CARA LAIN MEMBUJUK RISMA

3.1K 161 9
                                    

“Terserah kamu saja." Akhirnya Kendra mengatakan itu. "Aku tidak mengerti soal mencari pembantu. Ibu dan Risma tidak pernah pakai pembantu. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri.”

Kendra melangkah ke lantai dua. Eva mengikuti dari belakang. “Iya, aku nanti cari sendiri. Sekarang tolong pesankan makanan dong mas. Sebentar lagi ‘kan waktunya makan malam.”

Kendra menipiskan bibir. “Kamu pesan sendiri ‘kan bisa.”

“Kalau begitu aku pegangi kartu dong!” Eva mengulurkan telapak tangannya pada Kendra. Kendra langsung menghentikan langkahnya dan melihat telapak tangan Eva lekat. Ternyata Eva lebih berani daripada Risma. Selama menikah Risma tidak pernah meminta kartu. Istri pertamanya itu selalu menerima berapa pun yang diberikan oleh Kendra.

“Kenapa harus memegang kartu? Risma tidak pernah melakukannya.”

“Risma dan aku jelas saja berbeda, mas. Dia itu mandul tidak bisa memberikan anak. Sedangkan aku sekarang sedang mengandung anakmu. Jadi aku lebih berharga daripada dia. Kamu tidak bisa memperlakukanku sama dengan kamu memperlakukan Risma.”

Mendengar itu, Kendra seperti kehilangan jawaban untuk menyanggah. “Baiklah, nanti kamu peganglah kartu kreditku. Sekarang aku mau mandi dulu.”

“Oke, terima kasih, mas.” Eva mengecup pipi Kendra.

***

Risma menyandarkan punggungnya di sandaran kursi untuk meredakan lelah setelah dari pagi sampai sore berkeliling mencari pekerjaan. Dia lalu termenung memikirkan kemana lagi besok kakinya akan melangkah untuk mencari pekerjaan itu.  

Belum hilang rasa lelahnya, ponsel Risma yang ada di dalam tas bergetar. Dengan malas Risma mengambil ponsel itu. Dia langsung bersemangat begit tahu kalau yang menelpon adalah Rani.

“Halo assalamu’alaikum, Mbak,” sapa Risma langsung setelah dia menerima panggilan telepon tersebut.

“Wa’alaikum salam. Bagaimana kabarmu, Ris? Mbak sangat mengkhawatirkan kamu,” balas Rani di telepon.

“Alhamdulillah baik. Mbak jangan mengkhawatirkan hal yang tidak-tidak tentangku. Aku ini tangguh kok mbak.”

“Senang sekali mbak mendengarnya. Tapi kamu punya uang pegangan untuk makan tidak?”

“Ada kok, mbak. Selama ini sisa uang belanja pemberian Mas Kendra ‘kan selalu aku tabung. Jadi untuk saat ini aku ada uang. Dan saat ini aku sedang berusaha untuk mencari pekerjaan. Jadi ketika uang habis, aku sudah mempunyai pendapatan.”

“Syukurlah. Kamu memang hebat. Pengaturan uangmu patut diacungi jempol. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah memutuskan sesuatu?”

“Iya, mbak. Sudah. Aku memutuskan untuk pisah dari Mas Kendra. Aku tidak sanggup dimadu, mbak.”

“Lalu tanggapan suamimu bagaimana?”

“Mas Kendra sih tidak mau berpisah dari aku. Tapi ‘kan nasi sudah menjadi bubur. Jika aku meminta Mas Kendra untuk bercerai dengan istrinya, itu dosa. Jadi aku tidak berharap apa pun lagi sama dia. Aku memastikan diriku untuk mundur saja daripada harus bertahan hidup dengan luka. Bagaimana menurut mbak mengenai keputusanku itu?”

“Mbak tidak akan melarang. Mbak akan mendukung apa pun keputusanmu karena hanya kamu yang bisa membahagiakan diri sendiri. Yang penting kamu tetap semangat dan tidak berputus asa. Yakinlah Tuhan merencanakan sesuatu yang indah buat kamu. Kamu masih sangat muda dan kamu cantik.”

Risma tersenyum sendiri. Rani memang selalu menguatkannya yang yatim piatu dan sebatang kara ini.  Dia bersyukur kenal dengan Rani.

“Terima kasih untuk semangat dan dukungannya mbak. Aku tidak akan pernah berputus asa. Aku yakin apa yang terjadi saat ini adalah kehendak dari Yang Maha Kuasa.”

“Ya, pasti seperti itu.”

***

Bruum…. bruum….

Suara mobil membuat Laili yang sedang menyiram bunga menoleh ke belakang. Dia langsung mematikan kran begitu tahu yang datang adalah putra sulungnya, Kendra. Laili mendekati Kendra dengan tatapan bingung.

“Tidak biasanya pagi-pagi kamu datang ke sini,” ucap Laili sembari mengikuti langkah Kendra menuju teras. Dia ikut duduk ketika Kendra duduk.

"Aku butuh bantuan ibu," jawab Kendra dengan wajah lesu.

“Bantuan apa? Jangan bilang usaha kamu bangkrut sehingga butuh modal.”

“Bukan itu, bu. Ibu tahu sendiri kalau usahaku itu tambah maju dan bukan tambah bangkrut bukan?”

Laili angguk-angguk. “Ya ya, ibu mengakui itu. Terus kamu datang untuk minta bantuan apa kalau bukan bantuan modal?”

“Aku minta bantuan ibu untuk membujuk Risma, bu.”

Kening Laili mengerut. “Membujuk Risma? Memangnya kenapa Risma harus dibujuk segala? Besar kepala nanti. Biarkan saja kalau dia ngambek. Nanti juga sadar sendiri tanpa perlu dibujuk.”

“Bukan, bukan karena itu, bu.”

“Terus karena apa?” sahut Laili cepat.

Kendra memilin taplak meja kursi teras. “Karena… karena aku membawa istri keduaku ke rumah, bu.”

Laili tersentak kaget. “Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Kamu menikah lagi tanpa bilang-bilang ke ibu dan ayah?”

Kendra mengangguk tanpa rasa malu. “Iya, bu.”

“Bagaimana ceritanya kamu menikah lagi? Trus alasan kamu menikah lagi itu apa?”

Kendra menarik nafas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita mengenai Eva. Awalnya Laili agak sedikit marah dengan keputusan Kendra menikah lagi. Tapi begitu mendengar tentang kehamilan Eva yang sudah berumur lima bulan, Laili justru setuju dengan pernikahan kedua putranya itu. Laili jadi tidak sabar ingin bertemu dengan menantu barunya tersebut.

Kendra juga bercerita bagaimana Risma sangat marah kepadanya karena telah dimadu, memutuskan untuk berpisah, hingga kembali ke rumah peninggalan orang tuanya. Dan sekarang membutuhkan kedua orangtuanya untuk membujuk istri pertamanya itu.

“Kalau Risma mau pisah sama kamu, ya talak saja. Kenapa juga harus kamu pertahankan? Toh, dia tidak bisa mengandung anakmu ‘kan? Dan kamu sudah punya istri pengganti dia yang bisa hamil. Lagian harga diri kita jatuh kalau sampai memohon-mohon kepadanya.” Laili malah menanggapi seperti itu.

Kendra menggeleng. “Tidak seperti itu bu. Bagiku, Risma yang terbaik. Dia bisa mengurus rumah, bisa mengurusku, dan bisa mengurus perutku. Eva walaupun bisa hamil, dia tidak mau memasak dan beres-beres rumah. Eva malah berencana memakai jasa pembantu. Jadi aku tidak mau melepaskan Risma. Yang aku inginkan adalah memiliki Risma dan Eva. Aku menginginkan keduanya. Risma yang mengurusku dan Eva yang melahirkan anakku.”

Laili menipiskan bibir. “Kalau itu sih sepertinya susah, Ken. Semua wanita tidak ada yang mau diduakan.”

Kendra menggenggam tangan Laili. “Ayolah, bu. Tolong aku. Aku ingin ibu temui dia dan bujuk Risma untuk menggugat cerai. Ibu dan dia ‘kan sama-sama wanita. Jadi mungkin obrolan kalian bisa nyambung.”

“Tapi ibu tidak yakin bisa membujuk dia. Kamu tau sendiri bagaimana selama ini ibu bersikap kepadanya, ibu itu cerewet kepadanya sehingga dia tidak dekat pada ibu.”

“Coba saja dulu, bu. Ako mohon…”

Laili melirik wajah Kendra yang memelas. Dia kesal Kendra menampakan wajah seperti itu. Akan tetapi, dia juga tidak tega. “Baiklah. Ibu akan menemui Risma.”

Wajah Kendra langsung berseri. “Terima kasih ya, bu. Terima kasih. Semoga saja kalau ibu yang bicara, Risma mau kembali.”

BERSAMBUNG.

Note:
Hai semua! Udah follow aku belum? Kalau belum, follow dong biar aku bisa semangat. Oya, jangan lupa follow Ig aku: Mayang_noura. Terima kasih.

Luka Pernikahan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang