Malem, temans. Aku mengantar Lava ke ruang bacamu🤭
"Jadi, kerja obatnya kurang lebih seperti itu. Dokter-dokter sekalian pasti lebih paham dengan hal itu karena bersinggungan langsung dengan pasien. Semantara saya hanya mengerti dari product knowledge. Terima kasih banyak sudah memberi saya kesempatan untuk belajar langsung dari Anda semua."
"Saya oke, Mbak Lava." Dokter Made tersenyum lebar. "Kasih saya form order-nya. Biar lekas saya tanda tangani."
"Saya juga, Mbak Lava."
"Saya sekalian ...."
Senyumku mengembang. Presentasi kecil yang diadakan perusahaanku membuahkan hasil. Walaupun membutuhkan waktu serta tenaga untuk menyiapkannya, kurasa ini sebanding dengan hasilnya. Rasa bahagia benar-benar mengembang di hatiku. Selesai menyetujui formulir pemesanan, para dokter itu meninggalkan ruangan sementara aku memanggil supir kantor untuk membereskan semua peralatan yang sudah dipakai.
Pekerjaanku selesai. Aku pergi ke kantin rumah sakit karena perutku sudah meronta minta diisi. Hari ini sangat menyenangkan. Abaikan bagaimana repot dan susahnya aku menyesuaikan waktu luang orang penting itu, yang jelas hasilnya sepadan.
Berbicara tentang kantin di dalam rumah sakit, normalnya aku memilih untuk makan di luar. Tidak adanya teman membuatku memilih tempat makan terdekat dari pada harus jalan sendiri. Lagi pula, cuaca juga tidak mendukung. Malang di musim kemarau memang benar-benar membuatku harus ekstra menjaga kesehatan diri sendiri. Sakit kepala akan membuatku harus tidur semalaman karena sebisa mungkin tak ada obat yang masuk ke badanku.
Semangkuk mi pangsit disajikan mbak penjaga kantin yang dengan senyum lebar mempersilakanku. Aroma merica dan acar mentimun dan cabe langsung menggugah selera. Ku aduk sebentar makanan itu dan mulai menikmati setelah menuang kuah secukupnya.
"Halo, Sugar. Apa presentasimu selesai?"
Aku memutar mata menyembunyikan kejengkelan. Pak Bagus jelas bukan orang yang ingin kutemui hari ini. Suasana hatiku memang bagus, tetapi aku memang malas bertemu dengannya. Bagiku, Pak Bagas adalah potensi munculnya kata buruk dari Rania yang jelas ditujukan untukku.
Bagaimana aku berpikir begitu? Tentu saja begitu, Rania itu detailer andalan di perusahaannya dan wajar jika manajer sampai turun lapangan, jelas akan didampingi oleh marketing terbaiknya. Sejak kejadian Rania mengataiku sok cantik, aku jadi malas bertemu dengannya dan Pak Bagas jelas merupakan masalah untukku.
"Nama saya masih Lava, Pak." Sengaja kujawab sapaan Pak Bagas dengan tegas, berharap dia mengerti ketidaksukaanku.
"Tidak romantis kamu ini, Lava. Sama calon suami itu yang manis sedikit. Daripada kualat."
Aku tersedak mi yang sudah hampir kutelan. Makanan itu tiba-tiba saja masuk tenggorokan bersamaan dengan napasku. Aku batuk-batuk hebat sampai mengeluarkan air mata. Tak kuhiraukan Pak Bagas yang mengulurkan segelas air untukku. Memangnya dia tidak bisa melihat kalau aku masih belum bisa meredakan batuk-batuk akibat ulahnya? Dasar tidak peka, dia yang bikin aku tersedak, dengan sok polos pula matanya menatapku.
Begitu batukku mereda dan berhasil menyesap air minum, aku merasa lega seketika. "Pak Bagas mau bunuh saya?" protesku. Tak kupedulikan banyak mata yang aku tahu pasti sedang melihat ku tersedak. Biasa itu untuk warga enam dua, ada insiden bukannya menolong, mereka malah pilih melihat dan terkadang berkomentar yang aneh-aneh.
"Maaf, saya tidak bermaksud buat kamu tersedak begitu, Sugar."
Masih sugar. Aku ingat dengan baik kalau namaku adalah Lava Swasti Ratu. Pemberian papaku dan masih tetap begitu sampai sekarang. Seenaknya saja Pak Bagas menggantinya jadi sugar tanpa bubur merah. Lagi pula, siapa dia berani mengubah-ubah namaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
RomanceCover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya. Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi...