17. Maaf?

2.3K 247 5
                                    

Setelah pertemuan mereka yang kurang baik di mal, apa hari ini keduanya akan bersikap biasa saja?

Aileen bahkan hampir tak bisa tidur karena dibayang-bayangi wajah Nial yang menghardiknya semalam. Sikap asli lelaki itu keluar karena dipicu oleh kehadiran Raga di antara mereka.

Bukan hanya hardikan padanya saja yang membuat Ilen kepikiran, tetapi juga pada Raga. Ini fakta baru, Nial mengenal Raga lebih darinya, mungkin. Tidak, mungkin apa yang diucapkan Nial kemarin hanyalah keisengan semata karena cemburu.

"Masih pagi udah ngelamun," ucap sosok yang sejak tadi ada di pikiran Ilen.

Nial memasuki ruangan dengan begitu santainya tanpa membahas apa yang terjadi di mal. Lelaki itu menyalakan komputer, lalu duduk dengan santai.

Ilen harus lebih dulu bicara?

"Lo nggak mau ngomong sesuatu?" tanya Ilen, memancing Nial agar mau mengatakan sesuatu.

Nihil. Lelaki itu malah meliriknya kilas, lalu kembali ke komputer.

Ilen berdeham. "Lo ngomong nggak sopan ke gue."

Nial terpancing. "Oh, iya. Gue minta maaf soal itu."

"Gitu doang?"

Lelaki itu benar-benar menunjukan sifat asli. Tak ada lagi Nial yang kemarin agresif padanya. Semua berubah karena kehadiran Raga.

"Lo mau apa? Traktir sebagai permohonan maaf?" tawar Nial, yang langsung mendapatkan gelengan dari Ilen.

"Nggak semuanya harus lo ukur dengan uang."

Nial meliriknya tajam, benar-benar mata yang berbeda. "Gue bilang traktir, artinya makan atau lo mau sesuatu biar bisa bikin lo mau maafin gue. Gue nggak pernah ada niat ngasih uang buat beli maaf dari lo."

Ilen menggigit bibir bawahnya. Nial yang ini sungguh menyebalkan. Kemarin, ia cukup khawatir dengan tingkah aneh Nial yang seperti sedang gelisah memikirkan sesuatu, hingga Ilen dengan berani menyusul ke rooftop, demi mengetahui apa yang Nial lakukan di sana.

Jika tahu lelaki itu akan bersikap dingin seperti ini, mengapa Ilen tak mengambil tindakan saja untuk mendorong Nial dari atas rooftop?

"Lo niat minta maaf nggak, sih? Lo sama sekali nggak terlihat menyesal setelah ngatain gue sok cantik."

Nial menoleh lagi, kali ini dengan mata cukup tenang. "Ai, gue nggak bermaksud jahat sama sekali. Intinya, lo nggak perlu bersikap kalau lo cantik di mata gue, cukup gue yang mengakui itu."

Ilen berdecak. "Lo kayak bunglon tahu, nggak? Berubah-ubah."

"Gue tetap Nial yang lo kenal."

"Gue nggak liat itu sekarang. Sebenci itu lo sama Raga? Ngapain ngomong sesuatu yang nggak sopan ke dia?"

"Karena dia pantas dapatin itu," jawab Nial.

"Lo cemburu?" Ilen hanya penasaran saja.

Nial terkekeh. "Cemburu sama Raga? Dari dulu dia emang sering mungut bekas gue. Hidup sebagai penjilat emang gitu."

Ilen tak mengerti dengan apa yang ada di dalam kepala Nial. Rasa benci terhadap Raga seakan telah mendarah daging. Landasan atas kebencian itu pun belum terlihat karena apa. Yang Ilen tahu, Raga bekerja di induk perusahaan bersama Pak Daffa, kakak dari Nial. Apa itu membuat Nial cemburu?

"Apa karena Raga lebih dari lo, makanya lo nggak suka?" tanya Ilen untuk memancing.

Nial malah tertawa meremehkan. "Lebih? Jelas-jelas gue lebih dari dia, perusahaan punya keluarga gue, sedang dia cuma numpang kerja."

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang