29. Merasa Bersalah

1.8K 169 10
                                    

Benturan yang ia berikan melalui lutut dua hari lalu masih terasa. Niatnya hanya untuk membela diri dari terkaman Nial, tetapi yang Ilen dapati hanyalah penyesalan karena membuat lelaki tersebut berujung kesakitan.

Seperti apa keadaan Nial? Ilen tak tahu-menahu, karena di hari Senin ia putuskan untuk tidak masuk kerja. Erangan Nial sambil mengelus masa depannya yang sengaja Ilen berikan sedikit pelajaran terus menggema di telinga.

Ilen tak tahu harus memasang wajah seperti apa di depan Nial, saat lututnya masih merasakan kekenyalan.

Mengerang, tentu saja Ilen lakukan itu untuk menghilangkan pikiran kotor sekaligus penyesalannya. Padahal, Ilen bisa saja menampar atau menonjok wajah Nial. Namun, ia sangat takut apa yang mereka lakukan di kamar malah kepergok orang tua, hingga membuat Ilen dengan gesit memberikan serangan ke masa depan Nial.

Bayangkan saja. Pada saat masih berada di lantai bawah, papanya sudah memperingati untuk tidak macam-macam dulu, dan Nial malah menerkam tanpa mengingat apa yang dikatakan oleh papa Ilen.

"Nial sialan," umpatnya setelah mengenakan sepatu.

Hari ini ia harus menghadapi Nial. Takut? Tidak. Malu? Iya. Ilen bercermin terlebih dahulu untuk latihan berekspresi kali-kali rasa di lututnya kembali menyeruak tatkala melihat Nial.

Memalukan membayangkan yang aneh-aneh di depan orangnya langsung. Bahkan, untuk meminta maaf saja rasanya Ilen tak sanggup.

"Hei, Nial. Kejadian malam Minggu itu bukan kemauan gue," tekannya, ini adalah latihan mempertahankan harga diri. Ilen harus menunjukan ekspresi tak terbuai sama sekali dengan rasa yang tertinggal di lutut kanannya. "Gue cuma niat membela diri. Lo aja yang nggak gesit buat menghindar."

Hah, padahal Nial harusnya sudah tahu bahwa Ilen sama sekali tak ingin dicium. Mengapa tak memasang persiapan untuk menghindari pukulan?

Ini baru lutut, belum lagi kalau Ilen memasang jurus yang pasti membuat Nial kehilangan kekuatan mental, hingga memutuskan untuk tak menjahili Ilen lagi.

Ilen menarik tas yang ada di meja rias, kemudian melangkah menuju pintu kamar. Latihan berekspresi di depan cermin tadi belum efisien. Ilen harus menyudahi karena ia takut terlambat ke kantor, dan membuatnya berhadapan dengan Pak Chandra.

Mengetuk pintu kamar Ilandi, pagi ini ia akan diantar oleh adiknya. Ya, tawaran tersebut diberikan langsung oleh sang adik, bukan Ilen yang meminta. Tentu, ini tidak gratis, ada bayaran saat Ilen gajian nanti.

Inilah alasan mengapa Ilen harus berangkat kerja, padahal mentalnya masih rusak akibat kejadian dua hari kemarin.

Uang adalah segalanya, segalanya butuh uang. Entah sejak kapan kalimat tersebut berlaku di kehidupan manusia. Sempat juga berpikir, mengapa harus ada uang? Mengapa harus bekerja untuk mendapatkan uang? Siapa manusia pertama yang sok ngide mencetuskan untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan hidup? Padahal, bernapas saja gratis.

Ya, sangking gratisnya bernapas, Ilen harus membagi oksigen dengan mantan kekasih yang paling menyebalkan, yaitu Nial.

"Udah siap, Kak?" tanya Ilandi, lalu bangkit dari tempat tidur. Adiknya sedang menonton anime.

Ini membuat Ilen jadi wisata masa kecil. Punya adik laki-laki membuat masa kecilnya harus mengalah dalam perebutan televisi, saat penayangan anime Naruto di sore hari.

"Pulang Landi jemput nggak?" tanya adiknya. Baik sekali, tapi ada maunya.

Hah, di dunia ini adik mana yang mau segera angkat pantat dari posisi nyaman untuk membantu sang kakak, jika bukan karena sebuah imbalan?

