DI RUMAH RANI

2.8K 146 3
                                    

Rani adalah wanita berusia 26 tahun. Rumahnya bersampingan dengan rumah Risma. Jadi Rani ini adalah tetangga Risma. Bukan hanya sebagai bertetangga, dua wanita itu sangat dekat. Keduanya seperti saudara. Rani memperlakukan Risma seperti adik sendiri.

Melihat Risma yang datang dan langsung menangis, Rani mendekati Risma. Wanita itu mengusap punggung Risma lembut.

"Kamu kenapa, Ris? Aku tadi mendengar suara mobil suamimu. Dia sudah pulang bukan? Tapi kenapa kamu menangis?"

Mendapati tanya itu, tangis Risma semakin menjadi. Dia tidak menyangka kalau ini bakal terjadi dalam pernikahannya. Dia juga tidak menyangka kalau Kendra dengan tega menduakannya. Tidakkah pria itu bisa mengerti kalau hatinya sakit?

"Ris, ayo cerita pada mbak. Kamu kenapa datang-datang menangis? Terus suami kamu yang baru datang kamu tinggal sendirian begitu saja?" Rani menambahkan.

Risma menghela nafas panjang untuk memberi sedikit kekuatan di hatinya. Dia pun beranjak duduk di samping Rani.

"Mas Kendra tidak sendirian mbak. Di rumah dia bersama dengan seseorang," jawab Risma dengan terbata.

"Maksudmu suamimu datang bersama seseorang dari luar kota?"

Risma mengangguk lemah.

"Lalu kenapa kamu harus menangis? Memangnya orang yang datang dengan suamimu siapa? Ibu mertuamu yang cerewet itu?"

Risma menggeleng. "Bukan ibu mertuaku, mbak. Tapi..." Risma kembali terisak. Pedih sekali hatinya untuk mengatakannya.

"Tapi siapa, Ris?" tanya Rani setengah memaksa karena sudah mencurigai sesuatu. "Katakan sekarang juga pada mbak!"

Perlahan, Risma menoleh pada Rani. Wajah wanita itu basah oleh air mata. "Mas Kendra... dia... dia pulang dengan seorang wanita yang sedang hamil. Wanita itu... wanita itu istri kedua Mas Kendra mbak."

Rani langsung tersentak kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Risma. Ini seperti sebuah mimpi buruk yang tidak terduga.

"Kamu serius, Ris? Kamu serius mengatakan kalau suami kamu pulang membawa istri kedua?"

Risma mengangguk. "Iya, mbak. Itulah yang menyebabkan aku menangis. Ternyata selama ini di luar kota Mas Kendra sudah menikah lagi dengan diam-diam. Bahkan sudah enam bulan Mas Kendra menikah. Istri barunya sudah hamil lima bulan."

Rahang Rani mengencang mendengar itu. Bukan dia yang mengalami ini, tapi rasa sakit yang Risma rasakan sampai juga pada dirinya. Dia tidak habis pikir kenapa suami tetangganya ini bisa melakukan hal menyakitkan seperti ini kepada istrinya yang dia tahu sangat berbakti dan selalu melakukan tugas rumah dengan baik.

"Sekarang apa yang harus aku lakukan, mbak? Sungguh aku tidak bisa menerima ini. Aku tidak mau dimadu," tambah Risma dengan wajah putus asa dan tersakiti."

Rani memeluk Risma. Meskipun mereka berdua hanya tetangga sebelah, Rani menyayangi Risma seperti adiknya sendiri.

"Lebih baik sekarang kamu tenangkan diri dulu baru berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Jika kamu belum ingin pulang karena ada wanita itu, kamu bisa istirahat di kamar Sofi. Tumpahkan semua tangisanmu di sana agar kamu merasa lega. Saat ini mbak juga belum bisa memberi saran apa-apa. Jujur mbak shock mendengar ini."

Risma mengangguk. "Baik mbak. Aku mengerti. Tapi... jika aku akhirnya memilih untuk mengakhiri rumah tangga ini, apakah aku salah?"

Rani menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu bebas menentukan hidup kamu. Hanya saja, jangan mengambil keputusan saat sedang emosi. Itu sebabnya, mbak meminta kamu untuk menenangkan diri dulu di kamar Sofi. Jika sudah tenang, kita bicara lagi."

Risma mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya wanita itu beranjak meninggalkan sofa menuju kamar Sofi, anak Rani yang duduk bangku kelas 5 Sekolah Dasar.

Sementara itu beberapa saat lalu di rumah sebelah, Kendra tampak tercengang begitu mendapati reaksi Risma. Pria itu tidak menyangka kalau Risma akan marah hingga berlari entah kemana. Padahal selama ini, istrinya itu tidak pernah protes atas semua yang dia lakukan.

"Kata mas, istri mas tidak akan marah aku dibawa kesini dan dikenalkan sebagai istri muda mas. Tapi lihat tadi, dia marah dan lari."

Kendra menoleh pada Eva. Dia memaksakan diri untuk tersenyum. Disentuhnya bahu Eva lembut. "Kamu tidak perlu khawatir. Berapa kali mas bilang bahwa di awal-awal semua wanita pasti akan marah begitu tau suaminya menikah lagi. Tapi nanti setelah dijelaskan, marahnya pasti reda. Risma pasti akan berpikir bahwa dia tidak akan bisa hidup tanpa aku. Selama ini dia mengandalkan uang pemberian dariku. Bisa dibayangkan susahnya dia jika berpisah dengan suaminya yang kaya ini bukan? Jadi, kamu tidak perlu khawatir soal ini. Dia pasti akan menerima dirimu."

Eva tersenyum penuh arti. Dia sebenarnya tidak perduli apakah Risma mau menerima dirinya sebagai madunya atau tidak, karena yang terpenting buatnya adalah sudah menjadi istri Kendra dan sudah hamil. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang dia dapatkan. Anak dalam kandungannya adalah alat untuk mencapai keinginannya.

"Baiklah, aku yakin mas bisa mengendalikan Risma." Eva mengelus perutnya yang buncit. "Mas, aku lapar..." ucapnya manja dengan wajah memelas.

Kendra mencubit pipi Eva gemas. "Kamu ini lapar saja lucu. Ya, sudah. Ayo kita ke dalam. Risma pasti sudah masak untuk kita."

"Memangnya mas tidak mau cari Risma dulu? Tadi dia lari kemana?"

Kendra mengibaskan tangannya. "Sudah, jangan dipikirkan. Palingan juga dia ke rumah tetangga. Sebentar lagi pasti pulang."

"Mas yakin?"

Kendra mengangguk. "Tentu saja, sayang." Kendra memegang tangan Eva dan menariknya pelan. "Sudahlah jangan pikirkan dia lagi. Ayo kita makan. Tunggu apa lagi? Masakan Risma itu enak sekali."

"Baiklah, mas." Dengan berpegangan tangan pada Kendra, Eva mengikuti langkah Kendra. Keduanya lalu menuju meja makan yang di atas mejanya sudah terhidang aneka makanan hasil masakan Risma.

***

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam..." Rani langsung meninggalkan dapur begitu menyahut salam itu. Wanita itu menjabat tangan Heru sang suami. "Lelah mas?"

Heru mengambil duduk di sofa ruang tamu dan menyandarkan punggungnya. "Ya, begitulah. Yang pasti namanya kerja pasti capek. Kamu juga capek bukan mengurus rumah?"

Rani ikut duduk di samping Heru dan memijat kaki suaminya tersebut. "Capek iya. Senang juga iya. Aku beruntung punya suami seperti mas."

Heru menyipitkan matanya bingung. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Pasti ada maunya 'kan?"

Rani menggeleng pelan. "Tidak mas, aku mengucapkannya tulus tanpa embel-embel mau sesuatu. Aku memang bersyukur punya suami seperti mas yang setia dan baik. Nasibku jauh lebih beruntung dibandingkan Risma."

Heru terhenyak mendengar ucapa Rani barusan. Dia sampai menegakkan punggungnya. "Memangnya kenapa dengan Risma? Selama ini dia baik-baik saja dan hidup bahagia."

"Itu sebelum ini mas. Tapi sekarang tidak lagi. Kendra temanmu itu, pulang dengan membawa istri lain. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya hati Risma dan sekarang sedang dia menenangkan diri di kamar Sofi."

Mata Heru melebar penuturan istrinya barusan. "Apa? Kendra membawa istri lain? Maksudmu dia sudah menikah lagi?"

"Iya. Selama ini alasannya ke luar kota itu ya...itu, karena menemui istri satunya lagi. Dan sekarang istri mudanya itu dibawa ke rumah. Sudah hamil lima bulan katanya."

"Serius kamu?" Heru merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Ya serius. Kalau tidak percaya, mas datang saja ke rumahnya. Sekalian nasehati dia agar bisa menghargai perasaan istri. Risma itu selama ini sudah menjadi istri yang baik buat dia. Kok bisa Setega itu menduakan Risma."

Heru terdiam. Dia syok dengan apa yang dia dengar. Mau tidak percaya tapi kenyataannya memang beginilah adanya.

BERSAMBUNG.

Luka Pernikahan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang