34. Buru-buru

1.4K 155 7
                                    

Iya, iya, iya. Ajakan yang dengan semangat dijawab oleh Ilen. Sore nanti, ia akan makan bakso bersama tiga teman akrabnya saat SMP. Seperti sedang melayang-layang di bumantara, Ilen tak sabar menanti sore tiba.

Ilen sudah menyiapkan tema obrolan dengan teman-temannya.  Terakhir mereka bertemu setahun lalu, mereka sama sekali tak membahas tentang ke-alay-an Ilen yang menangis diselingkuhi Nial. Bukan karena ia berhasil membelokan obrolan, tetapi memang mereka sudah berdamai dengan masa lalu. Daripada membicarakan yang sudah-sudah, Ilen dan teman-temannya selalu mengangkat tema keluhan hidup di usia mereka sekarang.

Ya, mulai dari karir sampai jodoh, yang mana ia dan ketiga temannya sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan menikah. Lihat, jika di Jakarta Ilen punya teman yang sudah menikah, tidak dengan Surabaya.

Sepertinya, kutukan kejomloan Ilen sudah ia bawa sejak meninggalkan Surabaya.

Setelah bersepeda dengan Nial, bermalas-malasan di dalam rumah, lalu memutuskan duduk di teras karena lebih asyik membalas pesan teman-temannya, ketimbang menonton berita bersama opanya, Ilen sudah lupa bahwa dirinya butuh mandi.

Suara gaduh terdengar dari teras rumah sebelah. Mobil berhenti di depan pagar, sosok yang membuat pandangan Ilen teralihkan dari ponsel, kini tengah terburu-buru memakai sepatu.

Nial, lelaki itu kemudian berdiri setelah mengenakan sepatu. Raut wajah terlihat serius, bola mata sedikit menyiratkan kilat kekhawatiran. Ilen lantas berdiri, mendekat ke tembok pembatas untuk menanyakan ke mana Nial hendak pergi? Apa ada urusan mendadak?

Jelaslah Ilen penasaran. Ia datang ke kota ini bukan untuk berlibur, melainkan kerja. Nial adalah bosnya bersikap seperti tengah terjadi suatu hal yang buruk, sangat mengundang rasa ingin tahu Ilen.

"Lo mau ke mana? Ada masalah?" tanya Ilen tanpa memanggil Nial. Ia tahu, tinggi badannya hanya berbeda beberapa senti dari tinggi pagar.

Nial memutar tubuh mencari Ilen. Tatapan mereka bertemu, ia segera mendekat. "Gue balik duluan ke Jakarta, lo pulang bareng Andre kapan aja juga bisa."

Hah? Bukannya malam? Pertanyaan itulah yang akan keluar dari mulut Ilen, tetapi semua ditelan bulat-bulat karena Nial buru-buru masuk mobil, tak memberikannya waktu untuk bicara lagi.

"Anjir, gue penasaran, sumpah." Kesal, hingga menendang tembok pembatas yang ada di hadapannya tanpa pikir panjang. "Asem! Sakit banget, woi!"

Mengerang. Ilen menelan kegeruhan akibat dirinya sendiri, ia berjongkok sambil mengelus jari-jari kaki kanannya. Berbagai umpatan ia lontarkan, meskipun sama sekali tak berefek untuk menghilangkan rasa sakit.

Bersamaan mobil yang ditumpangi Nial menjauh, Ilen berdiri dari jongkoknya. Ia menghela napas, rasa penasaran pada sikap Nial membuatnya berinisiatif menelepon Andre, yang sekarang mungkin sedang bersenang-senang menikmati fasilitas hotel bintang lima.

"Halo, Ndre," sapanya tergesa-gesa. "Nial udah balik duluan, loh."

"Iya, Kak. Pak Nial katanya ada urusan keluarga, saya juga nggak tahu urusannya apa," jawab Andre.

Ilen berdecak karena tak puas dengan jawaban Andre. Ya, ia pun tak bisa memaksa asisten Nial itu harus tahu apa urusan pribadi bosnya. "Ya udah, ntar malam kita balik, ya."

"Loh?"

Jari Ilen menekan layar berwarna merah agar menyudahi panggilan. Jawaban dari Andre sudah sedikit membuatnya lega, karena itu urusan keluarga, Ilen tak harus ikut campur, 'kan? Ilen hanya orang luar, titik tidak pake koma.

Di teras rumah tempat di mana Nial keluar tadi, seorang wanita tua berkacamata berdiri sambil menghela napas pasrah. Wanita itu terlihat khawatir, ekspresinya beda dengan saat tadi pagi Ilen temui. Ya, nenek Nial benar-benar gembira bertemu dengannya.

Pak Bos MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang