Chapter 21

5.6K 554 73
                                    

Happy reading 😊

🌻🌻🌻

Bertepatan dengan jam makan malam yang sudah tiba, derum mobil Mas Lingga baru terdengar memasuki halaman rumah.

"Papaaa!" teriak Devin menyambut kedatangan Papanya sambil berlari keluar.

Saat kembali, rupanya Devin sudah berada di gendongan Papanya.

Ku cium punggung tangan kekar itu.

"Makan dulu atau mandi dulu?" tawarku.

"Mandi dulu, udah keringatan—enggak enak rasanya."

"Devin sama Mama dulu, yuk!" ajakku.

Namun, anak itu justru menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya di leher sang Papa.

"Ih, Papa masih bau loh. Kita panggil kakak ke kamarnya, yuk!" rayuku. Gotcha! Rayuan itu pun langsung berhasil. Pasalnya Devin senang sekali jika diajak ke ruangan yang belum tentu seminggu sekali bisa ia masuki itu karena menurutnya, di sana banyak tersimpan benda unik yang dapat ia mainkan. Dan maka dari itu pula, Ziel akan sensitif sekali jika Adiknya ini masuk ke dalam kamarnya.

"Coba ketuk pintunya!" titahku.

Dug!

"Lagi-lagi!"

Dug!

"Panggil!"

"Yel!"

"Eh, enggak boleh gitu, panggilnya 'Kakak'!"

"Kak?" tanyanya padaku.

"Iya, 'Kakak'. Coba panggil!"

"Kakkk!" seru bibir mungil ini.

Tok tok tok!

"Kakak!" panggilku.

Dug!

"Kakakkk!" tiru Devin.

Ceklek

Aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci oleh pemiliknya.

Devin langsung berlari masuk ke dalam kamar. Satu spot yang pasti Devin tuju adalah etalase besar yang menyimpan berbagai miniatur karakter favorit Ziel.

Si pemilik yang belum menyadari kehadiran kami pun masih tenang saja sambil menatap serius ponsel landscape-nya, jangan lupakan juga dengan earphone yang tersumpal di indra pendengarannya.

Ku copot dengan paksa earphone tersebut.

Ziel berdecak, lalu mendongak untuk menatap siapa pelaku pencabutan earphone di telinganya. "Mama!"

"Serius banget."

"Ganggu!"

"Anak bujang kok galak banget kayak gadis menstruasi."

"Devin!" teriaknya pada sang Adik yang sedang bersusah payah untuk menggeser pintu kaca etalasenya.

Ziel menghampiri sang Adik untuk melarangnya melakukan aksi peminjaman barang tanpa izin.

"Biarin aja, Adiknya enggak bakal bisa buka," ujarku.

"Tu, kak, tu, mau tu," pinta Devin kepada Kakaknya.

"Enggak boleh!"

Dan pecahlah tangis si kecil memenuhi ruangan ini.

"Adiknya jangan digalakin dong," larangku tidak suka.

Karena merasa perlu untuk bertanggung jawab, Ziel pun menggendong Adiknya dengan harapan Adiknya bisa kembali tenang. "Cup, cup, cup. Jangan, ya? Itu semua harganya mahal," bisik Ziel kepada Adiknya yang masih dapat ku dengar.

***

Makan malam baru saja usai. Aku mulai membawa piring kotor ke wastafel dan juga membersihkan meja makan, sedangkan ketiga priaku sedang menikmati buah-buahan yang tersaji di atas meja makan.

"Papa tumben pulang telat?" tanya Ziel. Tumben anak ini perhatian kepada Papanya.

"Studio semakin ramai, banyak booking-an juga. Banyak kerjaan yang harus di-handle, tadi aja Papa bantu edit foto banyak banget. Kayaknya Papa butuh tambahan karyawan deh," tutur Mas Lingga.

"Kalau memang udah ngerasa kewalahan, ya tambah karyawan lagi juga enggak apa-apa," timpalku menyetujui keinginan Mas Lingga.

"Butuh berapa orang, Pa?"

"Dua orang aja."

Ziel hanya mengangguk-angguk saja.

🌻🌻🌻

Pagi ini, kami kembali bertemu di meja makan untuk melakukan sarapan sebelum beraktivitas.

"Pa."

"Hm?"

"Boleh nggak, Pa, kalau kakak tingkat Ziel kerja sama Papa?"

Mas Lingga menopang dagunya sambil menatap langit-langit sejenak sebelum memberikan jawaban kepada si sulung. "Kalau udah semester akhir dan tinggal skripsian aja, Papa welcome karena banyak waktu senggangnya, tapi kalau masih ada jam kuliah aktif mending skip aja deh."

"Enggak kok, Pa, dia anak semester tua, tinggal skripsian aja. Kasihan tau, Pa, dia bukan berasal dari keluarga berada."

"Kalau memang mau, suruh ke studio langsung aja, nanti list berkas-berkas yang diminta akan Papa kirim ke kamu via chat."

"Oke."

"Eh, tapi dia punya skill-nya nggak?"

"Dulu dia aktif di UKM Fotografi kok, Pa."

Mas Lingga hanya mengangguk-angguk saja.

"Berarti tinggal cari satu lagi, kan?" tanyaku.

"Iya, tapi dengar-dengar sih si Doni mau ngajuin kawannya, katanya ada yang berkompeten gitu, kebetulan juga baru kena PHK serentak dari tempat kerja sebelumnya karena tempat kerjanya bangkrut—modalnya dibawa kabur sama bendaharanya."

"Kasihan banget," ucapku spontan karena merasa miris dengan cerita tersebut.

🌻🌻🌻

Masih ada kelanjutan ceritanya, ya 🤗

Masih ada beberapa episode lagi sebelum hari-hari menjelang konflik yang sesungguhnya ✌️😚

Jangan lupa vote!

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang