16. Mall

2.1K 257 10
                                    

Bersandar pada mobil yang terparkir di basemen mal, jari Nial kini sibuk dengan layar ponsel, di mana memperlihatkan akun instagram Raga. Ia hanya ingin mencari tahu apa yang menyebabkan anak dari si penjilat Gusti itu bisa kenal dengan Ilen.

Di sampingnya, ada Daffin yang tengah menoleh sana-sini menunggu sang bunda datang. Ya, perempuan bernama Azkadina Fay atau biasa dipanggil Fay itu, tengah berada di Jakarta untuk menjenguk putra sematawayangnya, Daffin.

Tentu saja pertemuan ini tanpa sepengetahuan Daffa. Ya, kakak dari Nial tak bisa terima jika sang mantan istri sering bertemu dengan Daffin.

"Bunda, kok, lama?" Daffin makin risau menunggu, anak itu terlalu takut jika ketahuan sang ayah.

"Ayah Daffin lagi di luar kota, tenang aja. Ini nggak bakal ketahuan. Sebelumnya juga ketahuan, tapi semua baik-baik aja, 'kan?" Nial menenangkan keponakannya tersebut.

Daffin menatapnya dengan wajah sendu. "Daffin cuma nggak mau, Paman sama ayah berantem lagi karena ini."

Terkekeh. "Kamu khawatir sama Paman?"

"Bukan khawatir juga, Daffin jadi nggak enak sama Paman."

Tangan Nial bebas mengacak rambut Daffin penuh sayang. Ini adalah alasan mengapa Nial amat sangat membenci Pak Gusti. Pria yang datang hanya untuk mengadu domba Daffa dengan sang kakek.

Memang, penikahan Daffa dan Fay terjadi karena kenakalan remaja, tetapi perceraian di usia dini karena pihak ketiga tak bisa dimaafkan. Pak Gusti datang membuat semua jadi kacau.

Fitnah pada keluarga Fay, ibunda dari Daffin. Hingga membuat kakek mereka marah besar dan mengirim Daffa kuliah di luar negeri. Tentu, Fay tak punya cara lain kecuali meninggalkan Daffin kepada Nial sekeluarga, sambil membawa rasa sakit yang pasti tak akan hilang sampai sekarang.

"Bunda!" panggil Daffin pada sosok perempuan yang baru saja keluar dari mobil.

Anak lelaki itu bersalaman terlebih dahulu, sebelum mendapatkan pelukan dari sang bunda. Nial berada di belakang Daffin sambil melihat keharmonisan antara anak dan ibu tersebut.

Jika saja waktu bisa diputar, mungkin Nial yang masih belia akan berusaha membujuk Fay agar tak pernah pergi dari mereka.

"Nial," sapa Fay padanya, yang dibalas oleh Nial dengan senyum dan lambaian tangan. "Bunda bawa oleh-oleh buat Daffin."

"Enak, nih, dapat oleh-oleh. Kak Fay apa kabar?" tanya Nial.

Perempuan itu menoleh padanya. "Baik."

"Kerjaan lancar?"

"Lancar, dong. Nial gimana? Udah punya pacar, ya?"

Tentu saja pertanyaan itu membuat Nial tersenyum geli. Pacar dari mana? Selama ini ia hanya halu.

"Malah ketawa. Kata Daffin, pamannya udah punya pacar, loh," ledek Fay.

Nial sedikit menunduk untuk melihat cengiran kuda sang keponakan padanya. Satu tangan terlingkar di leher Daffin, membuat anak itu merontak minta dilepas.

"Kata Paman, Aunty Ilen itu pacar Paman. Emang bukan, ya?" Sambil berusaha lepas dari cengkraman Nial.

Nial mengacak rambut anak itu, lalu menyeretnya menjauh dari fay. "Yuk, Kak, kita makan dulu."

Fay berjalan di samping Daffin yang sudah lepas dari Nial. "Entar malam tidurnya sama Bunda, ya."

"Udah SMP, masa tidurnya sama Bunda," tolak Daffin.

Satu jitakan dari Nial, mendarat di kepala Daffin. "Dari kecil tidurnya, 'kan, bareng Paman. Sekarang bisa sama Bunda dulu. Mumpung ayahmu yang nyebelin itu nggak tahu."

Perlu waktu yang lama untuk menyatukan hati Daffin agar bisa menerima Fay sebagai ibu. Itu terjadi saat bocah SMP itu masih berusia tiga tahun, setahun sebelum Daffa menyelesaikan S-1.

Fay tinggal bersama mereka di Surabaya hanya beberapa bulan, kemudian memutuskan untuk pergi lagi demi melanjutkan cita-cita.

Orang tua Nial bisa menerima Fay sebagai ibu dari cucu mereka, bahkan sebagai menantu juga iya. Namun, keadaan benar-benar harus membuat mereka berpisah, agar Daffin juga tak melihat kekacauan di keluarga besar Nial.

Fay adalah korban, sekaligus penyelamat mereka. Ibu dari Nial berkali-kali meminta maaf dan juga berterima kasih pada Fay karena mau mengalah.

Duduk di kursi restoran, Nial dan Fay mengobrol sambil menunggu Daffin selesai memilih menu.

"Bunda mau liat menunya?" tanya Daffin.

Fay menerima buku menu tersebut. "Bunda mau samaan sama Daffin saja."

"Oke. Kalau Paman?" tanya Daffin padanya.

Nial menarik buku menu tadi. "Catat, Mbak," kata Daffin pada pelayan yang sejak tadi berdiri di samping mereka.

Nial menyebutkan makanan dan minuman yang akan mengisi perutnya malam ini. Setelah selesai, dan pelayan tadi pergi, ia kembali mengobrol dengan Fay.

Di tengah obrolan, Daffin memanggil seseorang yang membuat Nial terkejut saat melihat kehadiran orang tersebut.

Ilen. Perempuan itu tengah menatap padanya dengan tatapan terkejut. Namun, pandangan Nial berubah ke arah lelaki yang hari ini datang bersama Ilen. Raga.

Terasa ketegangan di meja yang diduduki mereka. Fay menutupi wajahnya agar tak telihat oleh Raga. Masalah besar.

Nial segera berdiri dari duduk, lalu mendekati Raga. "Pergi."

"Ini tempat umum, lo nggak punya kuasa buat ngusir gue dari sini," balas Raga.

"Lo ganggu ketenangan gue."

Ilen menengahi. "Lo apaan, sih? Gue nggak butuh izin lo biar bisa dekat sama siapa aja."

"Gue lagi nggak ngomong sama lo," ucap Nial, sambil menatap Ilen dingin. "Jangan sok cantik. Urusan gue sama Raga, bukan sama lo."

Perempuan itu menatapnya dengan wajah tak karuan. Memang, apa yang diucapkan Nial sungguh menyakitkan hati, tetapi ini satu-satunya cara agar acara makan malamnya bersama Fay dan Daffin menjadi aman.

Ia melakukan ini bukan untuk dirinya, tetapi Daffin. Perlu waktu dan kesabaran agar bisa bertemu lagi dengan ibu kandung, jangan karena adanya Raga, semua malah jadi berantakan.

"Jaga mulut lo!" bentak Raga.

Nial mendorong bahu Raga agar menjauh. "Pergi. Restoran nggak terima uang dari hasil jadi penjilat di keluarga gue."

Raga yang terpancing hampir saja melayangkan pukulan kalau tak ditahan oleh Ilen.

"Udah, kita pergi aja," lerai Ilen, lalu menarik tangan Raga menjauh.

Keduanya pergi meninggalkan Nial. Tak ada yang perlu Nial sesali dari pertemuan ini, apalagi ia harus berucap kasar pada Ilen. Daripada kehilangan Ilen untuk kedua kalinya, Nial lebih takut lagi jika terjadi apa-apa pada Fay dan Daffin.

Seperti kata sang ibu padanya, mereka harus melindungi Fay dan juga Daffin. Kesalahan masa lalu tak boleh terulang lagi.

"Paman, kok, marahin Aunty Ilen?" tanya Daffin saat ia kembali ke kursi.

Nial berusaha tetap bersikap seperti tak terjadi apa-apa. "Namanya juga cemburu."

"Itu pacar kamu yang dicerita sama Daffin?" tanya Fay.

Menggeleng. "Bukan, Kak. Itu mantan Nial dulu, tetangga di Surabaya."

Mulut dan mata Fay terbuka lebar. "Yang putus karena salah paham sama Kakak? Dia mikirnya Kak Fay selingkuhan Nial?"

Nial mengangguk antusias. "Iya, yang itu."

"Astaga. Terus, sekarang gimana kalian? Kok, bisa ketemu lagi?" Fay jadi antusias bertanya, mau tak mau Nial harus menceritakan dari awal.

________

09.04.22

Jaringan wifi nyebelin banget, sumpah. Mau buka wattpad aja susahnya minta digorok. Akhirnya, aku beli kuota. 😭 Padahal baru bayar wifi, tapi jaringan jelek banget.

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang