Chapter 04

1K 143 35
                                    

"Namanya siapa, Pak?"

Rere mulai melakukan anamnesis terhadap seorang pasien pria yang berbaring di atas brankar. Sementara itu, seorang perawat pria bertubuh tinggi dan atletis yang berdiri di seberangnya sedang mengukur tekanan darah. Di bagian dada kanan seragam biru dongkernya tertulis nama 'Ns. Daniel' dalam sulaman benang perak yang begitu apik.

"Agus Setiadi, Dok," jawab si pasien.

"Umur berapa?"

"35 tahun."

"Oke." Rere mengangguk kecil. "Keluhannya apa, Pak?"

"Lemes, sakit perut, muntah-muntah. Badan saya rasanya menggigil semua, Dok."

"Udah berapa hari?"

"Tiga hari."

"Oke. Ada BAB cair? Pusing? Ada riwayat sakit tertentu?"

"BAB cair nggak ada, pusing ada dikit. Riwayat sakit paling asam urat aja, Dok."

"Oke. Saya periksa dulu ya."

Rere menempelkan diafragma stetoskop ke beberapa titik di bagian dada, setelah itu beralih ke bagian perut. Selama prosesnya, dia merasakan tatapan yang begitu intens dari si empunya tubuh yang disentuhnya sekarang. Mulai dari rambut, lalu turun ke mata, hidung, bibir hingga ke bagian dada, semua disorotnya dengan detail. Walaupun Rere sudah sering mengalami hal seperti ini, tetap saja rasanya tidak menyenangkan. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan menyelesaikan tugasnya sampai akhir.

"Ahem!" Daniel sengaja berdeham keras untuk mengalihkan perhatian si pasien kepada dirinya. "Muntahnya berapa kali, Pak?"

Si pasien pun menoleh. "Sering, Mas. Pagi ini aja udah tiga kali. Rata-rata lima kali per hari."

"Pantesan tensinya rendah, 80/50. Bapak kekurangan cairan rupanya," ujar Daniel sambil melepas manset tensimeter.

Si pasien pun terkejut. "Waduh, bahaya nggak itu, Mas?"

"Nggak kok, Pak. Asalkan Bapak mendapatkan asupan cairan yang cukup, Bapak akan baik-baik saja. Habis ini saya pasang infus ya supaya lebih cepat koreksi cairannya," jelas Daniel sambil tersenyum ramah lalu menoleh ke arah Rere. "Apa pasien sudah bisa dipindahkan ke dalam, Dok?"

"Sudah kok." Rere mengangguk kecil. "Injeksinya seperti biasa ya."

"Oke."

Daniel mendorong brankar pasien itu dan menempatkannya di area triase kuning. Spontan Rere mendesah lega. Entah sudah berapa kali lelaki itu menyelamatkannya dari situasi seperti tadi. Memang tidak banyak yang dilakukannya, tetapi hal itu sudah cukup membuat Rere merasa lebih aman dan rileks. Dia jadi tidak perlu khawatir lagi akan mata-mata nakal yang kerap kali dijumpainya saat melakukan pemeriksaan fisik maupun tindakan medis lainnya.

"Thank's ya, Mas Daniel," ucap Rere setengah berbisik.

"You're welcome," balas Daniel dengan senyum tipis lalu kembali melanjutkan tugasnya. Sementara Rere, dia berjalan menghampiri wastafel dan mencuci tangannya sampai bersih. Setelah itu, dia beralih ke salah satu komputer di nurse station untuk mengisi status pasien.

"Cie cie ... pagi-pagi udah mesra aja. Kiw kiw," goda seorang wanita berjas putih yang duduk di sebelah kiri Rere. Perawakannya yang kecil, kulitnya yang putih mulus bak porselen, dan mata monolid sipitnya yang khas menegaskan darah Asia Timur yang mengalir di dalam tubuhnya. Tertulis nama 'dr. Tania Lin' di papan kecil yang menempel di bagian dada kanannya.

"Apa sih? Orang kita cuma meriksa pasien doang," bantah Rere sambil tetap mengetik.

"Hoho, ngelak lo ya. Tapi muka lo nggak bisa bohong tuh. Merah merona bagaikan warna cinta. Ahem!" Tania sengaja berdeham keras hingga membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh. Spontan Rere menghentikan gerakan jari jemarinya dan memukul lengan kiri Tania lumayan keras.

Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang