"Gue ke sini mau ngundang lo ke acara peresmian besok," kata Raga yang malam ini mendadak bertamu di rumah Ilen.
Beda, sungguh beda. Kemarin, ia sangat semangat menggebu-gebu bertemu dengan Raga, tetapi sekarang rasa itu sudah sirna akibat penjelasan Mila lewat telepon.
Apalagi, istri dari Sadam itu menasihati Ilen agar tidak terlalu dekat dengan Raga. Sekarang tak lagi sama, Ilen sudah tahu apa yang dilakukan ayah dari Raga pada keluarga Nial.
Menghela napas, Ilen tak mungkin bersikap dingin pada tamu yang tak diinginkannya ini. Tadi, saat Ilandi memberitahu bahwa ada tamu, Ilen menyangka itu adalah Nial. Ternyata ....
"Peresmian apa, ya?" tanya Ilen.
Raga tersenyum. "Lo pasti bangga sama mantan lo yang satu ini, terus jadinya pengin balikan."
Ilen hampir saja menyemburkan tawa meremehkan. "Apa sih?"
"Lo tahu, gue baru saja bikin anak perusahaan baru dari Pradana Group."
Mata Ilen hampir jatuh dari tempatnya, tanpa sengaja ia menganga akibat terkejut. Anak perusahaan? Atas kekuasaan Pak Gusti? Atau karena Raga punya potensi?
"Kok, lo diam? Mana ekspresi senengnya?" tanya Raga, membuat Ilen seketika sadar dari lamunan.
"Ah, iya. Selamat, ya ...." Ia mengulurkan tangan untuk berjabat.
Raga membalas uluran tangannya. Lelaki itu tersenyum cerah karena merasa bangga dengan pencapaian yang sudah dibuat.
Yang ada dalam pikiran Ilen sekarang adalah Nial. Entah mengapa, tetapi wajah frustrasi Nial waktu itu yang ada di meja kerja, membuat Ilen seketika bertanya dalam hati, bagaimana kabar mantan kekasih sekaligus bosnya tersebut?
Tadi pagi di kantor, saat Sadam dan Nial melontarkan kalimat meremehkan padanya karena terungkap sebagai mantan pacar Raga, Ilen sangat kesal bukan main. Namun, kali ini berbeda. Ilen benar-benar khawatir dengan Nial.
"Jadi, lo mau ikut?" tawar Raga, yang mau tak mau diiyakan oleh Ilen.
Empat belas jam berlalu dari kedatangan Raga di rumahnya semalam, sekarang Ilen sudah berada di kantor setelah menghadiri peresmian perusahaan baru Raga.
Ilen sudah berpamitan untuk telat masuk kantor pada Nial dan Andre sejak semalam, bahkan ia menanyakan apakah Nial baik-baik saja? Lelaki itu tak menjawab dan malah memutuskan sambungan telepon.
Hari ini di pukul 10.15, Ilen kembali ke kantor. Yang didapatinya sekarang adalah sapaan Andre dengan senyum memperlihatkan deretan gigi.
"Pagi, Bu Aileen ...," sapa Andre.
"Pagi," jawab Ilen singkat, lalu langsung menuju pintu ruangan.
Namun, langkahnya terhenti karena Andre menahan. "Meja Bu Aileen udah di sebelah saya."
"Hah?"
Lelaki yang lebih muda dua tahun darinya itu menunjuk satu meja yang amat sangat dikenal Ilen.
"Kok, meja gue bisa di luar?" tanya Ilen, protes kepada Andre.
"Pak Nial yang minta. Ibu katanya sekarang posisinya jadi sekertaris."
"Yah, tapi nggak harus di luar juga meja saya."
"Loh, Pak Nial yang nyuruh tadi, Bu."
Ilen mengangkat satu jari telunjuk di depan wajah Andre. "Jangan bohong." Prinsipnya, Nial tak akan tega melakukan hal tersebut, tanpa sepengetahuan Ilen.
"Ya, bener, Bu. Ibu tanya aja nanti sama Pak Nial, tapi jangan sekarang," larang Andre.
Ilen malah menggenggam gagang pintu untuk diputar. "Emang kenapa?" tantangnya.
"Di dalam ada Pak Daffa."
Ilen seketika melepas ganggang pintu tersebut. "Lo nggak bilang dari tadi." Lalu memukul Andre.
Kakinya kemudian rela tak rela melangkah ke meja di mana tempat ia akan bekerja sebagai sekertaris. Ilen mengentakan kaki sangking kesal. Tingkahnya ini jelas membuat karyawan lagi menoleh.
Sial! Jika tahu Nial akan memindahkan mejanya ke luar ruangan, Ilen tak akan menyetujui ajakan Raga semalam.
Di acara peresmian tersebut, ia hanya diam sambil memikirkan Nial. Nampak, di sana juga ada Daffa, tetapi lelaki itu pulang lebih dulu. Padahal, tadi Pak Gusti sempat ingin mengajak bicara untuk membanggakan sang putra pada Daffa.
"Pak Nial nggak kenapa-napa, 'kan?" tanyanya pada Andre.
Menggeleng. "Enggak, kok, malah pagi ini dia kelihatan semangat banget, menggebu-gebu pokoknya. Apalagi, pas mindahin meja Bu Aileen ke sini."
Ilen tak bisa merespons dengan ekspresi senang. Nial jelas-jelas mengusirnya tanpa hati. Apa karena Ilen terlihat terlalu berpihak pada Raga?
Harusnya, hari ini Ilen memberitahukan hal penting pada Nial. Menyemangati lelaki itu, dan mengatakan bahwa ia ada di pihak Nial.
Ilen menepuk jidatnya begitu kuat. Nial sudah memasang jarang darinya. Situasi sudah berbeda.
"Bu Aileen baru aja pulang dari acara peresmian, ya?" Andre bertanya.
Tentu, pertanyaan tersebut dijawab oleh Ilen dengan gumaman saja, karena ia benar-benar tak nyaman.
Di detik kemudian, suara pintu terbuka membuat mereka menoleh. Daffa keluar dari ruangan, lalu tanpa sengaja menoleh ke arahnya. Ilen seketika berdiri, lalu sedikit menunduk untuk memberikan salam.
Tak disangka, ayah dari Daffin itu melangkah ke arahnya. Ilen hampir dibuat tak bernapas saat tubuh tegap itu ada di hadapannya.
"Pagi, Pak," sapa Ilen dengan membungkukkan tubuh.
Daffa berdeham sekali, dan hanya begitu saja Ilen merasa nyawanya hampir keluar dari tubuh. Jelas, ada perbedaan berhadapan dengan Nial dan Raga.
Jika dengan Nial, bisa bersikap santai bahkan sedikit kasar. Namun, berbeda dengan Daffa, Ilen harus menjaga sikap serta tutur kata.
"Ini posisi baru kamu atas rekomendasi Raga," kata Daffa, yang seketika membuat Ilen mengangkat kepala.
"M—maksud Bapak?" Bingung? Tentu saja.
"Kata Raga kamu sangat berkompeten, tiap hari hanya diam di ruangan atas perintah Nial itu kurang baik. Kamu harus punya kesempatan untuk memperlihatkan kemampuanmu," jelas Daffa, yang malah membuat Ilen makin ingin mati saja.
Benar, Ilen sempat mencurahkan isi hatinya pada Raga, tentang ia yang tidak diberikan pekerjaan sama sekali oleh Nial.
"Baik, Pak." Ilen hanya bisa menjawab pasrah. "Tapi Pak Daffa harus tahu, saya tidak pernah meminta bantuan Raga untuk ngomong ke Pak Daffa, agar diberikan pekerjaan yang layak daripada sebelumnya.
Daffa mengangguk, dengan bibir yang sedikit tertarik membentuk senyum. "Saya tahu, hubungan kamu dan Nial pun saya tahu. Saya juga mau minta maaf atas sikap adik saya, dan mau mengucapkan terima kasih karena sudah pernah menjaga Daffin."
Ilen terpaku, tetapi kepalanya kemudian mengangguk untuk menghargai apa yang diucapkan Daffa. "Saya juga mau ngucapin makasih dan maaf sudah ngerepotin."
Daffa mengangguk. "Hm. Selamat atas pekerjaan barunya, kali ini Nial nggak bakal bisa semena-mena sama kamu." Lelaki itu mengulurkan tangan untuk dijabat.
Tangan itu Ilen terima meskipun kaku. "Makasih, Pak."
"Masih di sini, Bang?" tanya suara berat dari arah pintu. Nial keluar ruangan.
Entah sudah berapa lama tak mendengar suara itu, Ilen merasa benar-benar ingin sekali adu mulut lagi dengan Nial. Ilen sangat bersemangat untuk mengungkapkan bahwa ia sangat mendukung Nial daripada Raga.
Setidaknya, hanya itu yang bisa diberikannya pada Nial. Ilen sudah menelan rasa marahnya karena dikeluarkan dari ruangan tanpa memberitahu. Daffa benar, ia harus menunjukan kemampuannya daripada hanya berdiam diri di dalam ruangan Nial. Bukankah ini yang sebelumnya ia inginkan?
Namun, melihat mata Nial yang bahkan sama sekali tak melihat ke arahnya, membuat Ilen sadar bahwa lelaki itu tak seperti yang dulu. Inilah jarak di antara mereka.
_______
25.04.22
Aku pamit gak up dulu, ya. Stok part menipis. 😑
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Bos Mantanku
RomanceAileen Qalesya Arundati atau yang sering disapa Ilen, sejak dulu memiliki keinginan bekerja di perusahaan Pradana Group. Saat datang ke kantor anak perusahaan tersebut, Ilen menemukan pesawat kertas yang ternyata adalah hasil ulangan seseorang. Nila...