28. Nial Lagi

1.7K 198 11
                                    

Sosok yang saat ini sedang duduk di ruang tamu membuat mulut Ilen sedikit terbuka akibat terkejut. Di malam Minggu yang penuh ketenangan, Nial hadir lagi di rumahnya. Entah untuk apa. Yang jelas, kehadiran Nial sungguh mengganggu pemandangan mata Ilen.

Apa ini efek dari permintaan Ilen untuk memberi libur dua hari, jadi Nial juga datang ke rumahnya dalam sehari sebanyak 2 kali? Ya, Ilen merasa tangannya tak akan pulih dengan cepat, untuk itu ia meminta cuti.

Sudah pasti, Nial sengaja datang ke rumahnya untuk mengganggu ketenangan.

"Ngapain lo di sini? Mau ngusilin gue lagi?" Ilen mendorong kecil bahu Nial yang duduk di sofa ruang tamu.

Lelaki itu seketika menoleh. "Mau bilang usil, lo doang yang merasa gue usilin. Antara usil dan kangen itu emang beda tipis, ya?"

Ilen yang tak bisa menahan kesabaran untuk memukul bahu Nial. "Apaan, sih?"

"Astaga, kalian di kantor nggak kayak tikus dan kucing gini, 'kan?" sahut ibu dari Ilen yang kini sedang memegang nampan berisi jus.

"Tuh, lo ke sini ngerepotin nyokap gue." Ilen masih tak ingin berdamai. "Mana minta jusnya tiga gelas lagi, lo mau bikin kolam?"

Mulut Ilen dibekap oleh Nial, lalu menyeretnya sebelum sang mama naik pitam karena keributan yang mereka lakukan. Mata Ilen terbuka lebar saat melihat siapa yang ada di teras sedang mengobrol dengan papanya.

"Lo bener-bener, ya, udah gue kasih kode berkali-kali tetap aja nggak tanggap. Bokap gue di sini." ucap Nial, lalu melepas bekapan dari mulut Ilen.

Ilen menarik napas dalam-dalam. "Ya, lo nggak ngasih tahu ke gue, sih."

"Gue udah chat lo dari tadi siang pas balik dari sini. Gimana, sih, punya HP nggak pernah dicek, lo tinggal di zaman batu?"

"Bawel." Ilen kemudian melangkah menaiki tangga.

"Nial," panggil Alin, papa dari Ilen.

"Iya, Om?"

"Ini, diminum dulu." Pria paruh baya itu menawarkan minuman.

"Udah, biarin aja Nial bareng Ilen dulu," tegur Indri, membuat Ilen mencebikkan bibir.

Alin mengangguk. "Tapi ingat, jangan macam-macam. Kalian tahu batasnya, 'kan?"

Mata Ilen membulat sempurna. Ingin protes, tetapi pandangannya teralih pada Nial yang tiba-tiba keluar rumah. Dia sadar diri?

Ilen sedikit terkagum bahwa lelaki itu ternyata punya sopan santun juga di rumah orang. Kejadian tadi siang ia maklumi jika Nial ada di kamarnya, itu semua karena Ilen yang meminta bantuan. Adik durhanya Ilandi lebih memilih kabur dari perintah-perintahnya.

Begitulah sikap adik jika tanggal gajian masih jauh di depan mata. Coba kalau sudah dekat, diminta belah lautan pun hayok.

Nial kembali dari luar rumah dengan membawa paper bag. Mata Ilen seketika jadi bling-bling, ia menerka-nerka bahwa ada oleh-oleh lagi dari Tante Fika, ibu dari Nial.

"Bawa apa lo?" tanya Ilen sok cuek.

"Udah, entar lo liat aja di atas."

"Oh." Ilen nampak tak peduli, tapi hatinya sudah berharap banyak. Ia kemudian melangkah lebih dulu menaiki tangga.

Sampai di sofa depan kamarnya, Nial melempar paper bag tadi. "Lo pilihin baju gue buat besok, dong. Gue mau main golf sama bapak-bapak, ada Raga juga."

"Hah?"

Jelas saja Ilen dibuat terkejut sekaligus kecewa, apalagi yang keluar dari paper bag tadi adalah pakaian Nial. Hadiah? Sungguh, Ilen terlalu berharap.

"Sambil lo milih, gue mau ...." Nial seketika membuka kamar Ilen.

"Mau ngapain?" tanya Ilen dengan mata melotot.

"Ya, mau masuk."

Ilen mendorong dada Nial untuk menjauh. "Nggak, ya! Batas lo cuma sampai sini, jangan masuk ke kamar gue."

"Tadi juga gue masuk nggak apa-apa," kata Nial, dengan gesit memasuki kamar Ilen.

"Iih, lo mau apa?" Ilen memukul bahunya kencang.

Nial yang mengaduh malah berjalan ke arah singgel sofa, lalu menarik kemeja dari sana. "Ketinggalan tadi. Lo pikir gue mau apa, hah?"

"Ya udah, keluar kalau udah selesai."

Nial mencium kemeja tersebut seperti mencari sesuatu. "Bau iler, lo meluk kemeja gue sambil tidur?"

"Idih! Kemeja lo aja ada di situ gue baru tahu sekarang."

Lelaki itu memicingkan mata seakan tak percaya dengan apa yang Ilen katakan. Lagi pula, Ilen juga tidak tidur sambil ileran.

"Ngapain masih di sini? Pergi, sana," usir Ilen.

Nial malah berjalan menuju dinding yang dipenuhi bingkai foto. "Lo nggak nyimpan foto gue? Satu aja, gitu."

"Buat apa? Nakutin tikus?"

"Ya, buat lo liat-liatin aja tiap malam, siapa tahu lo kangen, gitu."

Ilen menggeleng. Tubuhnya bergidik ngeri karena ucapan Nial. Padahal, di sana sudah jelas terlihat bahwa foto yang ada hanya foto-foto kebersamaan Ilen dan keluarga, bahkan teman semasa sekolahnya saja tak nampak.

"Padahal, gue nyimpan foto lo yang masih SMP." Nial berbalik ke arahnya. "Ah, bener juga. Kenapa nggak gue foto lo yang sekarang aja?" Sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.

Ilen merampas ponsel tersebut. Ia hanya tak ingin fotonya sekarang dimiliki oleh Nial, terlebih Ilen belum mandi. Mendengar bahwa Nial masih menyimpan fotonya saat SMP saja, sudah membuatnya ingin sekali mengubur diri hidup-hidup.

"Kenapa, sih? Muka lo yang sekarang mahal banget, deh." Nial protes.

Ilen berhasil merampas ponsel tersebut. "Gue belum mandi."

"Ya, nggak apa-apa, emang baunya bakal kecium kalau difoto?"

"Bukan gitu, nggak liat apa penampilan gue acak-acakan gini?"

Nial mengangkat dagunya. "Paling nggak lo udah gosok gigi, itu udah cukup."

Ilen berdesis. "Tapi itu nggak cukup buat gue."

Mata lelaki itu memicing. "Tangan lo udah sembuh?" Ilen tak bisa menjawab. "Lo udah bisa rampas HP gue."

Jelas saja hal tersebut membuat Ilen sedikit tergagap. Kemarin, ia meminta Nial memberikannya cuti selama dua hari sampai tangannya pulih. Sekarang, Ilen malah memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja.

Terkekeh. Ilen memberikan kembali ponsel milik Nial. "Maaf."

"Anggap aja gue lupa ingatan. Lo mau libur, 'kan?"

"Hm?" Mata Ilen membulat.

"Mau nggak?"

Ilen mengangguk bak anak kecil yang ditawarkan es krim. "Mau."

Nial maju selangkah ke arahnya. "Gue bakal kasih libur yang lo mau, tapi lo harus kasih foto terbaru lo ke gue."

Wajah Ilen yang tadinya ceria kembali menjadi datar. "Nggak. Lo mau pelet gue, 'kan?"

"Enggak, gue cuma mau bandingin sama foto waktu SMP."

"Nggak penting, sumpah." Ilen berbalik, dan duduk di tepi tempat tidur. "Keluar, gih, gue mau lanjut nonton drama."

Bukannya pergi, lelaki itu malah duduk di sampingnya. Nial menarik satu bantal mendekat, lalu merebahkan diri di sana.

"Bangunin gue kalau bokap gue ngajakin pulang," kata Nial, lalu menuju alam mimpi.

Untuk pertama kalinya seumur hidup, ada seorang lelaki tidur di kasurnya, adik sendiri saja tak pernah diizinkan Ilen.

Ilen bergerak menarik spidol dari dalam laci. Niatnya hanya ingin mengerjai Nial, agar segera bangun, dan meninggalkan kamarnya tanpa ada niat kembali.

Namun, saat ia mendekati Nial, mata itu terbuka. Keduanya bertatapan, tubuh Ilen seakan terkunci dan tak bisa bergerak. Selanjutnya, Ilen tahu apa yang akan Nial lakukan. Mencuri kesempatan untuk berciuman dengannya.

_________

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang