Akhir Januari 2026.
"Lu ngga pulang lagi, Za?" Tanya Ardner dengan raut prihatin. Pemuda yang ditanya oleh Ardner tadi hanya menggelengkan kepalanya.
"Za, ini gue nanya serius. Ga lucu lu mendekam di studio kayak gini berminggu-minggu."
"Gue kan balik."
"Iya ke hotel. Cuma numpang tidur bentar terus lu ke studio lagi."
"Gue ngga bisa balik ke apartemen, Ner."
Ardner hanya menepuk pundak Harza perlahan. "Gue paham lu patah hati. Tapi lu ga bisa gini juga dong."
Harza membalikkan tubuhnya dan menatap sahabatnya itu lekat. "Terus lu berharap gue kayak gimana? Gue kerja, gue produktif, gue cuma ga bisa ke apartemen aja."
Ardner ikut menghela nafasnya. "Yaudah terserah lu, kalo butuh gue, kabarin aja ya. Gue pulang dulu." Ardner lalu berjalan ke arah pintu sambil membawa beberapa dokumen.
Baru saja Harza akan bergerak ke arah coffee maker, ponselnya berbunyi. Mata Harza membulat ketika membaca kontak yang muncul disitu. Tarra.
Dengan jantung yang tidak beraturan, ia mengangkat telfon itu.
"Halo, Ta. Tumben telfon, kenapa?" Jawab Harza sambil berusaha mengatasi rasa kaget sekaligus bahagia.
"Hm.. Besok ada waktu ga? Boleh ketemu?" Kalimat yang sama sekali tidak Harza harapkan.
"Iya, bisa. Mau jam berapa?"
"Gue besok ngantor sampe malem di proyek, nanti ke apart gue aja ya."
Harza hanya menghela nafasnya. "Iya, oke. Kabarin aja ya."
"Oke, Za."
Gue harus ngadepin apalagi?
***
"Apa kabar kamu?" Tanya Tarra sambil membuatkan kopi Harza seperti biasa.
"Baik."
Tarra tahu jawaban itu tidak benar adanya. Harza terlihat kusut tapi sepertinya ia mencoba untuk baik-baik saja.
"Za, gue mau ngomong sesuatu."
"Iya aku dengerin." Ucap Harza sambil memandang Tarra lekat dan mengembangkan senyum di wajahnya. Senyum yang dipaksakan.
"Dua minggu lagi aku berangkat ke Jepang. Aku bakal kerja disana, ada proyek pembangunan yang bagus banget."
Harza hanya menelan ludahnya kasar. "Berapa lama."
"Dua...tahun." Jawab Tarra perlahan.
Harza lalu menarik tubuh Tarra ke dekapannya sambil menghela nafas. Ia mengelus kepala dan punggung gadisnya itu seperti biasa walau hatinya porak-poranda. "Congrats, Ta. Semoga semuanya lancar ya. Seperti biasa, kamu pasti bisa raih impian kamu."
"Tapi cuma satu yang ga bisa aku raih. Impian aku bareng kamu, Za." Tarra mengeratkan pelukannya. Pelukan yang selama ini ternyata sangat ia rindukan.
"Maaf ya, Ta. Aku emang ga pantes ditungguin kok. Jangan pikirin aku lagi. Find your dream, pursue your own happiness." Ucap Harza dengan tersekat. Tenggorokannya seketika kering.
Tarra hanya ikut terdiam dan tidak ingin melepaskan pelukannya. "Nanti anter ke bandara ya. Bisa?"
Harza hanya mengangguk. "Ta, this is the end of our journey. Isn't it?"
Tarra melepas pelukan Harza dan menatap pemudanya itu sekali lagi. "Za, have you ever noticed that sometimes when you stop making efforts, a relationship ends? It's because it was never two-sided, it was just you or only me, alone."
KAMU SEDANG MEMBACA
Run Harza Run [completed]
Fiksi PenggemarHarza totally not my type. I need a mature, cool, calm and collected man. -Tarra- I'm more than the Anantara's title along with my name. -Harza- Sama-sama berusaha bangkit dari jebakan masa lalu, siapakah yang cintanya akan jatuh paling dalam? Publi...