[15] Lips

81 15 2
                                    

"Bisakah kalian berhenti sekarang juga!" Sentak Alvia. Ia berbalik kemudian menatap tajam pada- ah tidak ada apa-apa di belakangnya.

Tapi, dia yakin ada satu hingga dua orang yang sejak tadi mengikutinya. Tentu dia menyadarinya, entah sejak kapan warna setiap orang di sini terlihat oleh bidikan matanya.

Alvia yakin itu adalah warna sihir. Karena memang dua warna yang menonjol sebagai warna sihir terlihat olehnya.

Perlahan tubuh tegap dan tinggi terlihat, dugaannya tidak salah. Memang ada yang mengikutinya dan dia adalah Rion. Dirinya yakin pemuda itu menggunakan mantra tak terlihat. Niat sekali untuk membututinya.

"Kau mau apa? Kenapa harus mengikuti ku secara diam-diam?!" Tanyanya penuh emosi.

Rion tersenyum menanggapi. "Tadinya aku ingin berbicara denganmu tentang tugas kelompok kita."

Mendengar hal tersebut, Alvia mengusak kasar rambutnya, frustasi. "Tugas kita sudah selesai seminggu yang lalu, bodoh!"

"Oh benarkah?" Bingung Rion sambil tersenyum di akhir.

"Jangan pura-pura lupa, sialan!" Tunjuknya pada wajah sempurna Rion. Siapa yang tak membenci jika di ikuti seperti ini, terlebih Alvia tahu betul pemuda bersurai biru itu menyukainya.

Bukannya marah, Rion justru menikmati amukan dan amarah gadis di depannya. Tangannya terangkat untuk menggapai telunjuk yang di layangkan padanya. "Aku tidak berpura-pura, sungguh." Bohongnya, ya tentu saja sejujurnya ia ingat dan sangat terekam jelas bagaimana mereka mengerjakan tugas kelompok yang selesai begitu singkat.

Alvia menarik telunjuknya yang di tahan oleh pemuda di depannya dengan kasar. "Kalau begitu, kau harus ingat ini. Tugas kelompok kita sudah selesai." Ucapnya penuh penekanan.

"Akan aku ingat" Balas Rion sambil tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat. "Oh ya, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."

"Apa? Sebaiknya cepat, aku tak punya banyak waktu." Kata Alvia berusaha ramah, kembali pada dirinya yang lumayan tenang.

"Kau bilang 'kalian' di awal sebelum aku muncul. Siapa satu orang lagi?"

Alvia terdiam. Benar juga, dia memang melihat ada dua warna sihir yang mengikutinya. Namun, di jangkauan dekatnya hanya ada warna sihir Rion.

"Entahlah" ia menggedikkan kedua bahunya acuh. "Mungkin hanya perasaanku."

Salah satu alis Rion terangkat. "Kau yakin?"

"Aku- tidak tahu. Saat kau muncul aku kira satu orang lainnya juga akan muncul."

"Itu artinya benar, jika ada satu orang lagi?"

"Mungkin?" Balas Alvia dengan ragu. Tapi kemudian dia sadar sesuatu. "Sesi bicara kita sudah habis, kau bisa pergi." Usirnya secara terang-terangan.

Rion tersenyum mendengarnya. Dengan gerakan lembut dia mengusak pucuk kepala yang lebih pendek darinya. "Baiklah. Sampai bertemu lagi di kelas."

Belum sempat protes sebuah portal terbentuk dan pemuda bersurai biru tersebut langsung masuk ke dalamnya, berteleportasi.

Alvia mendengus, ternyata begini rasanya di dekati secara langsung oleh orang yang sudah jelas menyukainya. Ini sangat menyebalkan, sungguh.

Lihat saja nanti, dia yakin Rion akan menyerah secara perlahan. Lalu dia akan terbebas dari pemuda tersebut.

Omong-omong, siapa satu orang lagi sebelumnya?

--

Halaman belakang gedung utama yang terhubung langsung ke hutan sudah di penuhi oleh suara beberapa serangga dan hewan yang bekerja di malam hari.

Kunang-kunang menghiasi satu pohon apel yang berdiri cukup kokoh di dekat halaman. Kesunyian dan gelap menjadi nuansa yang amat ia sukai.

Waktu sendiri seperti ini sangat sulit untuk di dapatkan. Perlu di ingatkan dia berada di sekolah sihir terbesar dan jelas murid di sini sangat banyak.

Terkadang malam hari pun bisa menjadi sangat ramai di sekolah ini. Alvia beruntung dapat menemukan tempat seperti ini di halaman belakang gedung utama.

Di sini sunyi, tidak terlalu sunyi juga sebab tersisipkan oleh beberapa suara hewan kecil.

Tubuhnya ia sandarkan pada pohon apel yang tumbuh kokoh di belakangnya. Tangannya ia lipat ke belakang, menggunakannya untuk bantalan.

Ia menatap langit yang terlihat sama saja dengan di dunianya. Penuh dengan bintang dan sinar bulan penuh. Kalau seperti ini ia jadi teringat pada adik-adiknya.

Alvia sering pergi ke atap panti asuhan untuk menangkap beberapa gambar atau merekam langit malam atas perintah adik-adiknya.

Suasana yang semakin nyaman, membuat matanya perlahan tertutup. Angin berhembus pelan, menerpa wajahnya. Rasa kantuk tiba-tiba datang.

Ah tidak, dia tidak boleh tertidur di sini. Meski berat ia mencoba membuka matanya, namun terpaan angin kembali membuatnya menutup mata lagi.

Kali ini Alvia tak mencoba langsung membuka matanya, bak patung dia membeku ketika terpaan nafas hangat menyapa wajahnya.

Ingin membuka mata namun-

"Aku butuh energi, maaf lancang." -tertahan karena suara berat yang memenuhi indra pendengarannya.

Setelah kalimat tadi terucap bibirnya langsung di terpa oleh benda kenyal yang serupa. Dia mau memberontak dan mendorong orang yang berani menyentuh bibirnya, tapi semua seperti sulit untuk di lakukan sekarang.

Lumatan kecil di berikan, meski begitu Alvia tak membalasnya sama sekali, ia masih bungkam dan enggan membuka mulutnya bahkan ketika bibirnya di gigit secara lembut.

Tak butuh waktu lama, ciuman sepihak itu pun terlepas. "Terima kasih." Suara berat itu kembali terdengar.

Alvia segera membuka matanya. Sejak tadi ia menahan gejolak penuh emosi, namun ketika membuka mata, tak ada siapa pun di hadapannya. Warna sihir saja tak terlihat pada penglihatannya, semuanya masih sama seperti awal dia ke sini, sepi tanpa satu orang pun kecuali dirinya.

Dengan ragu ia menyentuh bibirnya. "A-apa aku halusinasi?" Gagapnya tiba-tiba.

Oh astaga. Ini pertama kalinya ada yang mencium dirinya, mau ini sebuah halusinasi atau nyata sekalipun.

Sialan, first kissnya.

--

a/n : sengaja dikit, karena aku kan double up tuhh🤘

Sorry for typo's

See you!

ALVIA SANDARA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang