Chapter 4

6.2K 532 16
                                    

Wajib vote sebelum baca agar aku semangat nulisnya!
Semoga sehat selalu ya, kalian 😘

🌻🌻🌻

Pagi harinya, ketika aku sedang menyapu halaman rumah, aku melihat dua orang ibu hamil yang sedang joging saling berbisik sambil melirikku. Entah sanjungan atau hinaan yang saling mereka bisikkan, aku tak mau ambil pusing.

Tiba-tiba ada salah satu tetanggaku yang menyapaku. "Yang bersih nyapunya, Mbar!" godanya sambil tersenyum ramah.

Aku menghentikan aksi menyapuku. "Dari warung, Bude?" tanyaku basa-basi.

"Iya, udah kayak penggemarnya Endang aja—hampir setiap pagi ke warung," jawabnya men-judge dirinya sendiri.

"Sama aja, Bude, aku juga ya, gitu."

"Tadi malam ramai banget rumahmu. Lamaran, ya?" Wah, jiwa keponya mulai berontak.

"Alhamdulillah, Bude," jawabku.

"Sama mas Lingga beneran, Mbar?"

"Iya, Bude."

"Wah, diapeli tiga kali, yang ke empat kalinya langsung bawa keluarga besar, mantap itu, Mbar. Jarang loh laki-laki yang kayak gitu." Ya ampun, berarti orang sekampung tau kalau mas Lingga selalu bertandang ke rumahku setiap malam Minggu? Subhanallah, ngalah-ngalahin Lambe Turah.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Oh iya, kata Endang, yang tinggal sama dia itu anak angkatnya, ya?"

"Iya, Bude."

"Wah, masih bujang, ganteng, kaya, beli satu gratis satu pula, beruntung kamu, Mbar," katanya. Dikiranya aku beli sembako apa? Pakai istilah beli satu gratis satu pula!

"Alhamdulillah, Bude."

"Ya udah, teruskan nyapunya, Cah Ayu. Bude mau pulang dulu, mau lanjutin masak."

"Iya, Bude."

Kemudian, aku melanjutkan aksi menyapu halaman rumahku yang tadi sempat terinterupsi.

***

"Langsung urus berkas, Mbar?" tanya Linda yang melihat tanganku sedang mengedit file dokumen di komputer.

"Hm," sahutku karena fokusku sedang ada di monitor.

"Waduh, gercep ya, calon Nyonya Lengkara," godanya. Linda mengetahui nama belakang mas Lingga karena ia membaca biodata yang tertera di file ya sedang ku sunting.

"Walaupun udah jadi emak-emak gini, masih bisa lah jadi Bridesmaid—ya, nggak?" rayu Linda.

"Nggak ada Bridesmaid tetek bengek, yang penting sah!" tegasku.

"Ih, kan calon suamimu itu kaya, masa enggak ada pesta di gedung mewah? Masa kalah sama nikahannya si Jumi? Jumi yang lakinya petani aja resepsinya di gedung serba guna yang ada di dekat lapangan itu, Mbar." Sebenarnya aku bisa saja untuk menyelenggarakan pesta pernikahan di gedung yang sama seperti yang digunakan oleh Jumi dan suaminya, hanya saja aku tidak mau ribet dan ingin segalanya segera selesai.

"Heh, petani sih petani, tapi lihat ladangnya! Ladang berhektare-hektare kayak gitu kok kamu banding-bandingin sama mas Lingga, ya beda lah!"

"Ya, kali aja kamu termotivasi, Mbar," kata Linda agak jengah.

Orang-orang yang tinggal di kampung kami itu mulai dari kalangan menengah ke atas. Bahkan, warga sekelas mbak Endang saja termasuk kalangan menengah, ia membuka warung hanya untuk mengisi waktu luangnya saja. Kalangan menengah lainnya adalah bapak. Menurutku, bapak itu tidak kaya juga tidak miskin, hidup kami berkecukupan.

Kami memang tinggal di perkampungan, tapi perkampungan kami bukanlah tipikal perkampungan yang serba memiliki keterbatasan. Selama memiliki uang, kami bisa mendapatkan apapun yang kami mau dan dapat menjangkaunya dengan mudah karena jarak antara kampung kami dan jalan lintas hanyalah memerlukan waktu tempuh sekitar sepuluh menit jika ditempuh menggunakan sepeda motor. Bisa dikatakan bahwa tempat yang kami tinggali adalah perkampungan di pinggir kota.

Bahkan, yang ada di kampung kami hanyalah sekolah TK dan SD, sedangkan untuk jenjang lainnya hanya ada di sekitar jalan lintas yang mana orang-orang biasa menyebutnya dengan jalan depan. Maka dari itu, aku dan Akbar tidak perlu sewa kost saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

🌻🌻🌻

Karena pernikahan kami akan dilaksanakan sebulan pasca acara lamaran, maka calon suamiku setuju-setuju saja ketika aku meminta untuk dibuatkan acara pernikahan yang sederhana saja dan dijadikan satu tanpa adanya acara unduh mantu, aku tidak suka ribet. Namun, calon suamiku ini tipikal orang yang agaknya suka ribet di lain hal, dua Minggu sebelum acar pernikahan dilangsungkan, ia mengajakku untuk melakukan foto prewedding di hari Sabtu dan berbelanja untuk kebutuhan serah-serahan di hari Minggunya. Aku ingin menangis saja rasanya, apakah orang yang akan menikah pasti serempong ini? Bahkan acaranya hanya akan diselenggarakan secara sederhana, lantas apa kabar mereka yang venue-nya di gedung-gedung mewah?

Malam ini, aku sedang bernegosiasi melalui panggilan suara bersama Mas Lingga. Dirinyalah yang mulanya menghubungi diriku untuk memberitahukan niat dan tujuannya mengenai foto prewedding dan berbelanja serah-serahan untukku nanti. Tadinya, aku berpikir bahwa malam ini aku akan tidur lebih awal dan besok pagi dapat menyambut weekend dengan ongkang-ongkang kaki di rumah saja. Namun, semuanya sirna karena Mas Lingga.

"Harus banget foto prewedding, ya?" ulangku untuk memastikan apakah Mas Lingga yakin atau tidak.

"Iya," jawabnya. Beginikah rasanya akan menikah dengan seorang fotografer? Ia antusias sekali untuk melakukan pemotretan.

"Lama nggak?"

"Ya, tergantung sikon," jawabnya enteng.

"Bisa nggak kalau dua agenda itu dirangkap dalam satu hari?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Foto itu nggak sebentar, Mbar," jelasnya.

Ah, sudah tau kalau foto itu tidaklah sebentar, lalu kenapa ia tetap ngotot mengajakku untuk melakukan pemotretan? Ingin ku sumpal mulutnya!

"Okay, kita foto, tapi aku enggak ikut belanja serah-serahan," putusku.

"Enggak bisa dong, Mbar, yang mau pakai barang-barangnya kan kamu, bukan aku."

"Ya, pilih aja yang menurut kamu cocok buat aku. Toh, sekarang udah banyak jasa yang layanin barang-barang serah-serahan, kalau ada yang gampang, kenapa harus dibikin ribet?" Secara perlahan, kami sudah mulai beraku-kamu agar tidak canggung nantinya.

"Kan aku enggak tau pakaian dalam yang cocok buat kamu itu kayak gimana dan ukurannya berapa, kan cuma kamu yang ta—"

"Atasannya 38 A, bawahannya L. Udah malam, aku mau istirahat," interupsiku dengan cepat dan tanpa malu seolah-olah berbicara tanpa bernapas. Rasanya aku ingin berteriak di depan wajahnya sekarang juga!

Tut!

Aku mematikan panggilan itu secara sepihak hingga aku lupa untuk mengucapkan salam karena aku mengakhirinya dengan emosi yang menggebu. Aku muak dengan segala persiapan ini, aku lelah, aku harus bekerja dari pagi hingga sore, lalu saat weekend pun masih saja diganggu. Ah, shit!

Ting!

Mas Lingga
Jam 9 aku jemput. Maaf, udah bikin kamu emosi.

Aku hanya membacanya saja tanpa ada niatan untuk membalasnya, persetan dengan dirinya yang hanya akan melihat centang dua biru di ponselnya.

Iya, sepertinya ini adalah ujian menjelang pernikahan. Ya Tuhan, kuatkanlah iman kami berdua.

🌻🌻🌻

Tidaklah mudah untuk menyatukan dua kepala!

—Semoga Bahagia

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang