Hati Risma yang sakit semakin terasa sakit begitu mendengar ucapan Kendra. Rasa sakit itu bahkan tidak bisa dia digambarkan dengan sebentuk kalimat. Jelas, Kendra merendahkannya karena dirinya selama ini 'menumpang hidup' pada laki-laki itu. Padahal wanita itu lebih baik di rumah daripada bekerja.
Tapi ternyata begini posisinya di mata suami. Secara tidak langsung Kendra tidak menganggapnya penting dan tidak lebih dari seorang 'istri' tanpa makna. Tidakkah Kendra mengerti bahwa mengurus pekerjaan rumah itu bukanlah sesuatu yang mudah? Bisa jadi sama sulitnya dengan mencari uang atau bahkan lebih.
"Ya, mungkin aku memang rugi jika bercerai dengan Mas. Dan mungkin juga aku akan susah mendapatkan jodoh. Tapi bukan berarti aku tidak berani menerobos kemungkinan itu. Karena aku juga tidak akan bisa bertahan di rumah ini jika ada istri lain mas. Aku tidak sanggup untuk diduakan mas. Karena itu, aku memilih mundur," balas Risma rendah diri.
Risma mengalihkan pandang pada anak-anak tangga yang menurun di bawahnya. Dia melangkahkan kedua kakinya kembali dengan airmata yang mengalir. Bohong jika dia tidak merasa berat meninggalkan rumah ini karena dulu dia masuk dengan perasaan bahagia. Tapi sekali lagi, dia tidak akan sanggup tinggal di rumah ini dengan statusnya sebagai istri tua. Namun, dia juga berdosa jika meminta Kendra menceraikan istri mudanya. Karena itu, mundur adalah solusi terbaik.
“Kamu jangan main-main ya, Ris! Berhenti atau aku tidak akan membiarkanmu menginjakkan kaki di rumah ini lagi!” teriak Kendra dengan suara lantang. Risma merasa ciut dengan ancaman itu. Akan tetapi, kembali dia ingat bahwa dia tidak akan sanggup untuk hidup bersama istri kedua suaminya tersebut. Sebelum dia terluka lebih parah, dia harus melepas luka itu mulai dari saat ini.
Di atas sana, langit telah meredup yang menandakan hari telah senja. Risma menghentikan laju sebuah taksi yang kebetulan lewat begitu dirinya sampai di muka pintu pagar. Risma mengucapkan sebuah alamat pada sang supir sebelum akhirnya dia masuk dan duduk di kursi belakang.
***
Risma berasal dari keluarga yang sederhana. Dia juga lahir di sebuah rumah mungil yang dikelilingi oleh bunga-bunga. Bunga-bunga itu masih tumbuh subur berwarna-warni di halaman saat ini karena setiap satu minggu sekali Risma rajin mengunjungi untuk sekadar membersihkan rumah dan merawat bunga. Jarak rumah orang tuanya ini dan rumah Kendra, memang tidak begitu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu 15 menit.
Klak.
Risma membuka pintu rumahnya dan langsung menguncinya lagi. Kemudian, dia merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang berukuran untuk satu orang. Itu adalah tempat tidur di kamarnya ketika dia belum menikah.
Airmatanya mengalir lagi. Hatinya merasa begitu sakit ketika mengingat perjalanan cintanya dengan Kendra. Mereka berdua memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. Tapi tidak mengurangi keraguannya dalam menerima lamaran Kendra.
Namun, dua tahun kebersamaannya yang indah bersama Kendra, ternyata dibumbui dengan kebohongan. Tanpa izin darinya, Kendra menikahi wanita lain sejak 6 bulan lalu. Jangankan akan bertahan hidup selamanya dengan pria itu, menjalani setengah hari saja setelah tahu dirinya dimadu, dia tidak mampu.
Risma menarik nafas panjang, menyeka basah di wajahnya, lalu bangun dari baringnya. Lebih baik sekarang dia mandi dan kemudian menghadap yang Maha Kuasa. Dia ingin menumpahkan segala kesedihannya pada Sang Pemilik Alam Semesta tersebut.
***
Klak.
Pintu kamar mandi terbuka. Dari baliknya Kendra muncul dengan tubuh dan rambut yang basah. Maklumlah, sebelum Risma pergi dia dan Eva memang sedang menikmati syurga dunia. Kendra melihat sekilas pada istri keduanya yang kini sedang berhadapan dengan cermin. Pantulan di cermin itu memperlihatkan kecantikan Eva.
"Kamu lapar tidak sayang?" tanya Kendra sembari melangkah mendekati lemari pakaian.
Eva menoleh pada Kendra yang ada di sisi kirinya. "Tentu saja lapar. Kita mau makan apa malam ini? Memangnya Mas bisa masak?"
Deg.
Mendengar pertanyaan itu, Kendra mematung dengan tangan berada di pegangan pintu lemari. Jika Risma, tentu tidak akan bertanya seperti itu ketika dia mengatakan kata 'lapar'. Wanita itu di jam segini, sudah menyiapkan makan malam.
"Tentu saja tidak bisa. Aku ini laki-laki. Mana bisa aku masak. Bukankah masak itu pekerjaan istri ya?"
"Ih, siapa bilang. Masak itu pekerjaan pembantu. Bukan istri. Lagian tangan-tanganku yang dirawat ini, akan rusak jika dipakai untuk bekerja di dapur."
Kendra menipiskan bibir. Selama menikah, Eva memang tidak mau memasak. Jika dia mendatangi wanita itu, tiga kali sehari makan dengan membeli. Kesal sih, tapi tidak apa-apa. Karena selain cantik dan memiliki body aduhai, Eva bisa mengandung anaknya.
"Ya, sudah. Nanti Mas pesan makanan saja. Kamu mau makan apa?"
Bola mata Eva bergerak ke atas dengan genitnya. "Hm.... aku mau makan sate kambing deh, Mas. Sepertinya enak."
"Oh, ya sudah. Nanti Mas pesankan sate."
Setelah memakai pakaian, Kendra mengambil ponselnya dan memesan makanan untuk makan malam mereka. Sate kambing untuk Eva dan ayam bakar untuk dirinya. Tak lama, pesanan itu datang dan mereka beranjak ke ruang makan. Tapi Eva tampak tidak menyukai sate pesanannya. Terlihat dari bibirnya yang mengecap-ngecap.
"Kenapa dengan satenya?" Kendra yang memperhatikan sejak tadi bertanya.
"Tidak enak, Mas. Rasanya aneh."
Dahi Kendra mengerut. "Benarkah?"
Eva mengangguk. "Iya."
"Sini Mas coba." Kendra menarik piring Eva yang berisi sate dan mengambil satu tusuk yang kemudian dimakannya.
"Enak kok. Apanya yang aneh? Rasanya seperti sate-sate yang biasa aku makan."
Eva mendengus. "Tapi aku merasakannya beda, Mas. Bumbu di sate itu benar-benar terasa beda." Eva bersikukuh dengan pendapatnya.
Kendra menipiskan bibir. Dia tidak mau mendebat Eva. "Kalau begitu, kamu makan punya aku saja."
Kendra menaruh piringnya ke depan Eva. Sementara dia sendiri mulia memakan sate Eva. Tapi baru saja Kendra mulai makan kembali, Eva menyingkirkan piring di depannya.
"Tidak enak juga, Mas. Aku mau pesan makanan yang lain," ucap Eva dengan nada merajuk.
Kendra menghela nafas panjang. Mengurus wanita yang sedang hamil memang cukup merepotkan. Tapi tidak apa. Dia bisa memakluminya. Yang penting, anak di dalam kandungan Eva baik-baik saja.
"Oke, akan aku pesankan lagi makanan untuk kamu. Kamu mau makan apa?" Kendra mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak di atas meja dengan tangan siap memesan.
Bola mata Eva lagi-lagi bergerak ke atas untuk memikirkan makanan yang kira-kira saat ini sepertinya lezat. "Hm... aku mau ayam geprek saja, Mas."
"Terus apa lagi? Mau sekalian pesan ini?"
"Bagaimana kalau ditambah juice jeruk? Sepertinya segar."
Tak bertanya lagi, Kendra langsung memesan apa yang diinginkan oleh Eva. Tapi entah kenapa, tiba-tiba dia teringat pada Risma. Mungkin karena juice jeruk adalah minuman kesukaan istri pertamanya itu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Pernikahan (END)
RomanceMenjadi istri yang berbakti adalah kebahagiaan buat Risma. Akan tetap baktinya justru disepelekan oleh sang suami. Kendra, suaminya menikah lagi dengan wanita lain tanpa izinnya. Risma baru tahu suaminya telah berpoligami setelah kandungan Eva istr...