Jam sudah menunjukkan pukul 14.15. Rere tengah berdiri menunggu di depan sebuah lift yang berada di sebelah ruangan instalasi gawat darurat. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk siku kanannya dengan agak tidak sabar. Kenapa lama sekali? Yah, sekarang memang jam pulang sebagian besar karyawan, wajar saja bila lift menjadi sarana umum yang paling sibuk. Apa sebaiknya Rere turun ke basement menggunakan tangga darurat saja? Tidak, dia sudah terlalu lelah dan malas untuk melakukan itu. Masih ada banyak hal yang harus dikerjakannya setelah ini, jadi dia tidak boleh kehabisan tenaga sekarang.
Akhirnya setelah menunggu selama 5 menit, pintu besi di hadapan Rere terbuka dan menampilkan ruangan lift yang telah berisi tujuh orang. Perhatian Rere langsung tertuju pada seorang pria berkemeja abu-abu tua yang berdiri paling depan. Bukankah pria itu seharusnya sedang libur hari ini?
"Selamat siang, Dok. Ayo silakan naik," sapa pria itu dengan senyum ramahnya seperti biasa.
Rere pun membalas senyum. "Iya, selamat siang juga," ucapnya seraya masuk ke dalam lift dan mengambil posisi di bagian tengah yang masih kosong. "Mas Daniel ada acara apa kok siang-siang ke sini?"
"Ngurus surat ijin cuti saya, Dok. Mulai besok saya cuti 5 hari," balas Daniel seraya menekan tombol untuk menutup pintu lift. "Untungnya Pak Direktur ada di tempat, jadi permintaan saya bisa langsung di-acc."
"Oh, Mas Daniel mau pulang ke Semarang ya buat nemenin Ibu yang lagi sakit?" tanya Rere basa-basi, sementara lift yang ditumpanginya bergerak turun perlahan.
Daniel terkejut. "Kok Dokter Rere tahu?"
"Iya dong. Kuping saya kan ada di mana-mana." Rere memasang senyum tipis. "Harusnya Mas Daniel bilang dong, barangkali ada yang bisa saya bantu."
"Eh? Mana bisa saya ngerepotin Dokter Rere? Kan saya jadi nggak enak," kata Daniel seraya tertawa agak malu-malu.
"Apanya yang repot? Sama sekali nggak kok," timpal Rere dengan cepat. "Mas Daniel kan selalu membantu saya selama ini. Jadi, paling tidak saya ingin membalas walau cuma sedikit."
Denting lift yang berbunyi tidak terlalu nyaring menandakan bahwa ruangan besi yang mereka pijaki sudah tiba di lantai basement. Semua orang beranjak keluar dan mengarahkan haluan menuju ke kendaraan masing-masing, termasuk Rere. Akan tetapi, baru berjalan beberapa langkah, Rere merasakan adanya tarikan ringan di lengan blus biru muda yang dikenakannya.
"Dokter Rere ingin membantu saya, kan?"
Rere pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh. "Iya. Kalau Mas Daniel butuh bantuan, pasti saya bantu kok. Apapun itu," ujarnya dengan senyum simpul.
Daniel meneguk ludah. "Kalau gitu, apa saya boleh minta waktu sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan," katanya dengan mata menatap lurus ke mata Rere.
"Boleh." Rere mengangguk setuju. "Mas Daniel mau ngomong apa?"
Daniel melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan semua orang sudah berada cukup jauh dari mereka berdua. "Kita pindah tempat dulu aja. Biar lebih enak ngobrolnya."
"Oke."
Daniel menggiring Rere ke area parkir yang lebih sepi. Bila menilai dari raut wajahnya, sudah pasti hal yang ingin disampaikannya merupakan sesuatu yang sangat serius. Daniel memang terlihat memiliki banyak beban pikiran akhir-akhir ini. Jangan-jangan, dia ingin resign dari rumah sakit ini untuk fokus merawat ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan? Jika benar begitu, sungguh sangat disayangkan. Namun, Rere juga tidak punya hak untuk melarangnya pergi. Justru sebaliknya, dia harus memberinya semangat dan dukungan penuh. Bukankah itu yang harus dilakukannya sebagai rekan kerja yang baik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]
Romance"Kalau begitu, maukah Bapak menjadi pacar saya?" "Kenapa saya harus menerima tawaran itu?" "Um ... tentu saja karena saya menyukai Bapak." Rere tidak ingin menikah, tetapi sang mama memaksanya untuk menerima perjodohan. Oleh karena itu, Rere nekat m...