Chapter 19

5.5K 589 28
                                    

Suka heran sama silent reader!!!
Padahal pencet vote itu cuma berapa detik, sih?

Buat yang selalu vote, terima kasih, kalian anak baik ❤️

Happy Reading

🌻🌻🌻

Sudah dari siang tadi Ibu berkunjung ke rumah kami seorang diri. Kangen cucu, katanya.

Tiba-tiba ada derap langkah kaki yang masuk ke dalam rumah.

"Mbah," sapa Ziel sopan dan terkesan pelan. Lalu, ia menyalami Ibu. Namun, melewatiku begitu saja.

"Kenapa toh, Mbar?" tanya Ibu yang merasakan adanya perbedaan suasana semenjak kepulangan Ziel dari sekolahnya.

"Enggak kenapa-kenapa, Bu," kilahku.

"Enggak kenapa-kenapa, tapi kok kamu dilewati gitu aja?"

Ternyata susah sekali membohongi Ibu. Aku akui bahwa Ibu sudah lebih berpengalaman dalam menghadapi seorang anak ketimbang diriku, mungkin itu sebabnya Ibu susah untuk dikelabui. "Cuma ada masalah sedikit kok, Bu. Biasalah remaja, apa-apa maunya diturutin."

"Mbok ya dikasih tau baik-baik toh, Mbar, jangan perang dingin sama anak sendiri begini," tegur Ibu.

Aku yang tak terima disalahkan pun menyanggah perkataan Ibu. "Aku enggak ajak dia buat perang dingin, Bu, tapi emang dianya aja yang cuekin Mamanya."

"Ya, kamunya harus ngelembut sama dia."

"Nanti dia ngelunjak, Bu."

"Di coba dulu."

Aku menghembuskan nafasku dengan kasar. "Tolong jagain Devin dulu ya, Bu! Mau tanyain kakaknya Devin udah makan apa belum, soalnya tadi pagi enggak mau sarapan, enggak minta uang jajan juga ke papanya."

"Ya udah, sana!" titah Ibu.

Ku tinggalkan Ibu di hadapan televisi bersama Devin. Sedangkan aku beranjak beberapa meter dari posisi Ibu dan Devin untuk menuju ke kamar Ziel. Iya, kamar Ziel ada di sebelah ruang tengah atau ruang keluarga.

Aku tidak ada niatan untuk mengetuk pintu itu sama sekali, langsung ku buka begitu saja pintu kayu itu. Ternyata dia lupa untuk menguncinya.

"Mama ngapain sih, Ma? Kalau aku lagi ganti baju, gimana coba?!" amuknya.

Iya, aku memang salah, tapi aku ada alasannya. "Kalau Mama ketuk dulu, yang ada malah kamu kunci pintunya," sarkasku.

Dia hanya berdecak kesal dan menatapku dengan tatapan jengahnya. By the way, dia udah ganti baju, ya. Sedangkan seragamnya sudah teronggok cantik di atas ranjang.

"Seragamnya tuh digantung kalau udah dilepas, besok kan masih dipakai," ujarku sembari bergerak untuk menggantung seragam itu agar tidak kusut.

"Udah, kan? Sana Mama keluar!" usirnya.

Ku hiraukan usirannya itu. "Kamu pasti belum makan, kan? Apalagi hari ini enggak sarapan dan enggak minta uang jajan juga. Ayo, makan dulu!"

"Enggak laper," ketusnya, "udah sana Mama keluar!" Ziel mendorong punggungku agar aku segera keluar dari kamarnya.

Aku berbalik badan untuk menghadap ke arah remaja yang menolak kehadiranku di kamarnya ini. "Jangan kayak anak kecil bisa enggak?!" tegasku, "makan tinggal nelan aja susah banget. Mama tuh udah capek-capek masak, tapi kamu enggak mau makan, itu sama aja kamu enggak ngehargain Mama tau enggak?" Intonasi bicaraku agak melunak daripada sebelumnya.

"Mama maunya selalu dituruti, tapi enggak mau turuti aku balik!"

Baiklah, aku harus mengalah. Ku lembutkan suaraku kali ini. "Ya udah, ayo, makan dulu! Nanti ngomong sama Mama—kamu maunya apa."

Ku gandeng paksa pergelangan tangannya untuk menuju ke meja makan.

Setelah ku penuhi piringnya, ku suruh ia untuk lekas menyantap makanannya.

Selang berapa menit kemudian, makanan di piring Ziel sudah tandas. Kemudian, ku suguhkan segelas air minum untuknya.

"Ada yang mau diomongin?" tanyaku perlahan.

"Aku butuh uang untuk bayar UKT," ucapnya to the poin.

"Minta sama Papa."

"Tuh, kan. Mama udah enggak peduli sama aku!" Ngegas sekali nada bicaranya.

"Dengerin Mama dulu!" tegasku, "Mama sama papa itu cuma mau dilibatkan, El. Masa orang tuanya enggak tau kalau anaknya lagi ini-itu, itu yang enggak Mama sama papa sukai. Terus, masalah uang, jangan langsung menilai kalau papa enggak mau kasih uang ke kamu, memangnya kamu ada ngomong minta uang ke papa? Enggak, kan? Coba libatin papa, ngomong sendiri ke papa," tuturku.

***

Malam ini, kami kembali bertemu di meja makan.

Setelah makan malam usai, Ziel mencoba peruntungan untuk meminta uang ke
pada Papanya. "Pa, aku minta uang buat bayar UKT."

"Tadi pagi enggak minta uang jajan, Papa kira udah enggak butuh uang dari Papa lagi."

"Lupa."

"Kan udah dipanggilin?"

"Enggak kedengaran."

"Oh, budek rupanya."

"Mas!" tegurku dari depan wastafel karena aku sedang mencuci piring.

"Lain kali kalau masih butuh orang tua, apa-apa itu bilang, ajak diskusi orang tuanya, paling enggak minta restu sama Mama-Papa. Kalau kayak gini, kesannya kayak Mama sama Papa enggak peduli sama kamu. Masa anaknya daftar kuliah, tapi orang tuanya enggak tau?"

"Sorry," ucapnya terkesan cuek. Gengsi anak ini memang cukup tinggi, aku maklumi itu.

🌻🌻🌻

Semoga Bahagia

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang