28 : Plead Forgiveness

501 69 8
                                    

"Ini surat keterangan sakitnya ya, Bu. Seperti yang saya bilang tadi, Adek Tiara nggak boleh makan yang pedes-pedes dan kecut-kecut ya. Dijaga jam makannya, nggak boleh telat-telat lagi."

"Iya, Dok," jawab ibu paruh baya itu seraya menerima selembar surat yang sudah dibubuhi tanda tangan dan stempel. Setelah itu, dia berdiri dan sedikit membungkukkan badannya. "Sekali lagi makasih ya, Dok."

"Sama-sama." Rere melempar senyum. Begitu ibu itu balik badan, Rere mengubah fokus perhatiannya ke komputer yang ada di depannya. Dibukanya hasil pemeriksaan lab salah satu pasien. Akhirnya selesai juga. Namun ketika hendak mengirimkannya bersama dengan ketikan konsultasi ke dokter spesialis, ponselnya berdering nyaring. Rere melirik ke layar yang menyala itu sejenak, lalu meraihnya dan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Halo, assalamualaikum, Pak ... Oh, nggak terlalu sibuk kok, Pak ... Baik, saya ke sana sekarang juga."

Rere memasukkan ponselnya ke dalam saku dengan dahi yang sedikit berkerut. Kenapa sang direktur tiba-tiba menyuruhnya datang ke kantornya sekarang? Apa ini berkaitan dengan lamaran pendidikan spesialis yang diajukannya?

"Bang Satria, gue ijin bentar yak. Gue dipanggil Pak Direktur nih," ujar Rere. Satria merupakan penanggung jawab dokter umum di IGD ini, jadi praktis semua dokter umum harus melapor kepadanya bila ingin meminta izin, cuti atau keperluan yang lainnya.

"Oke." Satria mengangguk. "Pasien lo yang belum kelar yang mana aja? Sini, gue bantu beresin."

"Wah, makasih banget ya, Bang!" Mata Rere berbinar-binar dengan bibir yang tersenyum lega. "Tinggal tiga aja kok, semua tinggal konsul aja. Yang ini ... terus ini ... sama ini."

Begitu selesai mengoperkan pasien ke Satria, Rere bergegas menuju ke ruangan direktur yang berada di lantai paling atas. Setelah melewati aula dan ruangan manajemen, tibalah dia di depan pintu besar bergagang emas. Dia menarik napas dalam dan pelan lalu mulai mengetok pintu.

Tok ... tok ... tok ....

"Permisi, Pak," ujarnya. "Saya Revalina."

"Silakan masuk."

Rere pun mendorong pintu dan melangkah masuk dengan sopan. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati seorang pria jangkung bersetelan jas biru dongker tengah duduk bersama sang direktur. Begitu menyadari kehadiran dirinya, pria itu menoleh dan melempar senyum yang menurut Rere terasa mengganggu. Apa yang dilakukan pria itu di sini?

"Silakan duduk, Dok," ujar sang direktur dengan senyum sumringah-nya yang khas.

"Oh, iya, Pak." Rere menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum semanis mungkin. Dia lalu duduk di ujung sofa panjang, posisi paling jauh dengan pria berjas biru dongker itu.

"Dokter Rere merupakan salah satu kebanggaan saya di rumah ini. Sudah orangnya cantik, pintar, sangat care pula terhadap pasien." Tatapan sang direktur lalu tertuju pada si pria berjas biru dongker. "Sekarang saya tahu ternyata semua itu turunan dari Anda, Sir."

Rere langsung menjerit jijik di dalam hati. Biarpun di dalam tubuhnya juga mengalir darah dari orang itu, Rere sangat tidak suka bila dirinya dimirip-miripkan dengannya. Dasar bos penjilatnya itu, mentang-mentang di hadapannya sekarang ada seorang konglomerat kaya raya, dia jadi berbual yang aneh-aneh. Pasti sebelum Rere datang kemari, dia melakukan transaksi rahasia dengan orang itu. Terlihat jelas sekali dari wajah bulat tembamnya yang berseri-seri bak habis memenangkan lotre jutaan dolar. Entah transaksi apa yang mereka lakukan, yang jelas Rere merasa ini bukan sesuatu yang bagus untuk dirinya.

"Anda bisa saja, Pak Direktur." Sir Raymond tertawa kecil. "Jadi, apa saya boleh membawanya sekarang?"

"Tentu saja, Sir. Bukankah itu perjanjiannya?" Sang direktur tersenyum penuh arti, membuat Rere mengernyitkan dahi penuh kebingungan. Perjanjian? Apa direkturnya itu baru saja 'menjual' dirinya kepada pria itu?

Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang