AKU BUKAN PEMBANTU

3K 191 13
                                    

Risma mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang ditabraknya karena pria itu jauh lebih tinggi darinya. Sebuah wajah tampan dan berahang kokoh tertangkap oleh matanya. Dari wajah saja, Risma tahu pria itu bukan orang sembarangan.

”Hei, kamu kalau berjalan pakai mata!” Seorang pria di belakang pria yang ditabrak Risma marah. Pria yang marah itu adalah assisten pribadi pria yang ditabrak oleh Risma.

Risma langsung mengerjapkan mata dan membungkuk. “Oh, maaf. Saya tidak melihat. Sekali lagi maaf.”

Terdengar desahan nafas kesal dari orang yang memarahinya tadi sebelum keduanya bergerak meninggalkan lokasi.

Risma menatap punggung dua orang yang baru meninggalkannya itu dengan tatapan menyesal. Harusnya dia lebih berhati-hati sehingga tidak sampai menabrak dua pria tadi. Lihat saja, semua orang yang berpapasan dengan mereka membungkuk hormat. Itu artinya mereka adalah orang penting di perusahaan ini.

“Baru dapat lowongan pekerjaan sudah apes. Semoga saja kecerobohanku tadi tidak mempengaruhi lamaranku,” gumam Risma lirih sebelum akhirnya melangkah meninggalkan lobby.

***

Klak.

Kendra membuka pintu depan. Dia langsung terhenyak melihat pemandangan di depannya. Begitu berantakan. Kendra sampai merasa berada di tempat asing dan bukan dirumahnya yang sudah bertahun-tahun dia tempati. Minuman kaleng, bungkus snack, plastik, handuk, dan lainnya tergeletak tidak pada tempatnya. Ini benar-benar parah, sangat parah. Dan Kendra adalah pria yang benci dengan tempat yang berantakan atau kotor.

“Apa saja yang dia lakukan sepanjang hari ini? Tidak mungkin hanya makan dan tidur saja,” gerutu Kendra sembari melangkah masuk lebih ke dalam. Beberapa kali kakinya menginjak sesuatu yang harusnya tidak berada di atas lantai. Dia menuju meja makan. Perutnya perih bukan main. Nanti lagi urusan rumah yang berantakan.

Tapi rahangnya langsung mengencang begitu tidak mendapati apa pun di atas meja. Tatapannya langsung menjurus ke tangga menuju lantai dua rumahnya dengan tatapan marah.

“Vaaaa! Evaaaaa!” teriaknya kemudian. Tak lama kemudian dari lantai dua datang tergopoh-gopoh wanita yang dia panggil.

“Ada apa sih mas teriak-teriak seperti itu?” tanya Eva dengan dahi mengerut.

“Ada apa tanyamu? Aku ini baru pulang kerja. Aku ini sangat lelah dan sangat lapar. Tapi coba kamu lihat! Rumah seperti kapal pecah dan tidak ada makanan di atas meja. Seharian ini apa yang kamu kerjakan? Mengapa kamu bisa tinggal di rumah yang sangat berantakan seperti ini? Dan… dan perutku ini mau diisi. Aku tidak bisa terus makan di luar. Aku ini dari kecil terbiasa makan makanan di rumah. Apa kamu tidak mau sekadar memasakanku telur dadar?”

“Kenapa mas harus bertanya lagi soal itu? Sudah aku bilang bukan kalau aku ini sedang hamil. Aku tidak boleh kecapekan. Aku juga sudah bilang kalau aku tidak bisa memasak. Aku sudah mencari ke agency penyaluran pembantu, tapi datangnya tidak hari ini mas. Lusa baru datang. Mas sabar dulu ya," jawab Eva tidak terima

“Sabar? Urusan perut mana bisa sabar. Lagian apa salahnya jika sampai pembantu baru itu datang, kamu pegang sapu dan memasak. Setidaknya tidak seperti ini keadaannya. Memangnya kamu tidak risih dengan rumah yang seperti ini?

“Mas, berapa kali sih aku bilang kalau aku sedang hamil? Aku tidak boleh kecapekan. Nanti kalau ada apa-apa dengan bayi kita bagaimana? Mas nyesel lho."

Mata Kendra membulat dan dia menatap Eva tajam. “Aku mengerti maksud kamu, va. Tapi kalau sekedar menyapu, bukankah itu juga olahraga untuk ibu hamil? Kamu bisa berhenti sejenak ketika kamu mulai lelah dan kembali lagi menyapu saat tenaga mulai pulih. Pelan-pelan saja melakukannya, tidak perlu terburu-buru. Lalu untuk masak, kamu hanya mencuci beras. Biar Rice cooker yang memasak. Untuk lauknya telur dadar sajapun jadi. Yang penting saat aku pulang, ada makanan untuk aku. Kemudian ada satu hal yang harus kamu tau jika sudah ada pembantu. Sesekali tetaplah memasak untuk suami. Belajarlah menjadi seperti Risma. Dia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk aku agar aku merasa senang."

Mata Eva membesar. “Lho, kok mas jadi membandingkan aku dengan Risma?”

“Harap kamu tau kalau ini bukan membandingkan melainkan sebagai contoh.”

“Risma itu tidak bisa hamil, mas. Dia tidak bisa mas jadikan contoh.”

Jemari Kendra mengepal. Dia sudah benar-benar dibuat emosi oleh Eva. Tapi setiap kali dihadapkan dengan kehamilan Eva, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kendra pun menaruh tas kerjanya begitu saja ke atas meja, kemudian dia berbalik badan dan melangkah meninggalkan Eva. Bukan ke naik ke lantai dua melainkan ke arah ruang tamu. Eva pun mengejar. Dia meraih lengan Kendra.

“Lho, mas mau kemana? Kok mau pergi lagi?”

“Aku mau ke rumah Risma,” jawab Kendra tanpa menghentikan langkahnya.

“Mas mau apa ke sana?”

“Karena perutku lapar. Aku mau makan dan istirahat. Aku tidak bisa melihat rumah seperti ini.”

"Kenapa sih harus repot-repot mencari makan ke sana. Aku pesan makanan saja ya sekarang?"

"Tidak perlu pesan apapun. Aku rindu sama masakan Risma. Aku sedang ingin makan masakan dia."

“Tapi mas tidak lama ‘kan di sana? Mas segera pulang bukan?”

“Aku akan pulang jika kamu sudah membersihkan rumah dan masak.”

“Please, dong mas. Jangan mempersulit keadaanku.”

“Ah, terserahlah!” Kendra menepis tangan Eva. Setelah itu dia melangkah cepat masuk ke dalam mobil. Dia tidak lagi memperdulikan teriakan Eva memanggil namanya.

***

Risma baru selesai masak ketika dia mendengar ketukan di pintu. Segera dia meninggalkan meja makan untuk membukakan pintu. Dia tersentak kaget begitu tahu yang datang adalah Kendra.

“Mas mau apa ke sini?” tanya Risma dengan tatapan penuh  curiga.

“Aku mau makan. Aku lapar.”

Kendra mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Dia kemudian masuk tanpa permisi dan langsung menuju dapur. Begitu mendapati makanan di atas meja, Kendra langsung makan dengan lahap. Risma memperhatikan itu dengan tatapan bingung sebelum akhirnya duduk di seberang Kendra. Dia tak bicara sampai Kendra selesai makan.

“Mas seperti orang yang kelaparan,” komen Risma setelah Kendra menghabiskan hampir semua masakannya. “Memangnya Eva tidak masak?”

“Tidak. Dia tidak mau masak dan tidak mau melakukan apa-apa. Alasannya adalah karena hamil. Dia mau mencari pembantu.”

“Ooo, begitu.”

“Tapi masalahnya pembantunya datang lusa. Apa aku harus menunggu lusa untuk makan?"

"Bisa beli 'kan, mas?"

"Dari kemarin-kemarin kami membeli. Dari sarapan sampai makan malam. Aku bosan. Belum lagi rumah seperti kapal pecah. Kalau ditanya alasannya hamil jadi tidak boleh kecapekan."

“Alasannya bisa diterima kok. Kenapa mas permasalahkan? Banyak ibu hamil yang merasa lemas tak berdaya. Pembantu adalah solusi yang tepat."

Kendra langsung meraih tangan Risma dan menggenggamnya. “Kalau begitu kamu saja yang kembali ke rumah ya? Kamu saja yang melakukan pekerjaan rumah dan memasak seperti biasanya. Aku tidak jamin bisa menelan masakan orang."

Risma menarik tangannya dari genggaman Kendra. “Maksud mas, aku saja yang menjadi pembantu di rumah kalian?”

“Kok pembantu sih? Kamu ‘kan istriku juga. Toh selama ini kamu bahagia melakukannya.”

“Itu dulu, mas. Dulu waktu aku masih jadi satu-satunya istri mas. Itu tidak berlaku untuk sekarang ini. Aku tidak mau jadi orang bodoh. Eva menjadi ratu dan aku menjadi pembantu.”

“Kok kamu bicara seperti itu, sih? Aslinya itu memang tugas istri.”

Risma menghela nafas panjang. Bicara dengan Kendra sepertinya adalah suatu kesia-siaan saja.

BERSAMBUNG.

Luka Pernikahan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang