33. Bersepeda

1.3K 165 1
                                    

Dari belakang dengan tangan yang ia letakan pada bahu seorang lelaki yang pernah ada di hatinya, Ilen baru saja mendapatkan sebuah perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang.

Sekarang, tubuh itu kokoh, tak seperti dulu yang bisa dibilang kerempeng. Ia akui, mantannya ini sudah banyak berubah, terlebih pada postur tubuh. Meskipun dari tingkah laku masih saja sama.

Masih tetap nyebelin. Yah, yang berubah itu pandangan Ilen pada Nial. Jika dulu ia terhibur dengan kekonyolan Nial yang selalu mengganggunya, sekarang tidak lagi. Itu malah membuatnya muak dan ingin mengubur Nial hidup-hidup.

Kaki Nial berhenti mengayuh sepeda. Lelaki itu menarik napas sejenak, lalu membuang napasnya lagi. Nial ngos-ngosan. "Ilen, ternyata lo berat juga, ya."

Ilen berdecih, lalu memutuskan turun dari sepeda. "Lo aja yang lemah. Makanya olahraga, jangan duduk sambil ngebacot nggak jelas doang di kursi kekuasaan lo."

Nial sedikit mendorong kepala Ilen. Apa yang dikatakan Ilen memang benar, tak ada yang salah. Ia sadar, tubuhnya sudah lama tak beraktivitas berat.

"Tunggu di sini," kata Nial, lalu mengayuh sepeda, tetapi kakinya terhenti karena kaus yang ditarik oleh Ilen.

Perempuan itu memasang wajah kesal. "Lo mau ninggalin gue di sini?" Ya kali, pulang ke rumah sendirian. Seingat Ilen, ada rumah yang memelihara anjing galak.

Tempat ini, 200 meter jauh dari rumah oma dan opanya. Ilen hanya tak mau jalan kaki sendirian. Lebih tepatnya, ia hanya tak ingin ditanya-tanya oleh tetangga. Anak siapa? Dari mana? Bobo sama siapa? Ngapain aja?

Itu merepotkan. Sudah pasti para penghuni komplek melihatnya sebagai orang asing, meskipun ia  pernah tinggal di tempat ini sepuluh tahun yang lalu, selama tiga tahun.

"Iya, gue mau ninggalin lo, gue udah bilang tunggu, 'kan?" Nial membalas. Lihat, Ilen sama sekali tak ingin jauh darinya.

"Terus, lo-nya pulang gitu?"

Ah, Nial lupa mengatakan tujuannya meminta Ilen diam di tempat ini, dan ia akan pergi membeli minuman. "Gue mau beli minum doang di luar komplek, di toko biasa."

Ilen menelengkan kepala, melihat ke arah toko yang dimaksud Nial. Tempat itu ada di seberang jalan, di luar gapura komplek. Sungguh nostalgia, toko di mana Ilen menghabiskan uang jajan Nial. Lagi pula, kiriman uang jajan orang tua Nial tak tanggung-tanggung, sebulan bisa beli motor gede.

"Ya udah, beliin gue juga," pintanya, tanpa meminta pun Nial akan tetap membelikannya.

"Oke, Sayang."

Berdecih. Ilen mengambil langkah menuju pohon mangga, untuk berteduh. Seenak jidat memanggilnya dengan panggilan lebay seperti itu.

Nial menjauh, menyeberangi jalan untuk menuju toko. Ia meraba kantong celananya saat berjalan menyusuri dalam toko, memastikan dompetnya tak ketinggalan. Tangannya mengetuk-ngetuk dagu, otaknya berjalan memikirkan minuman apa yang bagus untuk Ilen.

Menutup mata sebentar, Nial memikirkan masa lalu di mana keduanya saat masih SMP berbelanja di tempat ini.

Ilen waktu itu milih minum apa, ya? Sampai matanya terbuka pun ia sama sekali tak bisa memutuskan. Susu cokelat? Ah, perempuan itu suka rasa stroberi. Namun, jikalau ia mengambil minuman masa kecil mereka, Ilen pasti akan menertawakannya.

Tangannya mengambil asal. Dua botol minuman teh, memang kurang nyambung dengan keadaan sekarang. Bersepeda termasuk olahraga, sudah jelas yang dibutuhkan adalah susu.

"Bodoh amet, ambil aja semua." Tangan Nial mengambil berbagai macam jenis minuman di sana, mau itu teh, kopi, susu, bahkan air mineral sekalipun. Ia kemudian memasukannya ke dalam keranjang belanjaan. "Cemilannya ... kripik kentang, boleh. Roti, boleh. Cokelat, boleh. Yang rasa keju juga, deh, Ilen suka ini."

Setelah memastikan keranjangnya penuh, Nial menuju kasir. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Ilen sedang berteduh di bawah pohon. Sesekali perempuan itu mengelus rambutnya, lalu pindah ke leher. Tak lama kemudian, Ilen jingkrak-jingkrak tak jelas. Menepuk kaki dan tangan, lalu menjauh dari pohon tersebut.

Bibir Nial berkedut, ia ingin sekali terbahak karena tahu apa yang terjadi pada Ilen. Diserang semut rang-rang.

Selesai membayar apa yang dibelinya tadi, Nial keluar toko. Ia kembali mengendarai sepedanya untuk memasuki komplek perumahan lagi. Di sana, Ilen menatapnya dengan judes.

"Lama," kata Ilen. Ia menunggu Nial sambil melindungi dirinya dari serangan semut. Ah, kesal.

Sebelum semut-semut durhaka itu menyerang, Ilen sempat nostalgia sedikit. Pohon yang sama, meskipun ukurannya berbeda, tempat di mana ia dulu menunggu Nial selesai main PS bersama teman-teman lain.

Kenakalan Nial di SMP tak bisa dimaklumi oleh guru-guru, tapi Ilen bisa memaklumi hal tersebut. Karena kadang-kadang Nial bisa menjadi anak yang selalu melanggar aturan, tapi kadang juga patuh. Sesuai mood.

Seperti bolos di jam terakhir saat gurunya tidak masuk. Nial akan menghabiskan waktu di rental PS, padahal di rumah kakek neneknya ada PS. Nial selalu bilang tidak seru, karena lelaki itu tak punya teman bermain, sedang Ilen adalah lawan yang payah di semua permainan.

Ilen ingat sekali, agar Nial tak dimarahi neneknya karena bolos atau telat pulang ke rumah, Ilen disuruh menunggu dan mereka bisa pulang bersama. Lucu, dulu. Yah, dulu itu masa yang lucu bagi Ilen, tidak dengan sekarang, saat Nial memilah satu persatu hasil belanjaannya.

Mau marah, tapi yang dipakai membeli adalah uang Nial. Dalam kantongan kresek jumbo itu, tak ada satu pun camilan yang diharapkan Ilen. Mengapa Nial tak membelikannya es krim?

Terlihat, lelaki itu sedang meneguk air mineral. Mata Ilen jatuh pada susu dengan berbagai macam ukuran dan rasa, belum lagi minuman kopi dan teh. Ilen hanya tertarik pada roti isi cokelat.

"Minumnya?" tawar Nial.

Ilen ogah-ogahan memasukan roti ke dalam mulut. "Lo nggak kreatif banget, sih, beliin gue es krim, kek."

Lelaki itu malah bersandar pada tiang pendopo dengan santai. "Gue nggak kepikiran yang itu. Lo nggak bilang, sih." Antara Ilen segan mengatakan atau memang lupa. Sekarang, ia yang disalahkan. "Ada susu, dulu juga lo sering minta ditraktir itu, 'kan?"

"Bocah."

Sudah Nial duga cemooh itu akan keluar dari mulut Ilen. Ingin membantah, tetapi memang benar. Ia membeli susu karena teringat masa lalu mereka. Garis waktu sudah berbeda, Bro!

"Lo mau gue beliin lagi?" tawar Nial yang langsung dijawab dengan gelengan. Wajah bete Ilen terpampang jelas di sana.

Saat tahu Ilen memutuskan untuk mengunjungi oma dan opanya, Nial mengikuti langkah tersebut karena ia ingin membuat Ilen sedikit nostalgia dengan masa SMP mereka.

"Tadi, gue liat lo di-bully semut di bawah pohon." Ya, hanya sekadar bercerita saja.

Ilen menghabiskan apa yang sedang dikunyah. "Udah biasa. Sekarang lo lumayan cepat, dulu gue nungguin lo lebih lama lagi, sampe-sampe semutnya udah sahabatan sama gue. Bahkan, kalau lo lebih lama lagi main PS, gue pasti udah dilamar sama salah satu semut."

"Dih, PD. Manusia aja nyerah ama lo, apalagi semut."

"Perumpamaan, Pe'a!" Ilen melempar bungkus roti padanya. "Bukain botol gue." Menyodorkan botol air mineral pada Nial.

"Tolongnya mana?"

Ilen mendengkus. "Tolong."

"Sayangnya mana?"

Seketika Nial tersentak karena Ilen menarik botol air mineral tadi dari tangannya.

"Biar gue buka sendiri!" Ilen meminta tolong bukan karena manja, hanya saja ia terlalu malas mengeluarkan tenaga ekstra.

_______

20.08.22

Gak diedit lagi, malas.

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang