Hari ini semua rombongan tim Kanada sudah bersiap di lobi hotel untuk check out dan kembali ke Kanada. Nat membagikan tiket pesawat kepada rombongannya. Sampai di depan Rick, Nat menyodorkan tiket untuknya. Rick memandang dengan skeptis pada Nat.
"Well, aku masih mencintai pekerjaanku. Aku tidak mau membuatmu jengkel lagi!" kata Nat menyadari tatapan itu.
"Rick, kau duduk bersamaku!" kata Miranda sambil memperlihatkan tiketnya pada Rick.
Nat melengos dari Rick sambil mengedipkan kelopak mata kanannya. Rick tertawa sekilas. Bus rombongan mereka datang dan mereka pun pergi dari sana menuju bandara.
Di pesawat, Rick merasa bahagia bercampur gugup ada Miranda di sampingnya. Bagaimana tidak? Adegan semalam yang dia bayangkan terlintas kembali di benaknya.
Perjalanan dua jam tiga puluh menit pun berlalu. Mereka sampai di bandara Toronto. Setelah keluar dari pengambilan bagasi, tim Kanada disambut para penggemar yang sudah berjejer di pintu keluar. Mereka menyambut timnya dengan bangga dan teriakan ucapan terima kasih pun terdengar.
Para pemain, pelatih dan crew merasa tersanjung dengan sambutan istimewa para penggemar. Para wartawan pun menyambut mereka dengan kilatan flash kamera. Salah satu wartawan menarik Rick untuk wawancara sekilas. Miranda melihatnya dari kejauhan.
Dia bahagia melihat Rick bahagia seperti itu. Selain sambutan meriah itu, rombongan timnas Kanada diundang makan malam di Istana Presiden. Merupakan suatu kebanggaan yang bertubi-tubi. Karir para pemain dan Rick pun semakin melejit.
Drrtt Drrrtt
Ponsel Rick bergetar saat dia mengemudi menuju perjalanan ke rumah. Rick menghubungkan ponsel dan speaker mobilnya.
"Ya?" jawab Rick.
"Halo Tuan Rick, saya Dean dari perusahaan kontraktor yang menangani proyek sekolah olahraga anda," jawab seseorang di seberang sana. Miranda ikut mendengarkan dan menyimak.
"Oh ya, bagaimana perkembangannya?" tanya Rick.
"Pembangunan sudah mulai berjalan. Anda sudah bisa memantau perkembangannya setiap seminggu atau dua minggu sekali," jawabnya.
Rick dan Miranda tersenyum. "Good job. Baiklah senang bekerja sama dengan anda Tuan Dean!" akhirnya.
Segalanya terasa mulus hari ini. Pertandingan final sukses, pembangungan sekolah sudah dimulai, tinggal impian terakhirnya yaitu meraih cintanya.
"Rick, malam ini aku tidak ingin ikut makan malam," kata Miranda.
"Kenapa?" tanya Rick.
"Malam ini aku ingin di rumah menyelesaikan bukumu agar besok kau bisa memeriksanya sebelum aku menyerahkannya pada atasanku," jelas Miranda.
Rick hanya diam mendengarnya. Mereka sampai di rumah. Kembali berpisah di ruang TV dan masuk ke kamarnya masing-masing. Pukul empat sore Rick sudah siap dengan stelan jas berwarna biru. Penampilan resminya kini semakin membuat Rick semakin mempesona. Jas itu membalut tubuh Rick dengan sempurna.
Miranda keluar kamar dan menatap Rick dengan jantung yang berdegup kencang.
"Tunggu," Miranda menghentikan Rick yang hendak menuju garasi.
Rick berhenti dan berbalik menatap Miranda. Miranda menghampiri kemudian dia merapikan dasi yang terlihat bengkok.
"Now you ready to go," kata Miranda setelah merapikan dasi Rick.
"Oke," Rick pun kembali berjalan menuju garasi dan menjalankan mobilnya menjauh dari rumah.
Malam ini sesuai dengan rencananya, Miranda akan menyelesaikan projectnya. Dia menulis dengan penuh semangat.
"Selesai," ucap Miranda kemudian menatap layar laptopnya dengan tatapan nanar.
Dia menutup laptopnya, lalu berjalan menuju tempat tidur. Di tatapnya langit-langit kamar itu.
"Aku akan merindukan kamar ini, rumah ini. Hmm... tapi inilah yang harus terjadi. Aku tidak boleh terlalu nyaman di sini. Ini bukan rumahku.. dan Rick bukan... milikku," air mata mengalir tiba-tiba.
Dia tidak memiliki keberanian besar untuk menyatakan perasaannya pada Rick. Begitu pun dengan Rick. Tak ada tanda-tanda darinya bahwa dia menginginkan Miranda. Hati ini rasanya sedih sekali. Miranda tertidur dengan air mata yang mengering di pipinya.
***Keesokan harinya, Miranda memulai hari seperti biasa. Bangun sebelum Rick bangun, membereskan rumah dan membuatkan kopi. Schedule yang awalnya dibuat Nat untuk Miranda ini sudah mulai melekat padanya dan berubah menjadi kebiasaan.
"Selamat pagi!" sapa Miranda dari area dapur saat Rick keluar dari kamarnya.
"Pagi," jawab Rick lalu duduk dan meminum kopinya.
"Hari ini kau tidak akan kemana-mana?" tanya Miranda.
"Nat mengosongkan semua jadwal. Kita beristirahat selama satu bulan," jawab Rick. "Mungkin hari ini aku akan mengontrol pembangunan sekolah. Kau mau ikut?" tambahnya.
Baru kali ini Miranda mendapat ajakan dari Rick seperti itu. Membuatnya semakin sedih meninggalkan Rick.
"Hari ini aku sudah ada janji dengan Tuan Laurence," kata Miranda.
"Baiklah," kata Rick. Lalu beranjak menuju halaman belakang. "Ayo kita meditasi!" ajaknya.
Lagi, dia menggunakan kata ajakan pada Miranda. Membuat Miranda tersanjung dan diperlakukan selayaknya seorang partner. Miranda mengikuti Rick bermeditasi dan yoga. Dia akan mengingat hari ini sebagai hari yang paling indah selama tinggal di rumah ini.
Setelah selesai olahraga dan sarapan, Miranda menyodorkan laptopnya pada Rick untuk memeriksa buku biografinya. Rick menyukai tulisan Miranda. Setelah setuju dengan biografinya, Miranda menutup laptopnya.
"Kau sudah menulis novelmu?" tanya Rick.
Miranda menatap Rick dan tersenyum. "Well, aku baru mendapatkan inspirasinya. Akan kutulis nanti setelah buku ini naik cetak, agar aku bisa fokus."
"Good. Apa yang menginspirasimu?" tanya Rick lagi.
Miranda menatap Rick. "Kau yang menginspirasiku," jawabnya dalam hati. "Aku belum yakin, sampai aku tahu bagaimana akhirnya nanti," itulah yang keluar dari mulutnya.
***Miranda duduk di ruangan Tuan Laurence. Tuan Laurence pun duduk di mejanya sambil memeriksa buku biografi Rick yang telah selesai. Ini momen yang tepat untuk menerbitkan buku itu karena Rick sedang bersinar berkat kemenangannya di Amerika.
Taun Laurence menelepon. "Siapkan bagian penerbitan. Kita akan memasukkan buku ini ke draft cetak," katanya.
Miranda bahagia mendengarnya. Akhirnya setelah sekian lama dia memimpikan namanya tertulis sebagai penulis, kini impian itu akan terlaksana. Rick Foley's Biography by Miranda Khiel.
Tuan Laurence mengulurkan tangannya pada Miranda. "Good Job! Sekarang kau bisa kembali ke mejamu dan menjadi jurnalis kembali. Selain gaji sebagai jurnalis, kau pun akan mendapatkan royalti dari hasil penjualan buku ini," katanya.
Miranda membalas jabatan tangan Tuan Laurence. Dia bahagia mendengar soal gaji dan royalti, tapi dia merasa berat kembali lagi menjadi jurnalis.
Dia menikmati menjadi seorang penulis lepas. Tanpa tekanan atasan dan bisa menuliskan apa yang ada di benaknya. Tapi dia belum bisa resign saat ini, belum saatnya.
"Well, Nat tidak salah memilihmu menjadi penulis biografi Rick," kata Tuan Laurence.Miranda terkejut mendengarnya. "Nat? Memilihku?"
"Ya, saat itu dia yang datang ke sini dan memintaku untuk memerintahkanmu menuliskan biografi Rick."
"Kenapa aku?"
Tuan Laurence mengusap dagunya. "Yah.. aku tidak tahu. Mungkin karena dia tahu kalau kau pernah menuliskan berita tentang Rick?"
Kini mulai masuk akal kenapa dia tiba-tiba menjadi penulis biografi.
Kenapa Nat? Kenapa kau memilihku? Kenapa kau membuatku mengenal Rick dan mencintainya?
♤♤♤
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Old Man
NouvellesMiranda adalah seorang jurnalis wanita berusia 29 tahun di sebuah majalah sport di Toronto, Kanada. Impian sebagai seorang penulis buku dia hentikan setelah bertemu Jeff, kekasihnya. Selama dua tahun mereka tinggal bersama, Jeff dengan teganya berse...