Irama musik pop yang ringan mengisi sebuah ruangan bernuansa putih gading. Rere tengah membaca sebuah jurnal medis dengan posisi duduk berselonjor di atas kasur queen size yang empuk. Netra hijaunya bergerak teratur ke kiri dan ke kanan, menyoroti setiap tulisan yang tertera di tablet. Sesekali dia bergumam mengikuti lirik yang mengalun merdu dari pemutar musik di ponselnya. Aroma lavender yang lembut dari pewangi ruangan di bawah AC membuatnya makin terlena. Memang, tempat bersantai terbaik adalah kamar sendiri. Surga dunia bagi kaum rebahan seperti dirinya.
"Non, makan malamnya sudah siap."
Pas sekali saat membaca kalimat terakhir di paragraf penutup, Rere mendengar suara Mbok Dijah dari arah luar pintu. Sambil menutup jurnal, dia menjawab, "Iya, Mbok. Tunggu sebentar."
Setelah meletakkan tabletnya di atas nakas, Rere menjejakkan kakinya ke lantai dan berdiri. Begitu membuka pintu, dia langsung disambut dengan aroma sedap yang mengisi seluruh ruangan. Perutnya pun mulai bergemuruh. Dia berjalan menelusuri aroma itu hingga tiba di meja makan yang penuh dengan aneka makanan. Tanpa banyak basa-basi, dia menarik salah satu kursi dan mengambil posisi duduk.
"... Oh iya dong, Jeng. Saya bawakan pas arisan di rumahnya Jeng Henny nanti ya ...."
Bu Yuli muncul dari arah ruang tengah dengan posisi sedang bertelepon. Sambil menarik kursi utama, dia tetap berbicara. Sesekali dia tertawa dan mengangguk-angguk kecil. Kelihatannya Bu Yuli akrab sekali dengan lawan bicaranya itu. Ya, pada dasarnya Bu Yuli merupakan pribadi yang ramah dan supel. Temannya banyak sekali hampir dari semua kalangan. Rere sendiri hanya mengingat beberapa orang saja yang paling akrab. Dia jarang bertemu dengan mereka, kecuali bila ada acara arisan di rumah ini. Terkadang Rere juga berpapasan dengan mereka di jalan atau dalam suatu pesta.
"Dari siapa, Ma?" tanya Rere begitu Bu Yuli mengakhiri panggilan.
"Dari mertuamu," jawab Bu Yuli santai sambil meletakkan ponselnya di atas meja.
Rere tersentak. "M-mertua? Orang belum gimana-gimana," ujarnya agak tergagap.
"Tapi kan segera, Nak. Tiga hari lagi kamu bakal ketemu sama calon suamimu, kan?"
Rere langsung terdiam. Dia menatap netra hitam Bu Yuli yang berkilat-kilat penuh antusias. Sudah sangat jelas bahwa mamanya itu ingin sekali mewujudkan perjodohan ini. Menyadari kenyataan itu, hatinya makin dihantui perasaan resah dan gelisah. Tanpa sadar, dia menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan kirinya dengan erat.
"Nggak usah tegang gitu, Nak. Semua pasti akan baik-baik aja. Percaya sama Mama, kamu nggak akan menyesal," ujar Bu Yuli dengan tatapan yakin sambil menggenggam satu tangan anaknya dengan lembut.
Dengan agak terpaksa, Rere menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. "Iya, Ma."
Setelah berdoa, mereka mulai menyantap makan malam. Seperti biasa masakan Mbok Dijah selalu enak. Akan tetapi, karena terngiang-ngiang perkataan Bu Yuli barusan, Rere jadi kurang berselera. Selagi tangannya bergerak menyendoki makanan dan memasukkannya ke dalam mulut, otaknya berpikir dengan keras. Apa sebaiknya Rere mengeksekusi rencananya sekarang? Namun, rencana itu belum sepenuhnya matang, bagaimana kalau sampai gagal? Tidak, bukan itu yang perlu dikhawatirkannya sekarang. Justru bila dia tidak segera melakukan sesuatu, akan makin sulit baginya untuk keluar dari situasi ini. Waktu yang dimilikinya pun sudah makin menipis.
"Ma, aku boleh ngomong sesuatu?" ujar Rere begitu mereka selesai makan malam.
Sambil mengelap bibirnya yang sedikit berminyak dengan tisu, Bu Yuli merespon, "Mau ngomong apa, Nak?"
Rere menarik napas sejenak lalu mulai membuka topik. "Gini, Ma. Sebenarnya, aku udah punya pacar."
Sontak gerakan tangan Bu Yuli terhenti. Satu alisnya terangkat. "Pacar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]
Romance"Kalau begitu, maukah Bapak menjadi pacar saya?" "Kenapa saya harus menerima tawaran itu?" "Um ... tentu saja karena saya menyukai Bapak." Rere tidak ingin menikah, tetapi sang mama memaksanya untuk menerima perjodohan. Oleh karena itu, Rere nekat m...