“Mas Kendra?” ucap Risma dengan ekspresi terkejut yang tertahan.
Kendra tersenyum. “Boleh masuk?”
Risma terdiam beberapa saat. Kendra memang masih mempunyai hak atas dirinya karena meskipun dia ingin berpisah, suaminya itu belum menjatuhkan talak padanya.
“Tapi mas mau apa? Bukannya harusnya mas pergi kerja?” tanya Risma dengan ekspresi wajah tidak suka yang kentara.
Kendra menggeleng. “Ya, ini juga mau pergi kerja. Mampir dulu ke sini karena ingin bicara masalah kita saja.”
“Memangnya masih ada yang perlu dibicarakan? Bukankah semua sudah terjadi? Mas sudah menikahi wanita yang bernama Eva itu lho.”
“Iya, karena itulah kita harus bicara.” Kendra memiringkan wajahnya dan menatap Risma lekat. “Boleh ya?”
Risma menghela nafas panjang. Dadanya saja masih sesak oleh sakit hati, tapi rasanya tidak baik tidak memberi kesempatan kepada suami untuk berbicara. Risma akhirnya mengangguk. “Baiklah, silahkan masuk.”
Risma membuka pintu lebih lebar agar Kendra bisa masuk. Kendra pun tanpa canggung melangkah ke dalam. Dia duduk di kursi sederhana di ruang tamu itu. Keduanya duduk berhadapan. Risma sengaja memberi jarak dan tidak mau berdekatan dengan Kendra.
“Sampaikanlah sekarang apa yang ingin disampaikan oleh mas,” ucap Risma langsung ketika mereka sudah duduk.
“Buru-buru sekali, Ris,” protes Kendra.
“Lho, bukannya mas datang kemari memang untuk menyampaikan sesuatu ya?”
Mendengar itu, Kendra menatap Risma lebih lekat. Risma yang dia kenal sebagai istri yang selalu berkata lembah lembut dan tidak membantah suami, kini bisa berkata ketus kepadanya. Risma seketika menjelma jadi orang yang asing.
“Bagaimana bisa dalam sekejap kamu berubah, Ris? Ini seperti bukan kamu?”
Dahi Risma mengerut. “Berubah? Aku berubah? Bukannya mas ya yang berubah? Tanpa izin dariku mas menikah lagi diam-diam. Menurutku itu berubah mas?”
“Aku melakukannya karena aku pikir kamu akan menerimanya,” sanggah Kendra. “Bukankah selama ini kamu sangat menurut kepadaku?”
“Ya, aku selalu menurut pada mas. Tapi yang berhubungan dengan kewajibanku sebagai istri. Bukan yang lain. Seandainya posisi kita dirubah, mas jadi aku. Kira-kira mas bisa tidak menerima aku duakan?”
“Itu tidak mungkin terjadi. Kita jangan berandai-andai. Laki-laki dan wanita itu berbeda.”
“Bedanya dimana? Karena laki-laki ditakdirkan jadi pemimpin kamu wanita sehingga bebas melakukan apapun? Seorang pemimpin bukankah harus mengerti dengan perasaan yang dipimpinnya?”
“Risma, ini kodrat wanita untuk dipoligami. Kamu jangan memberontak dari kodratmu. Aku janji akan adil pada kalian berdua. Kamu tidak perlu khawatirkan itu.”
Risma menghela nafas perlahan. Jawaban Kendra benar-benar mengundang emosi. “Maaf mas, untuk hal ini sebaiknya kita jangan saling memaksakan kehendak. Biarkan aku dengan keputusanku dan aku tidak akan pernah memaksakan mas untuk melepaskan Eva. Silahkan mas hidup bahagia dengannya dan aku akan membahagiakan diriku dengan caraku sendiri.”
“Jadi kamu tetap ingin berpisah dariku?”
Risma mengangguk. “Ya. Sepertinya itu sudah final. Selagi kita belum punya anak, maka tidak ada yang membebani kita.”
“Apa kamu tidak mau berpikir lagi, Ris? Kamu itu mandul lho. Pria mana yang mau menikahi wanita mandul.”
“Sekalipun aku mas katakan mandul, jodoh dan rezeki itu di tangan Tuhan.” Risma mengatakan itu dengan nada yang agak meninggi. Pernyataan Kendra barusan menambah sakit hati.
“Aku mengatakan ini agar kamu introspeksi diri, Ris. Kamu harus berkaca siapa kamu. Masih untung aku tidak berniat untuk menceraikan kamu setelah kamu tidak bisa memberiku anak. Harusnya kamu bersyukur untuk itu.”
Jemari Risma mengepal. Sepertinya Kendra harus dihentikan agar tidak semakin melukainya. Risma pun berdiri dari duduknya. “Aku bersyukur pernah menjadi istri mas. Aku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi aku rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini. Kalau mas tidak mau menceraikan aku, maka aku yang akan menggugat cerai mas. Itu saja.”
“Ris, kamu akan menyesal melakukan ini.”
Risma menggerakkan tangannya ke arah pintu masuk. “Silahkan mas pergi! Hari sudah siang.”
Kendra menipiskan bibir. Ternyata Risma tidak selemah yang dia kira. Setelah dua kali merayu, istrinya itu masih tetap ingin berpisah. Kendra tidak bisa bersikeras memaksa saat ini karena dikhawatirkan hubungan mereka menjadi kian tidak nyaman. Akan tetapi, dia belum menyerah. Dia akan terus berusaha menyakinkan Risma agar tetap ada di sampingnya.
“Baiklah, aku akan pergi. Tapi sewaktu-waktu aku akan kemari lagi.” Kendra berbalik. Tapi baru selangkah, Risma menyahut.
“Jangan berniat untuk datang kesini lagi karena aku pun tak menghendakinya. Lebih baik mas fokus saja dengan Eva. Biar aku yang mengurus perceraian.”
Kendra menoleh sejenak pada Risma dengan tatapan kecewa. “Kita lihat saja nanti. Kamu tidak bisa melarangku untuk datang karena aku masih suami kamu.” Dia lalu melangkah ke luar rumah.
***
“Maaf neng, kami sedang tidak membutuhkan karyawan baru. Walaupun sekedar office girl, saat ini sedang penuh semua.”
Meskipun kecewa mendengar itu, Risma melengkungkan senyum di bibirnya. “Iya, tidak apa-apa mbak. Terima kasih untuk infonya. Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Ya, silahkan.”
Risma melangkah keluar lobby. Di tangga teras lobby, dia duduk sejenak untuk meneguk air putih yang dibawanya. Seharian ini dia sengaja keluar untuk mencari pekerjaan. Tapi hasilnya nihil. Semua tempat yang dia masuki tidak membutuhkan karyawan baru.
‘Ternyata mencari pekerjaan itu susah, ya,’ gumam Risma dalam hati sembari memandang langit yang sudah tampak menua. ‘Pantas Mas Kendra merasa begitu yakin hidupku akan sulit jika tidak lagi menjadi istrinya. Tapi aku tidak akan menyerah. Pekerjaan apa pun akan aku mau lakukan demi hidup mandiri. Yang penting hatiku tidak sakit lagi. Aku harus semangat.’
Membawa semangat baru, Risma beranjak dari duduknya. Dia melangkah meninggalkan teras lobby untuk pulang ke rumahnya.
***
“Sayang, aku pulang!” seru Kendra sembari membuka pintu rumah, tapi tidak ada jawaban.
“Kemana ya Eva?” ujarnya sembari terus melangkah masuk. Perutnya yang lapar tidak membawa Kendra mencari istrinya keduanya itu dulu melainkan langsung menuju meja makan. Dia membuka tudung saji untuk melihat menu apa yang dimasak oleh Eva. Alangkah kecewanya Kendra karena tidak mendapati makanan apa pun di bawah tudung saji.
“Hai, mas. Sudah pulang?” Tiba-tiba Eva muncul. Istri keduanya terlihat cantik dengan wajah yang fresh dan pakaian yang seksi. Tapi yang dibutuhkan Kendra saat ini bukan tubuh Eva melainkan makanan. Kendra adalah tipe orang yang tidak suka makan di luar. Dari kecil dia terbiasa makan di rumah dan kalau lapar akan mencari makanan masakan ibunya. Setelah menikah dengan Risma, jika lapar dia tentu mencari makanan masakan istri pertamanya itu.
Kendra menoleh pada Eva. “Kamu tidak masak?”
Dengan santainya Eva menggeleng. “Tidak. Kenapa harus masak kalau kita bisa membeli? Makanan yang enak dan murah banyak.”
“Tapi buat aku makanan masakan istri dan makanan yang membeli, lebih enak masakan istri.”
“Aku ‘kan tidak pandai memasak. Mas tau itu ‘kan?” Eva membela diri.
“Ya belajar dong dari pada diam.”
“Aku ini lagi hamil, mas. Aku tidak boleh capek. Bagaimana kalau kita cari pembantu saja? Mas bisa makan di rumah terus dan aku juga tidak harus membereskan rumah.”
Kendra menghela nafas berat. Eva tidak memahami maunya. Kalau begini ceritanya, dia tidak boleh melepaskan Risma. Dia tidak mau kehilangan istri yang selama ini pandai mengurus rumah dan perutnya.
BERSAMBUNG.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Pernikahan (END)
RomanceMenjadi istri yang berbakti adalah kebahagiaan buat Risma. Akan tetap baktinya justru disepelekan oleh sang suami. Kendra, suaminya menikah lagi dengan wanita lain tanpa izinnya. Risma baru tahu suaminya telah berpoligami setelah kandungan Eva istr...