Chapter 11

6.4K 625 28
                                    

Happy reading 🥰

🌻🌻🌻

"Sendirian?" tanya Ibu saat melihatku masuk ke dalam dapur.

"Iyalah, Bu, memangnya mau sama siapa lagi? Mas Lingga lagi tanganin pemotretan produk, jadi belakangan ini lumayan sibuk," ujarku.

"Ya, siapa tau datang sama bujangmu itu," balas Ibu. Beliau sedang menghaluskan bumbu di cobek.

Aku hanya diam—enggan membalas ucapan Ibu. Ibu tidak tau saja bahwa anaknya ini sedang terlibat perang dingin dengan cucu kesayangannya itu.

Daripada diam saja seperti ini, aku pun mengalihkan pembicaraan. "Bapak di mana, Bu?" tanyaku.

"Itu—lagi mancing di belakang. Makanya, ini Ibu lagi bikin bumbunya," jawab Ibu.

"Ikannya aja masih dicari, masa bumbunya udah duluin?" Orang tuaku memang unik.

"Ya, biar cepat," sanggah Ibu.

Aku pun menyusul Bapak di kolam belakang rumah kami. "Udah dapat banyak, Pak?" tanyaku.

"Kamu itu kagetin Bapak aja, Mbak, Mbak!" kata Bapak yang terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba ini.

Aku hanya terkekeh.

"Udah lumayan, sih. Ini umpan yang terakhir, sayang kalau enggak dihabisin," ujar Bapak.

"Baru jam segini, tapi kok udah banyak nyamuk ya, Pak?" tanyaku. Aku merasakan gigitan nyamuk di sekitar betisku.

"Belakang rumah loh langsung kebun, jadi masih sore aja udah banyak nyamuknya. Sana, kamu masuk aja, Mbak! Daripada dikerubuti nyamuk di sini," titah Bapak.

Aku pun masuk kembali ke dalam rumah untuk menanyakan keberadaan adikku tersayang kepada Ibu. "Akbar di mana, Bu?" tanyaku.

Belum sempat Ibu menjawab, suara Akbar sudah menggelegar. "Apa?!" seru Akbar dari dalam kamarnya.

Aku pun menghampirinya. Saat ku buka pintu kamarnya, ternyata ia sedang duduk di hadapan meja belajarnya dengan menghadap laptop yang terbuka dan beberapa buku yang berserakan di atas meja.

"Wah, rajin sekali Bapak Akbar ini," pujiku. Dengan tangan yang bersedekap, lalu ku sandarkan bahuku pada pintu kamar ini.

"Ngapain cari-cari aku? Kangen?" tanya Akbar dengan segala kenarsisannya.

"Cuma pengin tau aja progresnya udah sampai mana," kilahku. Padahal—sejujurnya—aku memang merindukannya, walaupun kami tidak bertemu satu atau dua hari saja.

"Bab terakhir, Mbak, sabar toh!" katanya seolah mengindari kejaran target dariku.

"Anakku aja udah mau lahir, Bar, Bar, masa skripsimu belum selesai-selesai? Keseringan main gaple di pos ronda sama bapak-bapak ya kayak gini!" ledekku.

"Padahal kalau aku udah wisuda, pasti masih tetap dikasih pertanyaan aneh-aneh," kata Akbar.

"Misalnya?" tanyaku.

"Udah dapat pekerjaan apa belum, Bar?" Akbar menirukan suara menye-menye ala ibu-ibu rumpi yang sering kepo itu.

Aku terbahak-bahak mendengarkannya.

"Ambar! Ketawamu itu loh, Mbak!" tegur Ibu dari dapur sana.

"Ya, kamu kan nanti tugasnya bantuin Bapak di ladang, toh?" godaku.

"Ya, enggak lah! Aku tuh mau merantau, Mbak," sanggahnya.

"Memangnya dibolehin sama bapak?"

"Boleh lah! Aku gitu loh!" pamernya. Aku senang jika melihat Akbar bahagia seperti ini.

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang