Jisoo mengetukkan jarinya ke sandaran tangan sofa, berusaha untuk tidak membiarkan air matanya mulai mengalir kembli. Hal terakhir yang Jisoo butuhkan adalah berkubang dalam depresi yang brutal lagi. Jisoo melihat jam yang tergantung di atas mantel dan melihat jam. Saat ini hampir tengah malam, dan Jisoo tidak tahu di mana Seokjin berada. Pukulan telak karena kehilangan Suno mulai berkurang dan sekarang digantikan dengan kekhawatiran akan keberadaan Seokjin.Baru saja Jisoo hendak menghubungi Son Ye Jin untuk memeriksa apakah Seokjin telah datang ke rumahnya, Jisoo mendengar suara pintu depan terbuka dan menutup. Jisoo tetap di sofa, sedikit amarah muncul bersamaan dengan kekhawatirannya yang mereda.
Seokjin muncul beberapa detik kemudian dan mengambil sisi kosong di sebelah Jisoo, menjatuhkan diri ke kursi dengan seperti seseorang yang putus asa.Mereka berdua duduk diam selama beberapa saat, tidak ada yang berani memecahkan keheningannya. Benar-benar tidak ada yang bisa dibahas. Dari mana mereka akan memulai? Sebuah sapaan sederhana akan membuat mereka bingung dan helaan napas justru mungkin akan memulai percakapan yang tidak perlu.
"Apakah kau ingat saat kita dulu saling membenci?" Seokjin tiba-tiba bertanya.
Jisoo perlahan menoleh memandang Seokjin, berharap pria itu tidak menjadi gila karena kesedihan kehilangan putranya hari ini. "Ya, aku ingat."
"Sekarang tampak sangat sepele, bukan?"
"Banyak hal yang tampak sepele sekarang," jawab Jisoo.
"Dulu aku benci bagaimana kau begitu yakin pada dirimu sendiri, seolah-olah kau tahu segalanya yang perlu diketahui tentang segala hal. Itu membuatku gila," kata Seokjin. "Aku tidak seperti itu lagi?"
"Tidak, kau masih seperti itu. Aku hanya mulai terbiasa untuk menoleransinya."
"Well, dulu aku benci caramu berbicara yang suka merendahkan orang lain. Kau bahkan tidak pernah menghilangkan kebiasaan itu; Kau masih melakukannya. Kau cenderung menggunakan nada merendahkan dengan orang yang tidak kau kenal dan bahkan terkadang dengan orang yang kau kenal. Aku bahkan paling benci ketika kau berbicara menggunakan nada begitu padaku. "
"Tapi, mulai terbiasa dengan itu?" Seokjin bertanya.
"Ya. Aku telah belajar untuk menolerir kebiasaanmu."
"Aku benci betapa angkuhnya dirimu."
"Aku benci betapa apatisnya dirimu," jawab Jisoo.
"Aku benci bagaimana kau dulu berpikir bahwa kau lebih baik dariku ketika kau mengabaikan ejekanku," kata Seokjin.
"Aku benci bagaimana kau dulu berpikir kau lebih baik dariku, titik."
"Aku benci diriku sendiri karena ingin menjadi sepertimu," kata Seokjin.
Jisoo berhenti sejenak, meresepai kalimat Seokjin barusan. Jisoo tidak mengatakan apa-apa, sehingga Seokjin memutuskan untuk melanjutkan.
"Aku benci kau karena punya teman sungguhan dan berprestasi di sekolah yang lebih baik dariku," kata Seokjin pelan.
"Aku membencimu karena diterima secara sosial dan begitu percaya diri," kata Jisoo.
"Aku tidak membencimu lagi," kata Seokjin sambil berbisik.
"Aku tahu," kata Jisoo. Matanya telah dipenuhi air mata karena suatu alasan yang berada di luar dirinya. "Aku juga tidak membencimu."
"Aku masih tidak menyukaimu," Seokjin meyakinkannya. "Aku mencintaimu, tapi aku tidak menyukaimu."
"Aku juga tidak menyukaimu," jawab Jisoo saat tetesan air matanya kini jatuh di pipinya.
"Tapi apakah kau mencintaiku?" Seokjin bertanya dengan suara serak, tangan Seokjin meraba tangan Jisoo di kegelapan. "Kau tidak harus menyukaiku, Jisoo, tapi apakah kau mencintaiku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amazing Fake Wedding (JinSoo) (Complete)
RomanceKim Seokjin mencintai putranya lebih dari apapun di dunia ini. Jadi, ketika mantan istrinya berencana untuk membawa putranya pergi, Kim Seokjin meminta bantuan orang yang paling tidak mungkin, musuh yang sangat ia benci di Sekolah dulu. Kim Jisoo ha...