"Mobil atau motor?" tawar Ilandi. Yah, pelayanan yang diberikan kepada Ilen sungguh terlalu istimewa.

"Motor, biar cepet," jawab Ilen.

Ilandi mengangguk, lalu menarik jaket yang tergantung. "Demi Kakak yang hari ini gajian, aku rela meninggalkanmu, Mikasa."

Hah? Mikasa?

Ilen menoleh pada laptop yang menampilkan karakter perempuan pada anime.

Oh, itu Mikasa?

"Itu kamu bukan nonton Naruto, 'kan, Dek?" Ilen tidak terlalu tertarik, hanya saja ia sedikit penasaran dengan judul anime tersebut.

"Bukan, itu Attack on Titan."

Seketika bibir Ilen berbentuk bulat. "Yang ada Titannya itu, ya? Biasanya kamu nonton di TV, kenapa sekarang di laptop."

"Itu namanya rewatch, Kak."

"Nggak bosen apa?"

Menggeleng. "Tak ada kata bosan untuk nonton anime."

_______

Ilen duduk di kursi kerja sambil tetap fokus ke dokumen, padahal sang mantan kini berada di depan mejanya. Kabur? Tidak mungkin, Usir? Tidak bisa, dia bosnya!

Untuk kedatangan Nial yang repot-repot ke meja kerjanya, haruskah Ilen menyambut dengan kalimat "selamat datang" dan tak lupa mengembangkan senyum manis, sedang hatinya sedang tak karuan?

"Gue ada kerjaan di luar kota," kata Nial tanpa basa-basi.

Ilen mengangkat kepala. "Bagus, dong."

Ah, harusnya Ilen tak berucap seperti itu, apalagi di hadapan karyawan lain. Harusnya, ia menanyakan apa saja yang dibutuhkan Nial untuk pekerjaan di luar kota tersebut?

Yang namanya air dan api tak bisa menyatu, begitu juga dengan Ilen dan Nial. Ilen tak bisa bersikap menghargai Nial meskipun lelaki itu adalah bos di kantor ini. Lebih baik terjun bebas dari lantai dua puluh lima daripada harus menghormati si mantan pacar laknat, terkutuk, dan menyebalkan.

"Lo harus ikut," ucap Nial, lalu melangkah meninggalkan mejanya.

Tiga kata saja sudah membuat Ilen diam di tempat. Malapetaka apa lagi ini? Belum habis pikirannya menolak lupa dengan apa yang terjadi dua hari lalu, Nial seolah menambahkan satu beban lagi.

Ilen berdiri dari duduk untuk menyusul si bos level menyebalkan tingkat dewa. Sejak kapan dia bisa memutuskan sendiri tanpa bicara lebih dulu? Harusnya, ini direncanakan sebulan atau seminggu lebih awal agar Ilen bisa menyiapkan diri. Terlebih, ia bisa mengantisipasi kejadian dua hari lalu agar sama sekali tidak terjadi.

Pergi bersama Nial keluar kota, yakin tak akan terjadi apa-apa? Di jarak beberapa meter dengan orang tua saja tak menjamin bahwa Nial bisa menjadi anak baik.

Ilen membuka pintu ruangan bos dengan kasar, hingga membuat lelaki tersebut menoleh. "Gue nggak mau! Suruh Andre aja yang ikut lo!"

Menggeleng, wajah itu tak menerima protes Ilen. "Gue maunya lo. Kita bisa wisata masa lalu, karna kota yang kita kunjungi adalah ... Surabaya."

Informasi dari Nial membuat Ilen ternganga, pantas saja lelaki itu memilihnya. Tolak? Tentu. Dalam kepala Ilen sudah terbesit kekoyolan apa saja yang akan dilakukan Nial di sana.

Tidak ada yang menjamin bahwa selama di Surabaya nasin Ilen akan aman. Belum lagi, mereka bisa saja bertemu teman SMP.

Aaarrgh! Ini yang paling Ilen hindari!

Bayangkan, bagaimana teman-temannya akan mengangkat tema obrolan tentang dirinya dulu yang diselingkuhi oleh Nial?

Napas Ilen rasanya sesak, padahal baru membayangkan dan belum terjadi.

Ilen kembali ke alam sadar kala pipinya disentuh oleh seseorang.

"Ai, lo nggak apa-apa?"

Jijik.

______

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang