Malam, temans. Aku lagi rajin ney. Pokok e pantengin aja, syapa tau kilafff dobel up🤣🤣
Hayuklah baca🤭Ini adalah hari Senin. Aku tidak pernah berkata i hate Monday seperti kebanyakan karyawan yang memulai kembali rutinitas mereka setelah hari libur. Bagiku, Senin adalah hari yang sangat menyenangkan. Selain merasa seperti hari libur, satu dokter yang harus aku kunjungi benar-benar orang terbaik sedunia, menurutku. Siapa yang tidak kenal Dokter Harjono, terkenal dan tidak mau ribet berurusan dengan hal sepele. Pertemuan dengan detailer selalu dijadwalkan di awal praktik tanpa negosiasi alot.
Aku tidak tahu bagaimana Dokter Harjono dengan detailer yang lain. Pokoknya, selama aku bekerja dan mengunjunginya dengan rutin, dia selalu bekerja sama dengan baik. Bukannya yang lain tidak baik, tetapi beliau benar-benar efisien. Aku juga hanya bertemu paling lama sepuluh menit dengan omset yang langsung menutup tiga puluh persen dari target. Menyenangkan, bukan? Jadi ... bagian mana yang bisa membuatku membenci hari Senin?
Hal apa lagi yang lebih menyenangkan? Selain seharian bisa bermalas-malasan, setelah menemui dokter super favorit itu aku juga bisa langsung pulang atau jalan dengan teman-teman. Biasanya, sih, aku memilih opsi kedua. Jalan dengan teman setelah membuat janji sebelumnya.
Seperti biasa, mengawali hariku yang menyenangkan ini, aku memilih untuk membuka beberapa media sosialku. Dimulai dari akun facebook yang meskipun aku jarang menulis atau membagi sesuatu, tetapi aku suka melihat kegiatan teman-temanku. Aplikasi terkenal ini banyak berbicara tentang keseharian para penggunanya. Mulai dari status yang rata-rata berisi curhatan, foto yang entah memang mengabadikan momen atau hanya sekadar pamer.
Bagian teratas berandaku adalah foto yang dibagikan oleh Rosa. Kuberi like saja, tanpa berniat untuk membaca caption yang ditulisnya. Jangan heran, kalau hanya untuk menyukai sih, aku selalu berikan. Apalagi gambar-gambar itu punya temanku. Saat jariku mulai menggulir layar ponselku lebih cepat, aku menemukan unggahan lain milik Rosa.
Tertulis best detailer ever. Aku tertawa sendirian. Narsis sekali temanku yang satu itu. Di sana dia juga menandai beberapa orang. Entah siapa saja, yang jelas mataku hanya terpaku pada satu nama. Candradimuka. Oh ... namanya Candradimuka. Bukankah itu nama kawah tempat Gatotkaca digembleng? Nenek dan Kakek pasti akan secara otomatis bercerita tentang dunia pewayangan jika tahu nama Mas Candra.
"Anak perawan ngepluk (malas). Jam segini kok masih lemah-lemah (rebahan). Bisa jauh jodoh kalau begitu itu, Va."
Kuputar bola mataku mendengar ucapan Nenek. Si cantik kesayangan kakek benar-benar tidak bisa melihatku nyaman bermalas-malasan. Baginya, anak perempuan itu harus rajin. Dimulai dari bangun pagi, menyapu, memasak, mandi, dan sarapan. Pertanyaanku, kalau kulakukan itu semua, lalu apa gunanya menggaji Mbak Surti? Benar, 'kan, kataku?
"Mbok ya yang bahagia begitu, loh, Nini, kalau melihat cucunya di rumah."
Aku tersenyum mendengar Kakek menimpali. Pria yang satu itu benar-benar pahlawanku. Sangat tahu suasana hati dan keinginanku untuk menikmati hari dengan santai.
"Lava kok dimanjakan. Makin ngepluk nanti."
"Sudah, Ni. Cucu perempuan kita itu hanya Lava. Kalau ndak dimanjakan kita mau manjakan siapa? Ndak pantes kalau mau manjakan cucu laki-laki. Jadinya malah kemayu (genit, centil) nanti."
"Ya wes. Nini memang ndak pernah menang kalau sudah berurusan dengan Lava. Akinya selalu mbelain. Bangun sana, Nduk, sarapan dulu. Nanti kalau masih mau klemahan (rebahan) ya dilanjut lagi."
Aku bangun dari posisi rebahku lalu menepuk tangan Kakek yang sudah terulur begitu Nenek melangkah ke dapur. Kakek tertawa penuh persekongkolan. Mungkin bangga karena bisa menyelamatkan aku dari serangan Nenek yang meskipun untuk kebaikanku, tetapi sedikit memaksakan kehendak ... menurutku.
"Kamu lihat apa, sampai mesam-mesem sendiri begitu?"
"Kakek kepo."
"Halah paling-paling kamu lihat bocah bagus."
Aku tertawa. Dari dulu Kakek selalu mengatakan tampan itu bagus. Kalau orang tidak mengerti, itu pasti dikira orang bernama Bagus. Begitulah, produk jaman old, tentu beda dengan yang sudah kekinian. Apalagi yang sudah terkontaminasi dengan oppa-oppa Korea, jelas beda lagi bahasanya.
"Kakek beneran sok tahu."
Kakek tertawa sementara aku kembali merebahkan tubuh. Biarkan saja beliau sarapan lebih dulu. Jika sudah sedikit memberikan petuah seperti tadi, Nenek tidak akan mengusikku lagi. Bisa-bisaku saja segera sarapan setelah semuanya siap.
Aku kembali melihat ponselku. Menatap lagi foto Rosa yang tadi belum sempat kuamati. Ada tujuh gambar di sana dan perhatianku hanya tertuju pada sosok Mas Candra. Dia memakai jeans hitam, baju warna hijau toska, topi yang dibalik, dan tas hitam yang diselempangkan menyilang. Tampan sekali.
Tampan? Astaga, dari mana munculnya kata itu hingga mampir di benakku. Sulit kupercaya, orang irit bicara begitu, senyumnya saja jarang terbit, dari mana tampannya? Lagi pula, kenapa tiba-tiba aku jadi penasaran tentangnya?
Aku bertanya pada diriku sendiri kenapa aku memikirkannya. Namun, jariku tidak berhenti untuk terus melihat koleksi foto Rossa yang juga menampilkan Mas Candra. Aku bahkan mengintip akunnya. Iya, katakanlah aku memang ingin tahu, tetapi ini benar-benar tak bisa kuhentikan.
Tidak banyak yang diunggah Mas Candra di akun miliknya. Hanya ada tiga foto di sana. Foto pertama dia menghadap pantai yang gambarnya diambil dari belakang. Foto kedua, Mas Candra sedang menghadap komputer dan tampak serius menatap layar. Foto ketiga ... yang membuatku langsung suka. Mas Candra memamerkan sedikit senyum sambil melihat ke arah kamera. Gila, senyum sepelit itu saja dia tampan, apalagi senyum besar.
Kukerjapkan mataku saat menyadari bahwa aku sudah melangkah terlalu jauh. Untuk ukuran mengenal Mas Candra yang hanya sekadarnya, tentu semuanya tidak wajar. Kenapa kulakukan ini, ya ampun. Mas Candra itu, 'kan, tidak ada menariknya sama sekali. Bagaimana bisa aku memiliki begitu banyak rasa ingin tahu?. Malah sampai stalking akunnya. Serius, aku merasa aneh dengan diriku sendiri.
Sekali lagi aku melihat akun Mas Candra. Dibuat sejak delapan tahun lalu dan tak mungkin, 'kan, kalau hanya ada tiga aktivitas? Pasti kegiatan yang dibaginya hanya bisa dilihat oleh teman-temannya saja. Tanpa berpikir panjang, kutekan tombol kirim pertemanan pada Mas Candra.
Kukedipkan mataku beberapa kali saat menyadari apa yang sudah aku lakukan. Mengapa aku ingin tahu aktivitas online Mas Candra? Tidak mungkin aku tertarik padanya, dia saja tidak menunjukkan gelagat tertarik. Jangankan tertarik, ramah saja tidak. Bukan tidak ramah dalam arti yang jelek, maksudku adalah sapaan Mas Candra selama ini ... menurutku hanya basa-basi saja karena kami memiliki pekerjaan yang sama.
"Lava ...."
"Iya, Nek."
Aku bangun dan menuju ruang makan sebelum nenekku datang dan menjewer telingaku. Di sana Kakek sedang menikmati sepiring singkong rebus dan secangkir kopi. Ada roti isi yang jelas disiapkan untukku beserta segelas susu. Nenekku? Jangan ingin tahu, karena beliau sudah pasti makan kue cucur yang dibeli saat belanja tadi subuh.
Aku mulai menyantap sarapan yang sudah pasti dibuat dengan penuh cinta. Sambil mengunyah, kutatap kembali layar ponsel yang menampilkan foto Mas Candra. Apa yang sudah kulewatkan? Rosa pernah mengunggah foto Mas Candra yang berada di atas motor besar. Kesan yang kudapat adalah macho. Di sana tertulis "happy birthday, sexy hunk" sebagai caption-nya. Aku mengerucutkan bibir, tiba-tiba merasa sebal. Ada rasa aneh yang menjalar di dadaku. Tak mau terganggu rasa tak enak ini, aku kembali menatap foto Mas Candra. Meskipun mengenakan helm teropong, tetap saja aku mengenali alis dan hidungnya yang ....
"Bagus tenan. Pacarmu, Nduk?"
Aku tersentak, tubuhku menegang, dan langsung meletakkan ponsel di meja. "Kakek ...." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tidak tahu harus menjawab apa pada pria tua yang walaupun banyak bersekongkol denganku, tetapi aku tahu kalau kali ini beliau tidak akan membiarkanku lolos.
Stalking di kamar makanya, biar nggak ketahuan. Yang suka stalking mantan, ngaku ... #eehh😁😁
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang (tak) Pernah Dimulai
RomanceCover by @DedyMR Lava menolak pria mapan yang berniat membina hubungan serius dengannya. Dia memilih Candra, pria biasa yang justru berhasil menarik perhatiannya. Candra yang diharapkan Lava nyatanya hanya memberinya air mata. Tak ada kedamaian lagi...