7. Anak?

4.6K 401 26
                                    

Aileen mendaratkan bokongnya ke tempat duduk, kemudian menghela napas berat. Ia menopang dagu dengan telapak tangan, sambil menatap jendela besar di hadapannya.

Pikiran melayang membayangkan hari ini pasti akan ia lewati dengan banyak kesulitan lagi. Yah, kesulitan yang dimaksud adalah tingkah Nial yang sangat menyebalkan.

Suara pintu terbuka tak membuatnya bergerak seinci pun untuk menoleh pada seseorang yang baru saja masuk. Ilen menguap sangking mengantuknya. Ditambah, ia yang tak akan mungkin mendapatkan pekerjaan pagi ini hingga sore nanti, otomatis rasa kantuk akan dengan leluasa merasukinya.

"Ai, baru sampe atau udah lama?" tanya suara yang dalam beberapa hari ini sudah menguasai otak Ilen.

"Udah lama, nggak liat apa udah besar gini?"

Nial malah tertawa dengan candaan garing yang baru saja Ilen lontarkan.

Suara pintu terbuka lagi, Ilen berharap itu pertanda Nial akan keluar ruangan. Ya, ia hanya menebak saja, karena kepalanya sejak tadi tak bergerak untuk menoleh pada si Pak Bos.

"Loh, kok, malah ikut Papa masuk kantor? Ke sekolah, sana."

Seketika Ilen menoleh. Nial baru saja berbicara dengan seseorang selain dia di ruangan tersebut. Tatapannya berubah arah kepada anak lelaki yang kini melempar ransel ke atas sofa.

Wajah itu sedang tidak bersahabat, seolah meminta sesuatu pada Nial.

"Hei, entar terlambat, loh," kata Nial, sambil melihat jam tangan, "entar Papa jemput, deh."

Papa?

Mata Ilen membulat sempurna. Ia menatap Nial tak percaya, lelaki itu sudah menikah? Bahkan memiliki anak?

Yang lebih parahnya lagi, sudah berkeluarga, tetapi Nial masih sering menggodanya dan menuntun Ilen agar bisa mengingat masa lalu di mana mereka membina kasih.

Ah, Ilen tak berharap fakta yang terungkap ini tidak benar. Yang sangat disayangkan Ilen, mengapa ia bisa masuk ke dalam jebakan lelaki bajingan seperti Nial.

Bukan tidak mungkin, istri sah Nial akan datang melabraknya. Apalagi, mereka berada di ruangan yang sama. Ilen sungguh tak bisa membayangkan jika hal buruk itu terjadi.

Nama baiknya akan hancur. Karir, keluarga, semuanya akan kena imbas. Ilen menelan ludah susah payah. Ia ingin sekali angkat kaki dari ruangan tersebut.

"Ya udah, yuk, Papa antar." Nial melangkah menuju anak lelaki tersebut, mengulurkan tangan agar aksi ngambek berakhir.

Anak itu luluh, lalu menggenggam tangan Nial. "Jemput juga?"

Nial mengangguk. "Nanti Papa jemputnya bareng mama."

Anjir, maki Ilen dalam hati. Ia mengutuk dirinya sendiri.

"Terserah!" jawab anak itu.

Ilen ingin sekali pingsan di tempat saat Nial dan anak tersebut meninggalkan ruangan. Mama? Istri Nial akan datang ke kantor?

Ah, ia ingin  sekali mengubur diri sendiri hidup-hidup.

Namun, Ilen segera bangun dari keterpurukan. Ilen berdiri dari duduk, lalu mendorong mejanya untuk dibawa ke luar ruangan. Ya, untung saja meja tersebut memiliki roda kecil di bawahnya, hingga ia tak perlu susah payah mengeluarkan tenaga ekstra.

Menarik gagang pintu, pandangan di luar yang pertama kali Ilen lihat adalah Andre. Lelaki itu menatapnya penuh kebingungan.

"Mbak Aileen kenapa?" tanya Andre.

Ilen meletakan satu jari telunjuk di depan bibir agar Andre diam. "Bantuin gue, angkatin kursi gue, dong."

"Hah? Mbak mau pindah ruangan?" Andre masih dengan kebingungannya.

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang