MEMILIH MUNDUR

3.6K 206 4
                                    

Airmata Risma sudah kering sejak setengah jam yang lalu meski rasa sakit hatinya belum kunjung hilang. Ternyata begini rasanya diduakan, sakit luar biasa. Risma tidak bisa membayangkan ada wanita yang mampu hidup dipoligami. Mungkin hatinya sekuat baja.

Lalu kenapa dia tidak sekuat itu?

Risma mengalihkan pandangan pada jendela kaca. Dari jendela ini, dia bisa melihat pagar depan rumah ini. Sedari tadi, tidak muncul pria yang dia harap akan mencarinya sejak dia lari keluar rumah tadi. Apakah Kendra tidak perduli dengan luka di hatinya?

Deg.

Dada Risma sesak menyadari itu. Sepertinya Kendra memang tidak perduli dengan perasaannya. Pria itu sudah nyaman dengan istri mudanya yang sedang hamil lima bulan itu. Mungkin ada dan tidak dirinya saat ini, tidak lagi berpengaruh pada pria itu.

Lalu untuk apa dirinya masih ada di rumah itu?

"Apa aku harus pulang ke rumah ibu saja ya? Aku tidak akan sanggup untuk tinggal di rumah itu dengan hati yang hancur. Bahkan membayangkan Kendra tidur dengan wanita itu saja, membuatnya ingin menjerit. Ya, sebaiknya aku memang harus kembali ke rumah ibu."

Risma turun dari tempat tidur Sofi, putri Rani yang setelah pulang sekolah langsung menonton televisi di ruang keluarga. Dia melangkah keluar kamar dan celingukan mencari Rani yang kemudian dia temukan di ruang tamu sedang mengobrol dengan suaminya.

"Mbak Rani," ucapnya begitu kakinya mendarat di lantai perbatasan antara ruang keluarga dan ruang tamu. Sepintas dia melihat kedekatan Rani dengan Heru yang membuatnya iri. Meskipun pasangan itu menikah jauh lebih lama dari usai pernikahannya, mereka selalu terlihat harmonis.

Rani dan Heru menoleh. Mata mereka melebar begitu mendapati Risma. Rani kemudian berdiri dan mendekati Risma.

"Kamu mau kemana?" tanya Rani sembari menyentuh pundah Risma.

"Aku... aku mau pulang mbak."

Dahi Rani mengerut. "Lho, kok pulang? Kamu hanya akan sakit hati jika pulang? Ada istri muda suamimu di sana."

"Tidak apa-apa, mbak. Lagian aku tidak bisa terus di sini. Keberadaanku di sini hanya akan membuat keluarga mbak tidak nyaman."

Rani menggeleng tidak terima. "Tidak, siapa bilang kamu membuat keluarga mbak tidak nyaman. Bagi mbak kamu itu sudah seperti adik sendiri."

"Aku tau itu, mbak. Tapi lebih baik aku pulang saja. Hari sudah sore."

"Tapi suamimu tidak mencarimu, Ris. Itu artinya dia tidak perduli dengan perasaanmu. Mbak tidak ikhlas kamu pulang. Kamu pasti akan semakin sakit hati. Mbak saja yang tidak mengalaminya, merasa sakit hati. Apalagi kamu."

"Aku tau dengan kemungkinan itu, mbak. Aku pasti akan sakit hati begitu pulang ke rumah."

"Lalu?"

"Aku pulang hanya untuk memastikan perasaanku saja. Jika aku tidak kuat, aku akan pulang ke rumah ibu. Aku akan memulai hidup baruku tanpa Mas Kendra."

Ada aura lega yang tersirat di wajah Rani begitu mendengar penjelasan Risma. "Kalau seperti itu, mbak setuju. Ingat, jangan menyakiti diri kamu setelah kamu juga disakiti oleh suamimu. Bila kamu tidak kuat, lepaskan. Turuti kata hati kamu."

Risma mengangguk. "Iya, Mbak. Itu juga yang akan aku lakukan."

"Risma."

Risma mengalihkan pandang dari Rani pada Heru yang memanggilnya. Pria itu berdiri dan mendekatinya.

"Jadi benar Kendra sudah menikah lagi?"

Risma mengangguk. "Iya, mas. Dia sudah menikah lagi. Istri keduanya sekarang ada di rumahku."

Heru menghela nafas berat. "Mas, ikut prihatin mendengar ini. Jika ada waktu bicara berdua nanti, Mas akan menasehati dia."

"Tidak perlu, Mas. Tidak ada gunanya Mas menasehati sementara dia sudah terlanjur menikah. Aku tidak berani meminta Mas Kendra menceraikan istrinya. Aku tidak punya hak. Mungkin... aku saja yang mengalah. Aku yang akan mundur."

Heru mengulum bibir bawahnya. Risma tidaklah salah. Menyuruh suami istri untuk bercerai adalah dosa. Sedangkan Kendra sudah terlanjur menikahi wanita itu.

"Ya sudah. Kalau begitu terserah padamu saja. Kamu yang akan menjalani hidupmu. Aku hanya bisa mendoakan semoga kelak kamu bisa hidup dengan bahagia."

"Terima kasih untuk doanya, Mas. Kalau begitu, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Risma melangkah melangkah meninggalkan kediaman Rani dan Heru. Dia kembali ke rumahnya yang tepat berada di samping kanan rumah Rani. Rumahnya terlihat sepi. Entah sedang apa suaminya dan istri mudanya itu sekarang.

Klak.

Risma membuka pintu rumahnya perlahan, nyaris tanpa suara. Dengan langkah kaki pelan, Risma masuk ke dalam rumah. Dia tidak melihat suami dan istri barunya itu di ruang tamu, ruang tengah, dan ruang makan. Mungkin mereka ada di lantai dua, pikir Risma.

Tapi lihatlah meja makan itu. Berantakan. Suami dan istri mudanya tidak mau membereskan meja makan setelah makan. Mereka benar-benar pemalas. Memangnya siapa yang akan mereka andalkan untuk membereskan meja makan itu?

Sudah bisa dipastikan dia akan menjadi pembantu jika tetap berada di rumah ini. Sebelumnya itu tidak masalah untuknya karena itu sebagai bentuk pengabdian kepada suaminya. Tapi karena sekarang suaminya sudah mendapatkan istri baru, dia tidak sudi lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Toh, dia akan pergi dari rumah ini.

Dengan langkah yang pelan juga, Risma naik ke lantai dua. Begitu langkahnya sampai di depan pintu kamarnya, dia mendengar suara-suara mendesah yang menjijikan dari kamar tamu yang berada di samping kiri kamarnya. Jemari Risma mengepal kuat hingga urat-uratnya bertonjolan. Rasanya dia ingin menendang pintu itu dan memukul dua orang yang ada di dalam sana. Bisa-bisanya melakukan hal seperti itu di sore hari seperti ini. Dengan suara yang cukup kencang pula. Sungguh menjijikan.

Risma masuk ke dalam kamar. Dia mengeluarkan koper dari dalam lemari dan mengisinya dengan beberapa lembar bajunya. Dia merasa tidak perlu membawa banyak pakaian karena di rumah ibunya masih ada pakaian-pakaian sewaktu dia masih gadis.

Bukan hanya koper, Risma juga menyelempangkan tas kecil yang berisi dompet, ponsel, dan kunci rumah ibunya. Dia benar-benar mantap untuk meninggalkan rumah.

Risma melihat kamar itu sekali lagi. Kamar yang sudah dua tahun dia tempati dan memberikan banyak kenangan. Rasa berat untuk meninggalkan itu ada. Tapi lebih berat lagi jika dia terus ada di rumah ini. Hatinya tidak akan kuat.

Risma melangkah keluar kamar. Dia melangkah pelan seperti ketika naik ke lantai dua ini. Tapi suara koper yang diseret, jelas menimbulkan suara. Begitu kakinya menyentuh anak tangga teratas, pintu kamar tamu terbuka. Dari dalamnya Kendra dan Eva keluar dengan setengah telanjang. Kendra hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selembar handuk, sementara Eva menggulung selimut ke tubuhnya. pemandangan yang membuat emosi.

"Kamu mau kemana, Ris?" tanya Kendra sembari melangkah mendekat pada Risma.

Risma menoleh pada Kendra dengan tatapan sinis. "Aku pulang ke rumah ibu. Aku tidak akan kuat tinggal di sini dengan... istri muda Mas."

Kendra menatap Risma lekat. "Pulang ke rumah ibu? Maksudnya apa?"

Risma menghela nafas panjang. "Apa aku mesti menjawabnya Mas? Mas pasti sudah tau jawabannya. Aku memilih untuk mundur."

Kendra terhenyak. "Oh, jadi maksudnya kamu ingin bercerai dariku?"

Risma tidak menjawab.

"Kamu tidak introspeksi diri. Kamu bercerai denganku maka kamu akan rugi. Kamu tidak bisa lagi hidup dengan kemewahan. Lagian pria mana yang mau menikah dengan wanita mandul sepertimu?"

Bersambung...

Luka Pernikahan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang