Setelah berbulan madu selama seminggu, akhirnya Rere kembali ke aktivitasnya seperti biasa. Pagi ini, Rere diantar oleh Gara. Mungkin karena hari ini merupakan hari pertamanya masuk kerja setelah cuti sekian lama, atau mungkin karena cuaca yang bersahabat, Rere jadi sangat bersemangat. Dia sudah rindu memegang stetoskop, berinteraksi dengan pasien dan bertemu dengan rekan-rekan kerjanya. Membayangkannya saja sudah membuat Rere senyum-senyum sendiri.
"Nanti pulang jam 2, kan?"
"Kalau nggak ada kerjaan tambahan atau sesuatu yang lain, yes jam 2. Nanti ku-chat aja deh buat lebih pastinya," balas Rere.
"Oke. Jangan terlalu diforsir ya, Re. Inget, kamu baru aja pulang tadi malam," ucap Gara mewanti-wanti.
"Iya, aman kok, Mas. Aku tahu batasan kekuatan tubuhku sendiri." Rere memasang senyum manis. "Mas Gara juga ya, jangan terlalu capek. Jangan lupa makan dan istirahat."
Gara balas tersenyum. "Oke."
Setelah saling bertukar salam, Gara masuk ke ruang kemudi. Begitu mobil Bentley Mulsanne hitam itu sudah menghilang dari lapang pandang, Rere berbalik dan menghirup udara pagi yang segar dalam-dalam. Bagus, sekarang dia sudah sangat siap untuk kembali bertugas. Dengan langkah kakinya yang mantap, dia mulai berjalan memasuki lobi. Entah kenapa semua orang tampak lebih ramah dan sopan dibandingkan biasanya. Mulai dari satpam, cleaning service, staf manajemen, hingga sesama dokter memperlakukan dirinya seperti seseorang yang memiliki kedudukan penting di rumah sakit ini. Bahkan, sang direktur pun menyanjungnya habis-habisan dan mengatakan agar Rere tidak perlu bekerja terlalu keras. Apa semua itu merupakan efek dari reputasi Gara?
"Surprise!"
Rere terkejut bukan main begitu membuka pintu ruangan dokter. Puluhan potongan kertas aneka warna tiba-tiba beterbangan di depan wajahnya bersamaan dengan suara ledakan dari konfeti. Sebagian menempel di rambut dan pakaiannya, sebagian lainnya lagi melayang di udara sebelum akhirnya jatuh dan mendarat di permukaan.
"Selamat bekerja kembali, Nyonya Haritala. Semoga Anda tidak bosan bergaul dengan rakyat jelata yang jomblo ini," ucap Tania dengan wajah berseri-seri.
Spontan Rere mendengus. "Rakyat jelata? Terus bokap lo yang juragan batu bara itu apa? Bercanda ya Anda?" ujarnya seraya tertawa geli. Tania pun ikut tertawa hingga menampilkan deretan gigi kecilnya yang putih dan rapi.
"Lo pakai gaya apa pas bulan madu kemaren? Doggy style? Cowgirl? Apa missionary?" tanya Billy penasaran dengan seringai nakalnya.
Mata Rere langsung melotot tajam. "Sialan, pagi-pagi gini otak lo udah ngeres aja. Mau gue timpuk kepala lo biar tobat, hm?" ancamnya seraya mengacungkan termos air minum yang dibawanya.
"Ampun, Nyonya. Hamba bersalah," ucap Billy dengan wajah pura-pura takut sambil mengatupkan kedua tangannya.
Rere mendesah pendek dan menurunkan termosnya. "Yaudah, ayo kita kerja. Belum operan sama sekali, kan?"
"Yoi. Kita berdua emang sengaja nungguin lo dulu sampai dateng. Gimana? Lo suka kan surprise dari kita?" tanya Tania dengan tatapan penuh harap.
Rere tersenyum dan menjawab, "A little bit, maybe?"
Rere membersihkan semua potongan kertas yang menempel di tubuhnya lalu segera berganti pakaian. Begitu keluar, lagi-lagi dia disambut dengan meriah oleh seisi ruangan. Semua orang memuji betapa luar biasa acara pernikahannya kemarin dan melempar sedikit guyonan yang makin menghidupkan suasana. Namun, ada satu orang yang tampaknya acuh tak acuh. Siapa lagi kalau bukan Daniel. Dia tidak berkomentar apapun dan memilih menyibukkan diri dengan para pasien yang baru datang. Yah, setidaknya dia tidak sampai kehilangan semangatnya untuk tetap bekerja. Rere harus puas dengan keadaan yang sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]
Romance"Kalau begitu, maukah Bapak menjadi pacar saya?" "Kenapa saya harus menerima tawaran itu?" "Um ... tentu saja karena saya menyukai Bapak." Rere tidak ingin menikah, tetapi sang mama memaksanya untuk menerima perjodohan. Oleh karena itu, Rere nekat m...