Seperti tak ada kata aman di kamus hidup Ilen, kini kehadiran seorang lelaki yang tak ia inginkan di kursi kerjanya, membuat Ilen ingin sekali mengubur diri hidup-hidup.
Setelah makan siang, Ilen pikir semua akan baik-baik saja. Tak ada lagi Nial yang membujuknya bahkan sampai berlutut di depan meja kerja untuk meminta ia kembali ke ruangan. Yang ia dapati sekarang masih Nial yang sama.
Ilen memutar ingatannya tentang sepuluh tahun tak bertemu dengan Nial. Ilen ingat betul, bahwa ia tak pernah meminta bantuan pada dukun untuk memberikan guna-guna agar Nial kembali padanya. Sungguh, Ilen sama sekali tak melakukan ritual perdukunan.
Jika ia punya niat untuk melakukannya, waktu yang tepat adalah sekarang. Ya, Ilen ingin sekali meminta dukun untuk mengirim santet pada Nial. Hidupnya akan aman jika saja lelaki itu tak hidup lagi di dunia.
"Lo nggak malu apa diliatin karyawan lo sendiri?" tanya Ilen setelah meletakan sebotol minuman di atas meja.
Nial menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah, tak lupa memakai wajah memohon. "Please, kembali ke ruangan aku."
"Gue nggak bisa." Ilen berucap penuh penekanan.
"Kenapa?"
Menghela napas, Ilen mengusir Nial dari kursinya dengan tangan bebas. "Minggir!" Lelaki itu menuruti.
"Ai, setidaknya bilang alasan yang masuk akal biar aku terima, kamu pergi tanpa pamit dari ruangan aku."
Ilen menelan ludah susah payah saat semua karyawan menatap ke arah mereka. Andre, yang berada dekat dengan keduanya, hanya bisa terpaku. Ilen memutuskan untuk duduk agar bisa lebih rileks sedikit dari tatapan orang sekitar.
Ilen menatap Andre. "Sumpah, gue malu," keluhnya dengan wajah memohon pada Andre untuk memberikan bantuan.
Andre segera menghampiri Nial. "Pak, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, bisa-bisa Pak Daffa marah lagi ke Bapak."
Ilen memijit dahinya. Ia tak tahu pekerjaan apa yang dimaksud Andre dan siapa Pak Daffa itu. Yang jelas, ia hanya ingin Nial dibawa jauh-jauh darinya.
"Bentar, Ndre, gue harus bicara empat mata sama Ai," tolak Nial.
"Pak Nial malah bikin Mbak Aileen malu diliatin karyawan lain."
Nial menoleh ke arah belakang, di mana pandangan orang-orang yang ada di sana, lurus menatap ke arah mereka.
Melipat tangan di depan dada, Ilen tahu bahwa Nial akan melakukan sesuatu pada para karyawannya.
"Tinggalkan lantai ini," kata Nial.
"Hah?" Kekagetan Andre mewakili apa yang dirasakan Ilen sekarang.
"Cepat!" tegas Nial, membuat para karyawannya kocar-kacir mencari jalan keluar.
Nial kembali memutar tubuh menghadap Ilen. Di sini masih ada Andre, tetapi Nial seperti tak terganggu sama sekali. Ya, lagi pula Andre sudah terbiasa menjadi saksi pertengkaran mereka.
Lelaki gila itu menatap mata Ilen intens. "Apa yang bikin kamu pindah dari ruangan aku?"
Ilen malah menoleh ke jam dinding. Seketika matanya membulat sempurna. Sudah siang, itu berarti sebentar lagi istri Nial akan datang ke kantor ini. Meskipun jam pulang sekolah putra Nial sore, bukan tidak mungkin istri Nial datang lebih awal untuk bersama-sama menjemput anak mereka.
"Nial, ini udah kelewatan, sumpah!" kesal Ilen.
"Aku bos di kantor ini, apa salahnya minta mereka ninggalin kita biar bisa bicara empat mata?" Nial malah tambah songong. "Oh, kamu kurang nyaman ada Andre di sini?"
Ilen menggeleng tegas. Ia bahkan merasa aman jika ada Andre di antara mereka. Ya, Andre yang punya pikiran waras pasti akan membantunya mencari jalan untuk kabur.
"Nial, lo denger ini baik-baik."
"Hm?" Nial siap mendengar.
Menghela napas sejenak. "Kita nggak mungkin bisa sama-sama lagi."
"Bisa, kok, selama kamu nggak terima cowok lain selain aku."
Kepercayaan diri Nial masih saja belum luntur. Atau, otak Nial sudah tak berfungsi dengan baik akibat masalah rumah tangga?
"Masalahnya bukan di gue, tapi lo! Lo bisa nggak berpikiran sedikit bijak? Udah dewasa, loh." Ilen mencoba menasihati sang mantan kekasih. "Nial, kalau lo punya masalah dengan keluarga kecil lo, bukan gini jalan keluarnya. Lo bisa rugi, dan gue nggak mau ikutan rugi, makanya gue menghindar."
Nial mengerutkan kening. "Kamu lagi bahas apa, sih? Aku rugi karena apa?"
"Karena lo sedang nyia-nyiain sesuatu yang berharga."
"Nggak ada yang lebih berharga dari pertemuan kita, nggak ada yang bikin aku menyesal dari perpisahan kita. Justru aku bakal lebih rugi lagi, kalau bikin kamu pergi sama kayak dulu."
Andre saja yang masih setia berdiri sambil menonton drama yang diciptakan Nial, pasti ingin muntah mendengarkan penuturan Nial. Ini sangat membuat Ilen pusing, hingga tak tahu harus bicara apa lagi.
Ia berusaha tenang, agar Nial mengerti dengan keadaan ini. "Setidaknya, lo mikirin harga diri gue yang mungkin bakal hancur dengan cara gila lo ini!"
"Setuju!" Suara tegas terdengar dari arah di mana lift berada.
Lelaki yang tak Ilen kenali berdiri di sana, sambil menatap Nial dingin. Siapakah orang ini? Ilen hanya bisa menduga, bahwa ini adalah salah satu sanak keluarga dari istri Nial.
Apa ini sudah akhir dari kehidupan Ilen? Sudah tak ada jalan untuk kabur lagi?
Yang dirasakan Ilen sekarang adalah badan seketika lemas, hingga ia tak bisa mengontrol diri. Ilen masih sadar saat Andre mencoba menopang tubuhnya, dan membawanya bersandar di kursi.
"Nial." Lelaki asing itu mendekat. "Kantor bukan tempat untuk bercanda."
Nial malah menatap orang itu ogah-ogahan. "Kantor bukan candaan, dan sekarang Bang Daffa ninggalin kantor sendiri, cuma buat datang ke sini untuk ceramahin gue?"
"Gue hanya kebetulan mampir, dan liat kekacauan ini. Selama gue mimpin perusahaan ini dulu, nggak ada kekacauan kayak gini," ujar lelaki bernama Daffa tersebut.
Ilen berbisik di telinga Andre. "Itu siapa?"
"Pak Daffa, abangnya Pak Nial."
Ah, seharusnya Ilen sadar bahwa tadi Andre sempat menyebutkan nama Daffa saat berusaha menasihati Nial.
Jadi, ini Daffa? Dia benar-benar orang yang dingin.
"Kalau cuma mau mampir, silakan pergi secepatnya," usir Nial.
Sepertinya, hubungan kakak beradik ini tidak akur. Terlihat dari mimik wajah mereka yang saling memancarkan keangkuhan masing-masing.
Astaga, Ilen merasa ruangan ini sedang dikelilingi hawa panas. Tinggal tunggu istri Nial sampai, pasti kantor ini akan tambah meriah.
"Nggak perlu jemput Daffin, biar gue yang jemput," kata Daffa, lalu memutar tubuh untuk pergi.
Namun, Nial malah tertawa meremehkan. "Sadar nggak, Daffin nggak pernah suka sama lo?"
"Dia anak gue."
Ilen menoleh pada Andre meminta penjelasan. "Daffin siapa lagi?"
Andre mendekat ke telinga Ilen. "Anak kecil yang dibawa Pak Nial tadi pagi. Itu anak Pak Daffa."
"Hah? Anak itu bukan anaknya Nial?" Jelas saja Ilen dibuat terkejut bukan main dengan fakta tersebut.
Andre menggeleng. "Bukan, Bu."
"Kamu lupa sama Daffin, Ai?" tanya Nial, yang membuat Ilen menoleh pada lelaki itu.
Apa ia pernah kenal Daffin sebelumnya?
"Jadi, kamu pikir Daffin anak aku? Itu Daffin, loh, Ai. Keponakan aku yang dirawat sama kakek nenek di Surabaya. Dulu kita sering main bareng."
Shit!
Sekarang, Ilen ingat siapa bocah itu.
________
11.03.22
Tepat, 6 hari. 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Bos Mantanku
RomanceAileen Qalesya Arundati atau yang sering disapa Ilen, sejak dulu memiliki keinginan bekerja di perusahaan Pradana Group. Saat datang ke kantor anak perusahaan tersebut, Ilen menemukan pesawat kertas yang ternyata adalah hasil ulangan seseorang. Nila...