Chapter 16

5.7K 503 12
                                    

Happy Reading

🌻🌻🌻

Setelah menunggu beberapa bulan pasca sidang skripsi, akhirnya hari ini si bontot mendapatkan jadwal wisudanya juga. Namun, aku tidak bisa ikut karena memiliki bayi yang mungkin akan sangat repot apabila diajak bepergian keluar, terlebih di tempat umum. Maka dari itu, aku meminta kepada suamiku untuk menemani ibu dan bapak datang ke acara wisuda Akbar. Sedangkan Ziel, remaja yang baru beberapa hari ini menginjak kelas sebelas itu pergi ke sekolah seperti biasanya.

Siang ini, aku baru saja berhasil menidurkan Devin di kamar, lalu terdengar suara derum mobil yang memasuki halaman rumah.

Saat aku baru keluar dari kamar, ternyata sudah ada yang berdiri di kejauhan sana yang juga menghadapku. Sesosok pria yang terlihat tampan dan keren bersama toga yang ia kenakan. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyambutku.

Aku yang tadinya terpaku pun lantas berlari ke arahnya dan mengalungkan tangan di leher pria itu. Akbar, remaja ini memang lebih tinggi dariku. Cukup lama kami saling berpelukan dengan mulutku yang terus menggumamkan ucapan selamat berulang kali.

"Sini, aku foto!" Itu adalah suara yang menginterupsi keharmonisan kami sebelum kembalinya perdebatan persaudaraan antara kami. Iya, yang berbicara adalah suamiku.

Kami mengurai pelukan harmonis yang tergolong langka ini. Kemudian, mencari spot foto dengan background polos agar bisa diedit, lalu kami berpose layaknya foto kami berdua di masa kecil, di mana kami berdiri berisisian dengan aku yang merangkul lehernya secara paksa sambil tersenyum lebar khas anak kecil.

Setelah itu, Akbar melepaskan segala yang ia kenakan hingga tersisa kaus putih dan celana pendek saja.

"Udah shalat?" tanyaku.

"Udah," jawab Akbar.

"Udah makan?" tanyaku lagi.

"Udah," jawabnya lagi.

"Enggak nagih hadiah, Bar?" godaku.

Akbar memasang wajah imutnya yang justru terlihat amit-amit itu.

Lalu, ku toyor bahunya. "Sok imut kayak bayi badak!" umpatku.

Kemudian, Akbar mengalungkan salah satu tangannya di leherku dari belakang sambil merayu-rayu. "Mbak," rayunya seperti anak kecil.

"Ngomong, Bar, mau apa? Aku bukan cenayang," kataku.

"Enggak enak, ah!"

"Ya udah, terserah kamu," tak acuhku.

"Enggak ada usaha untuk menebak gitu, Mbak? Aku ini adikmu satu-satunya loh, Mbak!" Lalu, ia malah mengecup salah satu sisi pipiku.

Cup!

Aku langsung menoyor wajahnya, lalu mengusap-usap pipiku sendiri. "Najis ih, Bar!" umpatku.

"Enggak boleh gitu, nanti kalau aku merantau, Mbak Ambar kangen loh!" Anak ini terlalu narsis.

Kemudian, ku bawa Akbar ke meja makan, lalu ku beri suguhan berbagai stok jajan yang aku punya, Akbar pasti suka karena ia sering mencuri jajanku secara diam-diam—dulu.

Sembari mengunyah coklat batang di mulutnya, ia mengutarakan hadiah yang diinginkan. "Mbak, nanti kan aku mau merantau," ujarnya.

"Terus?"

"Pas mau berangkat, kasih aku uang saku, ya?" pintanya secara terang-terangan.

"Itu aja?" tanyaku.

"Memangnya boleh minta lagi?"

"Udah deng, boros!" tandasku.

🌻🌻🌻

Sekian bulan telah berlalu, tiba-tiba ada paket yang datang ke rumahku tanpa konfirmasi sebelumnya. Ku baca siapa pengirimnya, rupanya si bontot adalah pengirimnya. Setelah ku buka paket tersebut, rupanya ada dua setel baju bayi dan sepasang sepatu seukuran kaki Ziel. Akbar gaya sekali, ia membelikan barang-barang bermerek untuk kedua keponakannya. "Lah, aku enggak kebagian?" gumamku agak kecewa. Tak apa, yang penting anak-anakku bahagia.

***

Malam ini, ketiga priaku sedang berkumpul di ruang tengah sedang menonton televisi, mereka semua duduk di atas karpet. Aku yang baru saja selesai mencuci piring selepas makan malam pun segera bergabung bersama mereka dengan membawakan kotak sepatu yang Akbar kirimkan untuk Ziel. Aku pun memberikan kotak sepatu tersebut kepada si sulung.

"Buat Ziel?" tanyanya bingung.

"Hm. Dikirimin sama om Akbar," jawabku.

Ziel tersenyum sumringah ketika menerima kotak sepatu dariku. "Wow, thanks," ucapnya.

"Hubungi om Akbar! Terus bilang, 'terima kasih, om!' gitu," titahku pada Ziel.

"Mama aja," kata Ziel tak acuh. Ia sedang semangat membuka kotak sepatu tersebut.

Kebetulan ponselku bergetar panjang dan menampilkan nama Akbar di sana. Ia menghubungiku melalui panggilan video.

"Assalamu'alaikum!" salam Akbar dengan semangat.

"Wa'alaikumussalam," jawabku.

"Apa kabar, Mbak?"

"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, bahagia," jawab Akbar nyeleneh.

"Thanks—paketnya," ucapku.

"Udah sampai, toh?"

"Udah, tadi siang."

Aku yang sedang menyandarkan punggungku di sofa pun langsung menarik kepala Ziel yang duduk di dekatku sehingga menempel di depan dadaku. "Bilang apa?" tanyaku pada si sulung.

"Terima kasih, Om," ucap Ziel dengan kaku karena ia sedang malu.

"Sama-sama. Belajar yang pintar, El!" pesan Akbar.

"Iya," jawab Ziel singkat.

Melihat sebelah pundak dan kepala si Kakak bersandar di dada Mamanya, bayi berusia tujuh bulan itu langsung merangkak ke arahku, padahal tadinya ia berada di pangkuan Papanya. Lalu, ku arahkan kameranya ke arah Devin yang sudah berada di pangkuanku bersisian dengan sang Kakak.

"Hai, Gembul!" sapa Akbar.

Devin justru mendongak untuk menatapku, mungkin ia merasa asing dengan Omnya sendiri.

"Udah bisa apa aja kamu?" tanya Akbar.

"Bisa nangis," gumam Ziel menye-menye.

Ku arahkan kameranya ke arah Ziel. "Bisa apa, Kak?" tanyaku.

"Bisa nangis!" sarkasnya yang membuat Akbar tertawa.

Kami saling mengobrol hingga baterai ponsel Akbar lemah, membahas hal yang sebenarnya tidak penting untuk dibahas. Namun, memang begitulah kami berdua, obrolan-obrolan tak bermakna seperti itu yang kami jadikan sebagai pengulur waktu untuk melepas rindu yang tidak saling kami ungkapkan. Maklum, gengsi kami cukup tinggi sebagai saudara.

🌻🌻🌻

Semoga Bahagia

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang