Chapter 22

511 60 12
                                    

Sabtu pagi yang cerah. Hari yang sangat sempurna untuk pergi berlibur bersama keluarga. Untung Rere sudah mengatur jadwalnya agar kosong selama 3 hari ke depan, jadi dia bisa berlibur dengan tenang. Yang paling bersemangat adalah Bu Junita. Dia tak hentinya bercerita di sepanjang perjalanan. Wajahnya yang ekspresif terlihat begitu menarik, membuat Rere tidak bosan mendengarkannya. Tidak ketinggalan Gara dan Pak Rangga yang sesekali menimpali pembicaraan, membuat suasana makin hidup.

"Anjing tolol, mampus 'kan lo!" umpat Raka tiba-tiba yang duduk di kursi paling belakang, membuat perhatian seisi mobil teralih. Di saat semua anggota keluarganya sedang mengobrol, dia malah asyik sendiri dengan game online.

"Hus, Raka. Nggak boleh ngomong jorok kayak gitu," tegur Bu Junita. Namun, sepertinya tidak berefek sama sekali. Mungkin karena Raka mengenakan earphone dengan suara keras di kedua telinganya, jadi dia tidak bisa mendengar ucapan Bu Junita dengan jelas. Rere mendesah agak berlebihan lalu berbalik menghadap ke Raka.

"Hei, adik bedebahku yang tampan. Dengerin kalau orang tua ngomong," tegur Rere sambil mencabut earphone sebelah kanan dari telinga Raka. Spontan Raka terkejut dan mengangkat wajahnya.

"Eh, Kak Rere. Ada apaan?"

"Lo denger nggak apa yang gue bilang barusan?" Rere balik bertanya.

"Nggak tuh." Raka menggeleng dengan wajah tanpa dosa.

"Lo ini." Rere mendesah sekali lagi. "Kan gue udah bilang, gue nggak suka kalau lo ngomong kasar, apalagi sampai nyebut nama hewan. Terus, jangan keras-keras suaranya kalau make earphone. Biar nggak budek," omelnya.

"Sorry, Kak. Gue nggak sengaja kelepasan tadi. Lain kali gue nggak gitu lagi deh," ucap Raka tanpa protes.

"Bagus." Rere tersenyum puas. "Inget, cowok itu bukan cuma dinilai dari ucapannya, tapi juga tindakannya. Buktiin bahwa lo bisa lebih baik dari hari ini."

Raka mengangguk patuh. "Siap, Kak."

Setelah 3,5 jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tujuan. Kelima orang itu lalu turun dari mobil bergantian. Selama beberapa detik, Rere berdiri di tempat dan mengedarkan pandang ke sekeliling. Halaman yang dipijakinya sekarang tampak begitu luas dan asri dengan berbagai jenis pohon dan bunga yang tumbuh subur. Dari jarak sejauh ini, Rere bisa melihat pegunungan dan area perkebunan yang membentang luas di sepanjang horizon. Begitu balik badan, Rere mendapati sebuah rumah megah bergaya Belanda klasik yang sangat indah. Sungguh, dia tidak menyangka bahwa masih ada orang yang menggunakan gaya bangunan itu di zaman modern ini. Sekali lihat, dia langsung jatuh cinta. Sepertinya dia akan betah menginap di sini.

"Gue bawain barang-barang lo ke dalem ya, Kak," ucap Raka sambil menenteng koper dan tas Rere yang diambilnya dari bagasi mobil.

"Kamu apain dia? Kok dia jadi nurut banget ke kamu?" tanya Gara setengah berbisik dengan wajah keheranan.

"Nggak kok, Mas. Nggak kuapa-apain kok." Rere memasang senyum penuh misteri. Jujur, dia sendiri juga bingung kenapa adik iparnya itu bisa berubah sedrastis ini. Seingatnya, dia tidak melakukan sesuatu yang istimewa.

Terakhir kali Rere berinteraksi dengannya sekitar dua pekan yang lalu. Saat itu, Raka mendatangi dirinya ke rumah sakit. Dia mengucapkan terima kasih karena cedera di kakinya sembuh dengan cepat sekaligus meminta maaf atas sikap kurang ajarnya selama ini. Namun, ada satu hal yang tidak biasa. Dia tiba-tiba menanyakan hal yang disukai dan tidak disukai oleh Rere, serta bagaimana cara memperlakukan seorang kakak perempuan. Yah, apapun itu, yang terpenting Raka sudah berubah menjadi lebih baik. Anggap saja ini merupakan doa dari Bu Jo yang terkabul.

Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang