"Aku nunggu di luar aja ya, Pa, Ma," pamit Gara kepada Pak Rangga dan Bu Junita.
"Oke, nanti Mama kabari kalau Papa udah selesai. Habis itu, baru kamu yang kontrol," balas Bu Junita seraya menepuk-nepuk satu lengan Gara dengan lembut.
"Oke, Ma."
Gara berbalik lalu mulai berjalan menyusuri koridor. Pagi yang begitu cerah. Cuaca yang sangat sempurna untuk memulai hari. Para petugas kesehatan yang berlalu-lalang di sekitarnya tampak begitu bersemangat menyambut para pasien. Ada juga seorang pasien yang baru keluar dari poli penyakit dalam dengan wajah berseri-seri. Sepertinya pasien itu mendapat kabar baik bahwa penyakitnya sudah sembuh total. Keluarga yang menunggu di ruang tunggu pun menyambutnya dengan suka cita. Seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka, kucing dan burung di halaman pun bermain dengan riangnya.
Gara jadi merasa sedikit iri. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya dia tersenyum lepas seperti orang-orang itu. Setiap hari hatinya seolah diselimuti awan kelabu yang menyesakkan. Rasanya seperti dikutuk. Entah berapa tahun lagi Gara harus menanggung perasaan ini. Memikirkannya saja sudah membuat dadanya terasa makin sesak saja.
Begitu menginjakkan kaki di sebuah taman, Gara langsung menghampiri sebuah bangku yang berada di paling pojok. Ya, tempat ini merupakan spot favoritnya selagi menunggu antrian kontrol di rumah sakit ini. Dia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang rokok elektrik. Begitu dinyalakan, dia langsung menghisapnya dalam-dalam. Seiring aroma tembakau merasuk ke dalam paru-parunya, segala gundah yang dirasakannya pun berkurang. Walaupun Gara sudah tahu bahwa benda di tangannya ini memberi dampak yang buruk pada tubuhnya, faktanya benda inilah yang membantu menjaga kewarasannya selama 2 tahun terakhir ini. Jika tidak merokok sehari saja, entah pikiran buruk apa yang akan menguasai dirinya.
"Stop. Dilarang merokok."
Seketika gerakan tangan Gara terhenti begitu mendengar suara feminin yang datang mendekat. Begitu menoleh, Gara mendapati seorang gadis bernetra hijau dalam pakaian rumah sakit. Bila menilai dari wajah dan perawakannya, sepertinya gadis itu masih berusia belasan tahun. Dia duduk di kursi roda dengan selang infus yang terpasang di tangan kiri. Di belakangnya ada seorang gadis lainnya yang bertugas mendorong kursi roda, mungkin temannya. Gara pikir dirinya sudah memilih tempat yang paling tersembunyi dari banyak orang. Namun, siapa sangka dirinya akan dipergoki oleh seorang pasien rawat inap seperti ini.
"Kamu mau laporin saya?" tanya Gara agak waswas.
"Nggak, saya nggak akan laporin," jawab gadis itu sambil menggeleng. "Saya cuma ngingetin Om aja kok. Kita nggak boleh merokok selama berada di area rumah sakit, di manapun itu. Bukan cuma karena kita bisa didenda, tapi juga karena asapnya yang tidak baik untuk kesehatan. Apalagi, di sini banyak pasien yang sedang sakit. Kasihan penyembuhan mereka jadi terhambat."
Gara sedikit memiringkan kepalanya. "Walaupun elektrik, nggak ada asapnya?"
"Iya." Kali ini gadis itu mengangguk. "Bukan masalah asapnya, tapi zat kimia berbahaya yang terkandung di dalamnya. Jadi, rokok jenis apapun nggak boleh," jelasnya lalu merogoh saku bajunya dengan tangan kanan dan mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk kotak. "Ini, buat Om," ujarnya sambil menyodorkan benda itu kepada Gara.
Gara mengernyit. "Permen karet?"
"Iya." Gadis itu mengangguk sekali lagi. "Saya dengar benda ini bisa membantu mengurangi kecanduan rokok. Om masih muda, jadi tolong jaga tubuh Om sendiri. Jangan sampai sakit kayak saya," ucapnya dengan senyum manis. "Oh, saya juga punya ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]
Romance"Kalau begitu, maukah Bapak menjadi pacar saya?" "Kenapa saya harus menerima tawaran itu?" "Um ... tentu saja karena saya menyukai Bapak." Rere tidak ingin menikah, tetapi sang mama memaksanya untuk menerima perjodohan. Oleh karena itu, Rere nekat m...