29 : Farewell Gift

425 72 22
                                    

Sudah hampir sebulan Sir Raymond berada di Indonesia. Tentu sebagai seseorang yang menduduki hierarki tertinggi dalam Lorraine Group, dia tidak bisa absen lebih lama lagi. Sudah ada banyak jadwal rapat dan pertemuan dengan kolega bisnis yang menantinya. Dengan berat hati, dia harus terbang kembali menuju ke negara asalnya.

"Ternyata kopi instan rumah sakit ini enak juga," komentar Sir Raymond setelah menyesap kopinya sekali. Biasanya selama di Prancis, dia akan meminum kopi dari biji kopi terbaik yang digiling dan diseduh oleh barista profesional. Jadi kopi murah meriah seperti ini memberikan kesan tersendiri baginya, apalagi dia menikmatinya bersama anak semata wayangnya--Rere.

"Jam berapa penerbangan Anda?" tanya Rere.

"Jam tiga sore ini. Kamu ingin mengantarku?" Sir Raymond balas bertanya.

"Kalau Anda mau, saya akan melakukannya." Rere menjawab dengan senyum tipis. Walau bagaimanapun, Sir Raymond tetaplah ayahnya. Pria itu gigih sekali membuktikan ucapannya hingga detik ini. Benteng es yang tebal dan dingin milik mamanya pun dibuat meleleh olehnya. Meskipun yah, mamanya masih menolak ajakannya untuk tinggal bersama di Prancis. Memang sulit sekali untuk meyakinkan hati seorang wanita yang pernah terluka.

"Senangnya." Sir Raymond mengembangkan senyumnya hingga terbentuk sedikit gurat di sekitar bibir dan matanya. "Tapi akan lebih menyenangkan lagi kalau kamu ikut bersamaku. Ada banyak sekali yang ingin kuperlihatkan kepadamu."

Rere spontan mendengus. "Anda bercanda, Sir? Dokter macam apa yang malah bolos ke luar negeri hanya untuk jalan-jalan?"

Sir Raymond terkekeh. "Tidak apa-apa. Kamu bisa mengunjungiku kapan saja. Aku akan mengirimkan alamat rumahku. Datanglah. Rumahku adalah rumahmu juga. Musim salju di Prancis sangat bagus lho."

"Terima kasih atas tawarannya, Sir. Kalau ada waktu, mungkin saya akan datang ke sana."

Keduanya pun kembali menyesap kopi masing-masing. Karena penampilan Sir Raymond yang sangat mencolok, praktis dia menjadi pusat perhatian seisi kantin. Ibu-ibu penjaga kantin pun saling berbisik, menduga-duga siapakah gerangan pria tua tapi super tampan dan gagah bak aktor film Barat itu. Kenapa orang itu bisa bersama dengan salah satu dokter di rumah sakit ini? Apa hubungan mereka?

"Mau jalan-jalan? Di sini panas sekali rasanya," tawar Sir Raymond. Rere mengerti arti 'panas' yang dimaksud. Sedari tadi dia merasakan puluhan pasang mata menatap dirinya dengan intens. Entah gosip apa yang akan tercipta nantinya bila mereka tetap meneruskan duduk di sini. Bisa-bisa, dia akan dikira sugar baby atau wanita simpanan dari seorang pria berumur.

"Ya. Ayo."

Mereka berdua pun bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan kantin. Berjalan berdampingan seperti ini membuat Rere menyadari betapa jangkungnya lelaki ini. Tingginya pasti di atas 190 sentimeter. Sementara Rere, puncak kepalanya bahkan tidak mencapai bahunya. Dia harus mendongak cukup tinggi bila ingin menatap matanya secara langsung. Lalu untuk ukuran seorang pria yang mulai memasuki usia senja, postur tubuh dan cara berjalannya gagah sekali. Tongkat dengan ukiran lambang keluarga di bagian gagang yang selalu dibawanya jadi tidak berfungsi sama sekali, hanya sebagai aksesoris yang justru makin menaikkan kegagahannya. Dia sudah seperti aristokrat kasta tertinggi, dan orang seperti ini adalah ayah kandungnya. Berapa kalipun memikirkannya, semua ini masih terasa tidak nyata bagi Rere.

"Awas!"

Rere agak kaget ketika tubuhnya tiba-tiba ditarik oleh sebuah tangan besar yang mendarat di bahunya. Seorang anak kecil yang tadi nyaris menabrak dirinya terlihat terus berlari melompat-lompat. Kedua lengan kecilnya memeluk sebuah boneka beruang yang cukup besar. Sepertinya anak itu gembira sekali karena sudah boleh pulang dari rawat inap hari ini.

Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang