Chapter 7

6.5K 588 19
                                    

Wajib vote sebelum baca biar aku semangat loh!

Semoga segala kebaikan selalu menyertai hidup kalian yang udah vote cerita aku, aamiin 🤲❤️

🌻🌻🌻

Sudah tiga bulan aku menjalani hidup sebagai Nyonya Lengkara. Semakin ke sini, suamiku semakin asyik jika diajak berbincang ataupun berdiskusi. Sedangkan Ziel, ia masih saja sok cuek terhadapku.

Setelah melakukan suatu ibadah yang mungkin saja dapat menghasilkan keturunan, Mas Lingga berbaring menyamping sembari mendekapku. "Kayaknya udah lama kita enggak libur kayak ginian?" tanya Mas Lingga.

Seketika otakku ngebug. "Hah?" cengoku.

Mas Lingga malah memberikan gerakan seakan ingin menggigit bahu telanjangku. Namun, ku pukul pantatnya yang hanya menggunakan boxer Calvin Klein yang super ketat itu hingga ia mengaduh.

Aku jadi teringat ketika tadi sore bertandang ke rumah ibu. "Kamu kok gendutan toh, Mbak? Apa tambah ayem hidupnya sekarang?" goda ibu tadi. Apakah benar bahwa aku ini gendutan?

"Mas."

"Hm?"

"Aku gendutan, ya?"

"Iya," jawabnya terlalu jujur. Namun, setelahnya terkekeh.

"Berarti aku jelek, ya?" Ah, rasa insecure menyerangku.

"Enggak lah, malah lebih seksi kalau montok kayak gini."

"Eh?"

🌻🌻🌻

Selamat pagi dunia, selamat pagi masalah baru di hari yang baru, dan aku sangat muak dengan masalah pagi ini. Saat ini, aku sedang dikeroki oleh suamiku karena saat hendak memasak, aku malah muntah-muntah di wastafel dapur, sepertinya aku memang masuk angin akibat semalam tertidur di bawah paparan AC tanpa mengenakan busana yang lengkap. Kerokan ku anggap sebagai ritual penyembahan efektif yang dilakukan oleh pahlawan kesianganku a.k.a suamiku, memang begitu kan budaya lokal yang berkembang di masyarakat?

"Aw, sakit! Pelan-pelan aja bisa nggak, sih?" protesku.

"Ini udah pelan, Mbar," balasnya.

"Kamu tuh kecepatan, Mas, kayak dikejar setan aja! Santai aja loh," pintaku.

"Makanya, kalau enggak mau ngerasain kayak gini, ya jangan sakit," katanya.

"Siapa juga yang mau sakit? Ini tuh gara-gara kamu tau nggak, sih?" kesalku.

"Kok aku?" balasnya tak terima.

"Yang tadi malam bilang, 'udah, pakai ini aja, terus langsung tidur!' siapa coba?" tiruku. Aku masih ingat kejadian semalam, di mana ia hanya menyuruhku menggunakan dalaman saja untuk kemudian langsung memejamkan mata di dekapannya.

"Semalam kan udah dibungkus bed cover juga, itu mah memang dasar kamunya aja yang lemah. Buktinya, aku yang cuma pakai boxer aja masih sehat walafiat, nih," pamernya. Tangannya masih terus bergerak memainkan koin seribu rupiah bergambar angklung di punggungku yang sudah diolesi oleh minyak kayu putih ini.

"Ish!" desisku kesal karena diolok seperti itu.

"Jangan lupa bilang sama temanmu itu kalau hari ini kamu izin dulu buat enggak berangkat kerja," peringatnya.

🌻🌻🌻

Hai, lagi-lagi kita berjumpa di pagi yang masih gelap ini. Sebentar lagi, azan subuh pasti akan berkumandang. Namun, sebelumnya aku ingin memastikan sesuatu. Ku ambil tiga kemasan berbeda tipe—walaupun masih satu merek—yang kemarin dibelikan oleh suamiku tercinta yang masih terpejam dengan damai di singgasananya itu.

Tak lama kemudian, aku kembali menghampiri lelaki tampan yang masih tertidur pulas tersebut. Ku pastikan terlebih dahulu bahwa nafasku tidak bau karena aku telah menggosok gigiku sebelumnya. Kemudian, ku tiup pelan wajah Mas Lingga. Loh? Tangan justru bergerak untuk menggapai selimut guna menutupi wajahnya. Ia masih belum bangun, matanya tetap terpejam seperti semula. Lalu, ku tarik selimut yang sengaja ia gunakan untuk menutupi wajahnya itu. Ku tiup lagi wajahnya hingga ia bergumam tak jelas. Sengaja tanganku bergerak untuk menjepit hidung mancungnya itu agar ia tidak bisa bernafas dan segera bangun. Namun, yang ada justru tanganku yang diraihnya dan jari telunjukku digigit olehnya, padahal matanya masih setia terpejam. "Aw!" jeritku.

Kemudian, ia menghempaskan tanganku yang tadi sempat ia gigit. "Sana!" gumamnya samar. Lalu, ia justru merubah posisi menjadi memunggungiku.

Tak kehabisan akal, dari belakang punggungnya, ku arahkan tangan kiriku yang memegang sesuatu berada sekitar tiga puluh sentimeter di hadapan wajahnya. Sedangkan tangan kananku, ku gunakan untuk sengaja membuka kelopak matanya satu persatu secara bergantian hingga ia merasa terganggu. Iya, aku memang memaksanya untuk bangun, lagi pula sebentar lagi akan masuk waktu subuh.

"Apa sih?!" gumamnya dengan kesal. Lalu, secara perlahan matanya mulai terbuka.

Ku tumpukan kepalaku di atas kepalanya sehingga salah satu sisi wajah kami saling bertemu. Aku pun ikut memandang sesuatu di tangan kiriku yang sedang ia pandang juga.

Salah satu tangannya bergerak untuk meraih ketiga benda yang ada di tanganku itu. Setelahnya, ia bangkit dari baringannya menjadi posisi duduk menghadapku. Mas Lingga mempertanyakan keaslian hasil dari benda tersebut. "Ini beneran, kan? Bukan kamu coret-coret pakai spidol?" selidiknya bak seorang Intel.

"Dih, ngelawak," sahutku sembari mencebikkan bibir.

Mas Lingga langsung memelukku. Lalu, ia menangkup kedua pipiku untuk kemudian ia daratkan bibirnya di kedua pipi, dahi, dan yang terakhir adalah bibirku. Tergambar dengan jelas betapa bahagianya si Bapak yang sudah siap menyambut calon anak kandungnya ini.

Yeay! Akhirnya, si pejuang dua garis pink ini berhasil juga.

"Kapan mau periksanya?" tanya Mas Lingga.

"Enggak tau, aku kan kerjanya sampai sore." Aku juga bingung untuk mencari waktu yang tepat.

Kemudian, aku mengajukan sebuah usul. "Atau periksa ke bidan aja? Kan buka tuh sampai malam, pokoknya asal orangnya belum tidur aja, pasti masih mau layani."

Mas Lingga justru menggeleng. "No, aku masih punya uang untuk USG," sombongnya.

"Bukan masalah uang, tapi masalah waktu!" tegasku sekali lagi.

"Hari Jumat nanti, kamu izin lagi aja. Jugaan, jam kerjanya cuma sebentar, kan? Jadi, paginya kita periksa ke dokter kandungan." Iya, aku tau bahwa dokter kandungan pun mayoritas jam kerjanya sama seperti jam kerjaku khusus untuk hari Jumat.

"Masa izin lagi? Ya, aku enggak enak lah!" bantahku.

"Enggak mungkin dipecat, Mbar," balas Mas Lingga mengantisipasi kekhawatiranku.

"Ya, tapi kan—"

Mas Lingga menjentikkan punggung jari telunjuknya ke dahiku dengan pelan. "Kalau beneran dipecat—ya udah—malah lebih enak duduk manis di rumah, kan? Udah ada yang nafkahi, enggak mungkin kelaparan. Udah sih, tenang aja," katanya—menyepelekan.

Aku hanya mencebikkan bibirku sambil berdecih pelan. Sangat menyepelekan sekali si manusia satu ini!

🌻🌻🌻

Kasih quote dong!

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang