Chapter 10

7K 593 21
                                    

Jangan lupa vote, ya!

Aku lagi hectic di semester tua, jadi jarang banget buka Wattpad 🙏

🌻🌻🌻

Di usia kandunganku yang sudah menginjak bulan ke tujuh, aku merasa bahwa diri ini semakin sulit untuk bergerak bebas. Dan di Minggu pagi yang cerah ini, mulutku tak henti-hentinya mengomel ketika berniat untuk meletakkan setumpuk pakaian milik Ziel—yang baru selesai ku setrika—ke lemarinya. Mulai dari aku membuka pintu kamarnya, pemandangan yang tersuguhkan di hadapan mataku sungguhlah tidak enak untuk dipandang mata sama sekali. "Ziel, ini kamarnya kenapa kayak gini?" tanyaku masih dengan nada bicara yang biasa saja walaupun aku sudah menyimpan setumpuk kekecewaan di hati.

"Entah," jawabnya tak acuh. Remaja itu sedang bermain game online di ruang tengah.

"Mumpung libur, kamarnya diberesin, El!" seruku agar terdengar hingga ke telinganya. Tapi, nada biacarku masih biasa saja, lebih tepatnya sedang mencoba untuk memaklumi kekacauan yang dibuat oleh remaja usia labil itu.

"Nanti," balasnya cuek.

Ku letakkan tumpukan baju di atas ranjangnya, lalu berjalan keluar dari kamar Ziel menuju ke ruang tengah di mana remaja itu berada. Tanpa aba-aba, langsung ku rebut ponselnya begitu saja.

"Lagi push rank, Ma!" protesnya tak terima.

"Beresin dulu kamarnya!" titahku yang tidak mau dibantah.

Dengan wajah kesal yang terpasang dan langkah terpaksa, akhirnya ia mau untuk membereskan kamarnya sendiri. Tidak ingin tinggal diam, aku pun membantunya.

"Dua hari yang lalu, Mama kan suruh kamu buat benerin tatanan bajunya mumpung yang acak-acakan cuma sedikit. Lah, sekarang udah banyak yang acak-acakan kayak gini. Kamu enggak dengerin Mama ya, waktu itu?" selidikku.

"Dengerin," balasnya tak acuh.

"Tapi, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, iya?" sindirku.

Remaja itu diam saja, mungkin ia kehilangan akal untuk membalas perkataanku.

"Kamu beresin tempat tidur sama meja belajar. Kalau udah, baru bantuin Mama beresin lemari kamu ini," titahku.

Ziel berdecak sebal. Namun, ia tetap melaksanakan apa yang aku perintahkan.

"Enggak usah kesal gitu dong, ini kan kamar kamu sendiri," kataku, "makanya, kalau enggak mau diomelin, ya dijaga kerapiannya, memangnya mata kamu enggak sepet lihat kamar yang acak-acakan kayak gini?" tanyaku.

"Biasa aja," jawabnya sewot.

"Kamu dongkol diginiin sama Mama?" selidikku.

Ziel hanya diam saja.

"Mama enggak akan jadi sok baik buat ambil hati kamu, El. Kamu itu udah gede, bisa menilai sesuatu secara objektif. Dan kalau kamu salah, ya bakalan Mama tegur," ungkapku, "apa menurut kamu, anak-anak yang kalau salah dan enggak pernah ditegur sama orang tuanya itu tandanya dia disayang sama keluarganya? Enggak! Kalau salah tapi enggak ditegur ataupun diingatkan, berarti orang tuanya udah enggak peduli. Jadi, kalau kamu ngerasa Mama ini cerewet, sering ngomelin kamu, sering marah-marah, ya karena Mama peduli sama kamu," jelasku.

"Tapi, aku enggak suka! Mama sering ngomelin aku, tapi Mama enggak sadar diri!" berontaknya.

Aku langsung menghentikan pergerakan tanganku yang masih melipat pakaian-pakaiannya itu. "Kenapa?" tanyaku. Jujur, aku terkejut dengan perkataan Ziel, aku sakit hati, aku ingin menangis, air mataku sudah meronta ingin keluar dari kelopak mata ini. Namun, masih bisa aku tahan. Untung saja aku dan Ziel sedang tidak saling melihat satu sama lain karena posisi kami yang berbeda.

Semoga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang