38. Lamaran

943 76 5
                                    

"Kak Aileen itu baik banget, loh, Oma."

Suara Daffin tiba-tiba muncul di kepala Nial. Percakapan mereka setelah Nial menjemput sang keponakan dari rumah Ilen membuatnya tak bisa tidur semalam.

Rusak! Semua tak sesuai harapannya, andai Nial tak meminta Ilen mengantar Daffin ke apartemen itu. Ini semua salahnya. Marahnya Daffa, sampai ketidakberdayaan ibunya.

"Ibu maunya kamu nikah sama Ilen, cuma dia yang bisa sayang Daffin."

Nial memejamkan mata sejenak. Wajah ibunya yang berharap bahwa hubungannya dan Ilen bisa berujung ke jenjang serius malah membuatnya tambah frustrasi.

Dalam sehari, Nial membuat pendapat Daffa tentang Ilen menjadi jelek. Daffa datang pada ibunya mengadu tentang sikap kasar Ilen, yang berani membawa pergi Daffin tanpa izin dari Daffa.

Nial tahu yang salah di sini bukan Ilen. Perempuan itu hanya tak mau Daffin tersakiti, sedang kejadian Ilen yang memukul Daffa itu sungguh bukan kesengajaan. Nial sudah dengar dari Daffin apa yang sebenarnya terjadi.

Daffa yang awalnya setuju saja jika Nial dekat dengan Ilen, kini malah berbalik arah. Daffa berpikir bahwa Ilen itu perempuan berbahaya, bisa kapan saja menguasai Daffin darinya. Jiwa pemberontak yang Ilen miliki tidak pernah ada di keluarga mereka.

Apa Daffa punya lawan sepadan?

"Udah selesai ngelamunnya, Pak Nial?"

Suara tersebut membuat Nial bangun dari khayalannya. Ilen duduk di depannya sambil mengunyah camilan yang ada di atas meja. Perempuan itu datang dengan beberapa dokumen untuk dibaca oleh Nial.

"Daffin gimana?" tanya Ilen.

"Ya, gitu."

Ilen memicingkan mata. "Mata lo berkantong, tumben. Kurang tidur?"

Nial malah terkekeh. Biasanya ia akan lebay merespons perhatian Ilen, hari ini ia merasa kurang bersemangat.

"Pak Daffa gimana? Gue salah banget, Al! Sampe mukulin dia," heboh Ilen yang terlihat sangat frustrasi.

Al? Ilen punya alasan tersendiri mengapa menggunakan sapaan itu lagi, karena Ilen tak terbiasa menggunakan panggilan "Yal" pada Nial.

"Kalau soal mukul kayaknya nggak masalah, yang masalah itu lo bawa Daffin dari dia."

Mata Ilen melotot. "Sumpah?"

Nial mengangguk. "Iya. Dia paling nggak suka orang lain ikut campur urusannya tentang Daffin. Termasuk gue."

Ilen berdecih. "Lembek lo. Kalau lo sayang Daffin, lo lawan tuh kakak lo yang nyebelin."

"Kadang-kadang dia baik, loh, Ai."

"Kadang-kadang, kadang-kadangnya tapi seuprit doang, 'kan?"

Nial menghela napas. "Lo tahu, gue paling nggak bisa ngamuk ke abang gue. Nggak tahu kenapa, bukan karna gue takut, tapi ... gue tetap lebih milih buat ngalah."

"Oh," ucap Ilen singkat, lalu kembali mengunyah camilan. "Gue ngerti, adik gue juga sering ngalah ke gue. Eh, nggak sering-sering amat, intinya gue ngerti."

Perempuan itu melanjutkan ngemilnya. Jika dipikir-pikir, Ilen ini bawahan yang paling spesial di kantor. Siapa lagi yang bisa masuk ruangan bos, lalu menyicip camilan yang ada di atas meja? Cuma Ilen yang berani.

"Mau di kantor, nggak di kantor, di mata lo gue tetap aja sama, ya?" tanya Nial serius.

Ilen melepas toples yang ada di tangannya ke atas meja. "Pelit banget, sih."

"Nggak, makan lagi."

Terlambat, Ilen sudah merajuk. Perempuan itu diam sambil menatapnya sinis. "Kemarin gue nggak niat apa-apa bawa Daffin ke rumah gue."

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang