🍰 27. Terjerat Rasa 🍰

3.3K 338 60
                                    

Yuhuuuu, sore temans. Ney kuberi 1 chapter bonus buat kalean. Teman² yang baek hati😍

Ada yang komen kok udah tamat? Ya memang aku bilang wp sampe bab 26 aja, kan.

Ada yang nanya apakah ada e-book?
Ada. Nanti, ya, setelah bukunya selesai didistribusikan. Nanti aku info di sini kalau sudah mengudara. So ... tunggu yaa.

Dahlah, yuk, baca bonusnya!

Jogja, Jogja, Jogja istimewa
Istimewa negerinya, istimewa orangnya
Jogja, Jogja, tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia

Rungakna iki gatra saka Ngayogyakarta Negeri paling penak rasane kaya swarga Ora peduli ndunyo dadi neraka Ning kene tansah edi peni lan mardika ....

Aku sudah keluar dan berdiri di depan Stasiun tugu ketika lagu Jogja Istimewa yang mengalun diikuti oleh beberapa orang menembus runguku. Tiba-tiba napasku sedikit sesak, hidungku memanas dan pandanganku memburam oleh air mata. Hari ini, entah sudah berapa kali hal yang sama terjadi padaku.

Menginjakkan kaki di kota ini nyatanya tak semudah bayanganku. Semula aku berniat untuk pulang untuk melupakan episode tersedih dalam hidupku dengan Mas Candra. Namun, siapa sangka jika hanya mendengar lagu Jogja Istimewa saja sudah seperti mengundang air mata. Jogja memang istimewa, sayangnya aku tak seistimewa itu bagimu, Mas.

Aku pernah berangan-angan datang ke kota ini dengan Mas Candra. Mendengarkan lagu yang sama sambil bergandengan tangan. Keluar stasiun dan mencari angkringan terdekat untuk mengisi perut. Walaupun kami baru turun dari kereta api eksekutif, nyatanya angkringan tetaplah tempat yang kami inginkan untuk mengisi perut.

Saat ini, aku hanya bisa menatap angkringan itu, tetapi tak ada minat untuk mendekatinya walau hanya selangkah. Di mataku, tempat itu seolah menyembunyikan luka dan aku tak berani mendekat untuk mengambil risiko. Aku hanya memikirkan satu hal, bahwa kedatanganku tidak untuk membuat kenangan.

Aku melangkah meninggalkan Stasiun Tugu menuju Malioboro. Tak seberapa jauh, aku melihat sebuah kafe. Sungguh ... aku telah menulis tempat itu dalam rencana perjalananku dengan Mas Candra. Di sana, kami akan memesan makanan kecil saja. Tentu dengan secangkir kopi untuknya dan cokelat panas untukku. Setelah itu, kami hanya akan duduk mengobrol sambil menghabiskan sore. Menghitung kereta api yang lewat karena memang kafe ini ada di pinggir rel.

Aku menarik napas panjang beberapa kali, berusaha supaya air mata yang mulai menggenang ini tersapu oleh semilir angin sore. Tak ingin terus bersedih, aku melanjutkan langkah seraya melihat ke arah lain. Apa yang kulihat berikutnya justru membuat hatiku teremas. Plakat bertulisan Jl. Malioboro, tempat yang aku rencanakan untuk mengambil banyak gambar dengan Mas Candra.

Aku menelan isakanku dalam tangis yang tertahan. Semua di sekelilingku menjadi berupa bayangan kabur karena banyaknya air mata yang menggenang. Aku menunduk, sengaja ... supaya air mata ini langsung jatuh tanpa menggulir di pipiku. Belum ada cerita yang aku buat dengan Mas Candra, tetapi rasanya seperti tersengat ribuan kesan cinta.

Alih-alih menghindari Jalan Malioboro, langkah kaki ini justru membawaku ke sana. Melewati lapak demi lapak dalam kesendirian. Ini bukanlah seperti apa yang pernah kubayangkan. Rencana berbelanja hanya sekadar membeli sandal selingkuh pun tak lagi menarik bagiku hingga aku melihat kaki lima berjualan udeng.

Seperti besi yang tertarik magnet, begitu saja aku mendekat ke pedagang itu. Tak banyak yang kami bicarakan sampai aku membawa satu setelah membayar dengan uang pas. Aku tersenyum miris, betapa bawah sadarku masih begitu mengingat tentang Mas Candra dan keinginannya. Mungkin bukan keinginan, tetapi aku yang terbiasa memperhatikan setiap detail tentangnya masih merasa bahwa setiap perkataannya adalah titah yang harus kulakukan.

Kini, melihat benda di tanganku ini rasanya juga tak karuan. Aku ke sini adalah untuk pulang. Menyembuhkan luka dan bukannya membuat luka baru. Namun, kenapa Mas Candra seolah tak mengizinkanku untuk itu? Dia bertahta di hatiku dengan seenaknya dan tak memberiku kesempatan untuk menjadi diriku lagi.

Tuhan ... aku tidak bisa seperti ini terus. Rasa ini terlalu sakit untuk kutanggung sendirian. Bisakah aku ... sedikit saja tak mengingat Mas Candra di kepala ini? Dia dan segala tentangnya adalah kesalahan terbesar yang sudah kulakukan.

Aku memang hanya bisa mengeluh dan meratapi seluruh kesialan yang sudah kudapatkan. Namun, kenyataan yang kudapatkan dan apa yang kupikirkan jelas berbeda. Bayangan Mas Candra tetap tidak mau pergi dariku. Seperti jantung yang membutuhkan denyutnya. Seperti udara yang dibutuhkan dalam setiap helaan napas, begitupun Mas Candra bagiku. Dia seperti candu, tetap kubutuhkan walau sakit yang kudapatkan.

Aku kembali menyusuri jalanan Malioboro. Melihat apa pun tanpa benar-benar fokus hingga mataku tertuju pada gerobak kaki lima yang menjual lumpia. Keberuntungan sedang ada di pihakku ketika aku mendekat dan mengatakan pesananku. Tanpa harus menunggu, aku mendapatkan tiga buah lumpia.

Kutatap makanan di tanganku. Lumpia dengan bawang goreng halus, acar yang pasti segar, dan cabe hijau ... mungkin sepuluh biji. Dalam keadaan biasa, aku pasti akan segera melahap makanan wajib jika berkunjung ke Jogja ini. Namun, yang terjadi padaku justru sebaliknya. Rasa manis yang aku tahu akan kurasakan saat gigitan pertama, membuatku kehilangan selera.

Kubawa makanan itu melanjutkan langkah. Aku tidak ingin terjerat dalam kepedihan yang terus mengikutiku hingga di tempat ini. Jogja sedang berangin, menerbangkan rambut panjangku yang kubiarkan tergerai dalam gerakan pelan dan lembut.

Aku tidak tahu berapa langkah yang telah kuambil. Mataku hanya melihat ada sebuah kursi kosong yang cukup untuk dua orang. Aku duduk, memangku besek lumpia sambil memandang di kejauhan. Lampu-lampu jalan berjejer dan menurutku ... itu bukan lampu biasa. Modelnya jelas sudah disesuaikan untuk memperindah jalanan Malioboro. Sayangnya hidupku tak seindah itu.

Senja di sini selalu indah. Aku menatap langit sore yang kini berwarna jingga. Warna yang menjadi latar belakang gedung-gedung sejauh mata memandang. Bahkan di depanku. Warna jingga itu sampai terpantul di trotoar, persis di depan kursi tempatku duduk.

Aku tidak pernah membayangkan akan memiliki kisah cinta seperti ini. Lebih tepatnya perjalanan cintaku ... karena hanya aku yang cinta, sedangkan Mas Candra tidak. Lalu lalangnya orang tak bisa mengalihkan perasaanku. Aku tetap merasa sendiri, kesepian di tengah keramaian.

Saat sadar aku telah memikirkan kembali kesedihanku, aku membuka lumpia yang kubeli. Kuambil satu dan menggigitnya. Mungkin makanan itu masih seenak biasanya, tetapi di lidahku terasa hambar. Aku capek dikejar rasa tak nyaman. Sejauh ini aku merasa sudah begitu bersabar. Tak hanya bersabar, aku juga sudah mengalah karena bagiku ... mengalah bukan berarti kalah, sabar pun sudah tidak ada gunanya. Mungkin menjauh adalah pilihan yang tepat untuk membuat aku menyadari bahwa cinta ini benar atau hanya sekadar obsesi.

Hanya satu gigitan saja, tetapi aku tak bisa menelan makanan itu dengan baik. Rasanya seperti berhenti di tenggorokan dan tanpa terasa satu isakan lolos. Napasku cepat lagi, sedangkan mataku mulai tersengat panas. Memilih untuk melanjutkan langkah, kuletakkan lumpia yang kubawa di kursi. Aku pergi, tak peduli pada makananku lagi.

Aku mengikuti ke mana pun kaki ini melangkah. Tanpa memedulikan kendaraan yang terus berlalu lalang semakin padat. Suara klakson terdengar kencang membuatku kaget dan tersadar dari lamunan. Kulihat sekelilingku sambil mengernyit, sedikit bingung dengan keberadaanku. Mengingat tempat terakhir sebelum sampai di tempat ini, aku jadi sadar bahwa aku melamun sepanjang jalan. Jalan-jalan yang pernah ingin kulalui dengan Mas Candra dalam perjalanan yang pernah kurencanakan.

Aku berada di bawah pohon dan lagi-lagi menatap ke arah langit senja. Benteng Vredeburg masih ramai sementara aku kembali menumpahkan tangisku di bawah pohon beringin. Senja ini tak membawa bahagia untukku. Aku berusaha mengontrol isak tangisku. Sudah kujalani beberapa rencana perjalanan yang kubuat meskipun tidak bersama Mas Candra.

Aku mendongak, melihat burung-burung beterbangan di senja jingga. Terbanglah ... terbanglah segala rasa sakit bersama angin senja. Aku tak akan membawamu pulang. Meski masih tersisa perihnya, 'kan kusimpan jauh di dasar hatiku.

Tuh, kereta Lava sudah sampe rumahnya.
Iyes, rumah Lava memang di Jogja.
Dah. Jan nanya lagi lanjutannya. INI BENERAN TAMAT.

Love, Rain

Kisah Yang (tak) Pernah DimulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang