11. Pemain Baru

3.2K 308 9
                                    

Sepertinya Ilen mulai terbiasa dengan kehidupan kantornya yang menjadi bawahan dari sang mantan pacar. Bukan karena pekerjaan, tetapi tentang kenyamanan sebagai seseorang yang pernah punya masa lalu dengan si bos.

Ya, Ilen sudah tak masalah dengan tatapan para karyawan lain yang seperti menghormatinya, mungkin. Bahkan, ada yang terang-terangan memperlihatkan  rasa tak suka mereka pada Ilen. Masa bodoh.

Jadi, seperti yang dikatakan Nial, mungkin Ilen hanya akan memiliki satu teman saja di kantor ini, yaitu Andre. Ya, lelaki yang berprofesi sama dengannya ini setia menemani makan siang, bahkan menanyakan apa saja yang dibutuhkan Ilen selama diserang rasa bosan akibat tak punya kerjaan.

Seperti yang Ilen katakan tadi, bahwa ia sudah terbiasa. Maka, ruang kerja Nial juga sudah biasa baginya. Tak ada lagi helaan napas pasrah saat berdiri di depan pintu besar tersebut, karena sadar harus menghadapi kegilaan Nial lagi.

Membuka pintu tanpa mengetuk? Ilen juga sudah biasa, Nial memintanya untuk menganggap ruangan tersebut adalah ruangannya sendiri.

Ilen melangkah ke dalam ruangan setelah membuka pintu, dehaman seseorang tak dipedulikannya, itu pasti Nial yang mencoba membuat keisengan.

"Sepertinya ada yang tidak punya tatakrama di sini," ucap suara berat, yang berbeda dengan suara Nial.

Ilen mengangkat pandangan ke asal suara. Pria paruh baya yang duduk di depan Nial itu tengah menatapnya intens.

Tentu saja Ilen seketika berdiri dari duduk. Sedikit membungkuk untuk permohonan maaf, Ilen takut bahwa orang tersebut adalah ayah dari Nial.

"Nggak apa-apa, Ilen, kamu bisa duduk lagi," ucap Nial, yang justru tak disetujui oleh Ilen.

Ngomong-ngomong, tumben sekali Nial tak memanggilnya dengan panggilan Ai. Apa karena kehadiran orang asing ini?

"Nggak apa-apa dari mana? Dia tidak mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Sebagai bawahan, itu tindakan tidak sopan." Pria asing itu protes pada Nial.

Rahang Nial menegas. "Bukan hak Anda untuk menilai asisten saya. Silakan, keluar."

"Untuk seseorang yang selama ini sudah dipercaya sebagai penasihat bisnis perusahaan, kamu mau mengusir saya hanya karena gadis kurang sopan ini?"

Nial menggebrak meja. "Silakan keluar!"

"Biar saya yang keluar," spontan Ilen, ia terlalu takut berada di situasi tersebut.

Bukannya apa, Ilen tak pernah melihat Nial seserius itu. Tak ada wajah yang sering dilihatnya setiap hari. Benar-benar menyeramkan. Terlebih, Ilen juga tak mau Nial memarahi bapak tua tersebut, kasihan.

Sampai di luar ruangan, ternyata Ilen sudah disambut oleh Andre. Lelaki itu memeriksa Ilen dari atas sampai bawah, seperti mencari luka.

"Bu Aileen nggak apa-apa, 'kan?" tanya Andre.

Ilen menggeleng sempurna. "Nggak."

"Itu apa yang dibanting? Pak Nial nggak marahin Bu Aileen, 'kan?"

"Enggak." Ilen memutuskan duduk di kursi Andre. "Nial marahin bapak-bapak itu, loh."

"Oh, Pak Gusti?" tebak Andre. "Itu, mah, udah biasa."

Andre terlihat santai. Sudah biasa? Berarti selama ini Nial selalu berselisih paham dengan Pak Gusti? Yang bisa dilihat Ilen, pria paruh baya itu punya peran penting di perusahaan mereka.

"Saya memang baru setahun kerja bareng Pak Nial, tapi udah hampir seratus kali liat Pak Nial adu argumen sama Pak Gusti," jelas Andre.

"Pak Gusti ayahnya Nial?" tanya Ilen, yang langsung dihadiahi gelengan oleh Andre. "Tapi, baru setahun kerja, kok, bisa Nial percaya banget sama lo?"

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang