu banyak yang tidak mendidik dan justru memberikan contoh yang tidak baik. Yang bisa kulakukan hanya memperhatikan keduanya tanpa memberi komentar.

Mataku menatap ke arah televisi, sedangkan telingaku mendengarkan obrolan kakek dan nenek yang saling bersahutan. Rasanya sama seperti saat presentasi di zaman kuliah. Saling memberikan pendapat dan sanggahan-sanggahan yang justru membuat debat makin seru. Perhatianku terpecah lagi ketika ponselku yang ada di meja bergetar. Aku meraih benda itu dan senyumku langsung muncul.

"Sayangku sedang apa?"

Sebulan ini hari-hariku sangat menyenangkan. Pekerjaan lancar seperti biasa dan kini ada hal yang selalu kunantikan setiap hari. Apa itu? Tentu saja ngobrol dengan Mas Candra. Hanya obrolan menjelang tidur dan kadang-kadang tidak penting karena hanya berisi candaan. Kadang-kadang masalah pekerjaan, atau cuma hanya bergurau tidak penting. Sekadar saling sapa yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan. Mas Candra adalah sosok yang menyenangkan. Begitu yang kutangkap dari obrolan kami hampir setiap malam.

Tiga hari terakhir, ada pesan yang kunilai sedikit serius. Mas Candra mengatakan kangen di awal chat dan kalimat sayang di akhir chat. Yang paling menyentuh hatiku adalah kalimat yang dia kirim sebelum tidur. Dia mengucapkan selamat malam, lengkap dengan doa baik dan ... kalimat sayang. Iya, sayang. Seperti pesan yang baru saja kubaca. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana menanggapi kalimat Mas Candra itu. Berniat untuk masuk ke kamar, aku bangkit dan merapikan bantal sofa yang tadi tergeletak di bawah meja.

"Mau ke mana, Nduk?" Aku tidak mendengar kapan nenek dan kakekku berhenti berdebat. Padangan dua orang itu kini tertuju padaku. Terlihat heran dan bertanya-tanya.

"Ke kamar, Nek." Aku menjawab seadanya, tetapi wajah nenek terlihat ... seperti masih menyimpan pertanyaan. "Nenek ada perlu sama Lava?"

Nenek menarik tanganku dan membuatku duduk di sampingnya. "Akhir-akhir ini kamu masuk kamar lebih cepat. Apakah ada masalah?" Mata tua itu menatapku penuh kasih. Tangannya masih tetap memegang tanganku dan terasa semakin erat. Sepertinya aku memang tidak bisa ke kamar cepat-cepat.

"Nggak ada masalah apa-apa, Nek."

"Benar?"

"Nini, seperti ndak pernah muda saja. Paling itu lagi mau telpon-telponan sama pacarnya."

Aku menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menanggapi ucapan Kakek. Di saat yang sama, Nenek juga melepaskan tanganku, lalu mengusap kepalaku dengan sayang.

"Nenek ini kadang lupa kalau kamu itu sudah gede, Nduk. Ndak cuma gede, kamu malah sudah kerja dan deket-deket nikah. Nenek merasa semakin tua."

Kupeluk wanita yang begitu mengasihiku ini. "Meskipun sudah gede, Lava akan selalu menjadi gadis kecil di mata Nenek. Iya, 'kan?" Mata nenek berkaca-kaca. Aku selalu terharu jika beliau sudah begitu. Aku memang selalu menjadi anak kecil di hadapannya dan yang paling menyenangkan adalah ketika Nenek menyuapi makan saat hampir terlambat berangkat kerja.

Kisah Yang (tak) Pernah DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang